kaltimkece.id Pengetahuan umum tentang status kerajaan tertua di Nusantara terusik. Artikel bertitel Jejak Panjang Nan Sarunai, Kerajaan Purba di Kalimantan yang diterbitkan sebuah media siber nasional, Tirto.id, memuat klaim berbeda. Naskah yang disiarkan pada 9 Januari 2018 itu menyebutkan Nan Sarunai sebagai kerajaan yang lebih tua daripada Kerajaan (Kutai) Martapura.
Kerajaan Nan Sarunai disebut berdiri di Kalimantan Selatan sekitar dua abad Sebelum Masehi (SM). Dasarnya adalah pengujian terhadap sampel arang Candi Agung di Amuntai yang menghasilkan tarikh 242 hingga 226 SM. Informasi itu dikutip dari penelitian berjudul Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998.
Komunitas tradisional Dayak Maanyan, dalam narasi itu, mempunyai pemerintahan tertua di Nusantara. Namanya Kerajaan Nan Sarunai. Jika ditilik dari perbandingan antar-waktunya, tampaknya, Nan Sarunai sudah ada 600-an tahun sebelum Kundungga —raja pertama Kutai Martapura di Muara Kaman— bertakhta.
Benarkah Nan Sarunai sah merebut status kerajaan tertua di Indonesia?
Begini duduk perkaranya. Pertama, tarikh 242–226 SM sebagai dasar ‘tertua’ itu merupakan hasil pengujian terhadap sampel arang batu Candi Agung. Dengan demikian, angka garis waktu tersebut muncul berdasarkan prediksi penanggalan sampel suatu zat tertentu dari situs candi. Bukan tarikh eksistensi budaya masyarakat di lokasi candinya, bukan pula penanggalan riwayat suatu kerajaan tertentu. Dalam hal ini, usia zat arang tidak melazimkan tuanya suatu aktivitas manusia.
Kedua, penulis artikel mengabaikan data lain dari penelitian yang sama. Jurnal pada 1998 itu sebenarnya bersumber dari riset Balai Arkeologi Banjarmasin yang bekerja sama dengan Badan Tenaga Atom Nasional pada 1996. Di situs Candi Agung juga diambil sampel kayu ulin yang dianggap memiliki konteks erat dengan bangunan candi. Hasil uji radiokarbon C-14 menunjukkan angka 728 Masehi. Sejarawan Banjar, Yusliani Noor, dalam bukunya Islamisasi Banjarmasin (Abad Ke-15 sampai Ke-19), mendukung hipotesis Candi Agung berdiri pada abad ke-8 Masehi (hlm 93). Jika angka ini dipakai, tampak bahwa usianya tidak lebih tua daripada prasasti yupa di Muara Kaman.
Ketiga, Candi Agung menurut historiografi tradisional Hikayat Banjar bukanlah jejak peninggalan Nan Sarunai. Candi Agung dibangun oleh Ampu Jatmika sebagai pusat pemerintahan Negara Dipa alias Kerajaan Banjar Hindu. Jelasnya, Candi Agung adalah jejak sejarah Banjar Hindu, bukan jejak patrimonial Nan Sarunai-Maanyan. Adapun tarikh pembangunan Candi Agung oleh Ampu Jatmika sezaman dengan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi. Dengan demikian, dalil Candi Agung sebagai bukti kerajaan tertua di Nusantara tidaklah sahih.
Keempat, bisa memakai asumsi berikut. Sumber Hikayat Banjar diabaikan dan yang dianggap benar adalah pernyataan kepemilikan primordial Nan Sarunai atas Candi Agung. Diasumsikan pula bahwa penanggalan sampel arang abad ke-2 SM valid sebagai tarikh berdirinya candi. Kedua anggapan tersebut tidak serta-merta menggugurkan status peradaban [Kutai] Martapura sebagai yang tertua di Nusantara. Dasarnya adalah Candi Agung tidak meninggalkan jejak aksara sebagaimana kerajaan di Muara Kaman.
Prasasti yupa menandakan sistem kebudayaan yang lebih maju dan kompleks daripada tinggalan batu atau bangunan. Prasasti yupa merupakan tonggak peradaban di Nusantara. Dalam kaitan ini, istilah kebudayaanberbeda dengan peradaban.
Menurut antropolog Koentjaraningrat, istilah peradaban merujuk kepada suatu kebudayaan yang halus, maju, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Pengantar Ilmu Antropologi, 1985, hlm 182).
Sumber utama sejarah Kerajaan Martapura— nama sebenarnya bukan Kutai— adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman. Lokasinya di pedalaman Sungai Mahakam yang kini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Huruf yang terpahat di prasasti yupa diidentifikasi sebagai aksara Pallawa, semasa dengan penggunaan jenis tulisan di India selatan pada abad ke-5 Masehi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta. Johan Hendrik C Kern (1880) sebagai peneliti pertama prasasti yupa menetapkan tarikh pembuatan prasasti yupa pada kisaran 400 Masehi. Sementara ahli epigrafi Louis Charles Damais (1970) menetapkan waktunya pada tahun 425 Masehi.
Teks yang terkandung dalam prasasti yupa adalah riwayat tiga generasi raja. Dimulai dari Kundungga, Aswawarman, sampai Mulawarman. Masa kejayaan dicapai ketika Mulawarman bertakhta. Ia menaklukkan sejumlah wilayah serta ketersediaan komoditas ternak dan hasil alam.
Dengan kemakmuran tersebut, Maharaja Mulawarman mengadakan persembahan ribuan sapi, aneka bahan pangan, dan komoditas yang lain kepada para pemuka agama Hindu yang disebut Brahmana. Demi mengenang peristiwa ini, Brahmana mendirikan tugu atau monumen yupa dan mencatatnya dalam prasasti.
Sejauh ini, tidak ditemukan adanya prasasti lain yang lebih tua daripada prasasti yupa. Prasasti yupa merupakan karya agung dan monumental pujangga zaman dahulu. Pembuatannya menandai awal mula zaman aksara di Nusantara. Raja Mulawarman adalah tokoh pelopor literasi di Indonesia.
Begitu pentingnya aksara dinarasikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens (2011). Menurut Harari, dampak paling penting terhadap sejarah manusia adalah aksara telah secara bertahap mengubah cara manusia berpikir dan memandang dunia.
Demikianlah adanya. Kerajaan Nan Sarunai sesungguhnya bukan yang tertua di Nusantara. Peradaban Dinasti Aswawarman, putra Kundungga, tetaplah imperium yang pertama di Indonesia. (*)
Editor: Fel GM
Catatan redaksi: Isi naskah ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.