kaltimkece.id Pergerakan dan perpindahan masyarakat yang begitu tinggi menjelang pembangunan ibu kota negara di Kaltim dikhawatirkan menggerus identitas kearifan lokal. Universitas Mulawarman mendorong pemerintah daerah mencari solusi dari persoalan tersebut. Satu di antaranya, menyusun peraturan daerah mengenai ketahanan budaya.
Sabtu, 6 November 2021, sejumlah akademikus dan tokoh masyarakat hadir dalam forum diskusi bertajuk Antara Modernitas dan Identitas: Membincang Kesiapan IKN Baru dalam Perspektif Lintas Budaya Nusantara. Forum ini diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Unmul dan disiarkan secara daring. Selain sejumlah dosen Unmul, hadir Dewan Adat Dayak PPU, Dewan Kesenian Daerah Kaltim, dan budayawan lokal.
Akademikus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Uni Sagena, membuka diskusi dengan memaparkan efek sederhana IKN. Mobilitas penduduk dari luar daerah cukup tinggi di tengah masyarakat Kaltim yang secara kultural berciri heterogen. Pembangunan sejumlah megaproyek IKN bakal membawa pengaruh budaya yang signifikan.
“Apakah antara pembangunan IKN sebagai sebuah modernitas dan identitas masyarakat (lokal) akan mengalami semacam pergumulan? Inilah yang kita diskusikan,” jelasnya mengawali pembicaraan.
_____________________________________________________PARIWARA
Ketua Dewan Kesenian Kaltim, Syafril Teha Noer, membenarkan hipotesis awal Unis Sagenda. Di tengah kedatangan IKN, dia melihat, pengetahuan masyarakat khususnya anak muda seperti pelajar dan mahasiswa terhadap budaya lokal justru menurun. Hal ini terlihat jelas dari ketiadaan mata pelajaran yang bermuatan pengetahuan budaya lokal.
Menurut Ketua Dewan Adat Dayak PPU, Helena Samuel Legi, sejak wacana pembangunan IKN muncul, timbul kekhawatiran masyarakat sekitar tidak bisa berladang lagi. Padahal, budaya berladang berpindah-pindah adalah kearifan lokal sekaligus mata pencaharian utama masyarakat sekitar.
“Saya sampai bercita-cita mempunyai buldoser untuk membuka lahan. Kalau secara manual, sudah ketinggalan jauh,” terangnya. Helena berharap, pemerintah bisa melibatkan masyarakat setempat untuk mendiskusikan hal tersebut. Masyarakat ingin memiliki teknologi pertanian agar tidak lagi berladang berpindah-pindah. Ketika hal tersebut terwujud, masyarakat adat bisa berpartisipasi dalam pembangunan IKN sebagai penyuplai bahan pokok dan pangan.
Perlu Peraturan Daerah
Penekun literasi sejarah Kutai sekaligus budayawan lokal, Chai Siswandi, memberi penilaian terhadap kedatangan IKN sebagai sebuah modernitas. Secara etimologi, kata modernitas sebenarnya berasal dari penyair asal Prancis, Charles Baudelaire. Konsep modernitas pun berciri terpisah dengan identitas kebudayaan. Meskipun demikian, dia yakin konsep tersebut memiliki wujud yang berbeda di Indonesia yang kental dengan budaya guyub dan spiritualitas.
Chai mengingatkan adanya tantangan terhadap IKN sebagai sebuah modernitas baru di Kaltim. Kedatangan IKN akan membawa kehadiran penduduk, teknologi, serta kebudayaan baru yang memiliki pengaruh terhadap pelestarian kesenian, serta identitas budaya lokal di Kaltim.
“Iklim kebudayaan itu yang harus dijaga dan dibentuk oleh negara,” ingatnya. Regulasi pun diperlukan untuk membentuk iklim kebudayaan yang lebih baik.
Kembali ke Syafril Teha Noer, dia menjelaskan dasar mengenai penjagaan budaya sebenarnya hadir dalam UU 5/2017. Di dalam beleid tersebut, objek kebudayaan tidak hanya kesenian, termasuk pula tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, dan ritus. Kemudian pengetahuan tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
“Akan tetapi, perlu peraturan terjemahan di tingkat daerah yang sifatnya juga aplikatif,” saran jurnalis senior di Kaltim tersebut. Sejak 2017, Syafril mengatakan, Dewan Kesenian Kaltim sudah mengajukan draf peraturan gubernur mengenai kesenian kepada pemprov. Pergub diharapkan berfungsi sebagai landasan hukum untuk menagih komitmen pemerintah melindungi tradisi, kearifan, dan kebudayaan lokal Kaltim.
Akan tetapi, pada medio 2020, Dewan Kesenian diarahkan untuk mendorong hal tersebut kepada DPRD Kaltim. Landasan hukum itu disarankan menjadi peraturan daerah. Sejak menyetorkan draft pada 15 Januari 2021, statusnya belum jelas sampai sekarang.
“Ada landasan hukum jika pemerintah tidak melindungi tradisi dan kearifan lokal. Sekarang, tidak bisa lagi berbicara komitmen, harus ada landasan yang memungkinkan kita menuntut agar seni dan budaya betul-betul dijaga. Perda bisa memberi perlindungan bagi masyarakat kesenian dan capaian nenek moyang di bidang kebudayaan,” tegas Syafril.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yaqub, mengaku perlu berdialog dengan banyak pihak mengenai usulan perda ketahanan budaya. Politikus Partai Persatuan Pembangunan tersebut tidak ingin terburu-buru berbicara soal budaya. Diskusi harus secara komprehensif dan melibatkan semua pihak. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan.
“Kita harus mempertanyakan pula, budaya mana yang mau diangkat. Kaltim, ‘kan, banyak budayanya. Itu yang harus kita pertajam diskusinya. Jadi, harus komprehensif,” ucapnya.
Koordinator Pusat Penelitian Sosial Humaniora LP2M Unmul, Muhammad Arifin, menjelaskan bahwa kehadiran IKN sebagai tatanan baru tidak hanya membawa infrastruktur tetapi ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah sebuah konsep sosial, ekonomi, politik, dan budaya baru yang berbeda.
“Ketika gagasan tersebut dibawa dari ibu kota, daerah harus siap menghadapi,” tegasnya.
Arifin menilai, kesiapan Kaltim seharusnya tidak hanya infrastruktur pendukung, melainkan infrastruktur pendidikan dan budaya. Dia mengatakan, masyarakat harus diberi kesempatan sebagai daerah penyangga untuk mengelola budaya secara mandiri dengan kearifan lokal.
Akan tetapi, menjelang kehadiran IKN sebagai sebuah modernitas, Arifin melihat IKN sebenarnya bisa tidak bertentangan dengan kebudayaan tradisional. Hasilnya kelak adalah asimilasi antara IKN dan budaya Kaltim. IKN bisa menjadi wujud simbol atau identitas kebudayaan tertinggi yakni peradaban (civilization) baru di Kaltim. Tentunya, tanpa melupakan perangkat hukum yang bisa mengakomodasi semua pihak.
“Saya kira, kelak, perlu dicari solusi di antara keduanya. IKN dan budaya lokal harus seiring sejalan, tidak dibenturkan,” kunci ketua Antropologi Indonesia Kaltim tersebut. (*)
Editor: Fel GM