kaltimkece.id Heri Kaisar tak berhenti tersenyum sepanjang 30 menit perbincangan. Pria 43 tahun ini selalu punya bahan bercanda dengan teman-teman. Dari sekian banyak ceritanya, ada sebuah kisah menarik. Sepeda berhasil membantunya sembuh dari penyakit stroke.
Enam tahun lalu, tiba-tiba lidahnya kaku sulit bicara. Dokter mendiagnosis dia terkena stroke ringan. Menyerang saraf lidah, mulut, dan bibir. Mentalnya sempat jatuh. Setengah tak percaya kondisi yang menimpanya. Dokter menyarankannya ikut terapi selama beberapa bulan.
Selama perjalanan memulihkan diri, muncul ajakan teman berolahraga sepeda. Tak tanggung-tanggung, sepeda jenis mountain bike (MTB) yang dijajal. Ajakan langsung diterima. Setiap Minggu, ia rutin melibas medan perbukitan di berbagai kota. Samarinda atau Balikpapan.
Dari perkumpulan sesama penghobi MTB, pikirannya semakin santai. Kepercayaan dirinya bangkit. Kelar melibas medan off road, selalu ada komunikasi sesama pesepeda. Alternatif berlatih berbicara. Berjalan beberapa bulan, kemampuan wicaranya pulih.
"Obatnya cuma naik sepeda," katanya tertawa sambil bersantap camilan dan minuman di halaman kantor kaltimkece.id, Rabu malam, 2 Oktober 2019, setelah gowes keliling kota.
Usia tak bisa bohong. Berjalannya waktu, fisiknya mulai lelah melibas medan terjal dengan sepeda MTB. Meski demikian, sepeda masih jadi olahraga utama yang menyehatkan badan dan pikiran. Jenis sepeda yang ia pilih adalah sepeda lipat.
Bentuknya mungil. Hanya setinggi pinggang orang dewasa. Ringkas dan bisa dikendarai kapan saja. Tak seperti MTB yang baru bisa dipakai pada akhir pekan. Keuntungan lain, bagi warga kota, berkendara sepeda lipat tak perlu banyak aksesori. Cukup sepatu bersepeda, celana, dan baju yang nyaman. Juga sarung tangan dan helm. Serba ringkas. Laiknya bersepeda keliling komplek perumahan.
Pada 2019, ia pun bergabung dengan komunitas Folding Bike Samarinda. Beberapa hari dalam sepekan mereka rutin gowes keliling Kota Tepian. Rutinitas yang membuat gaya hidupnya teratur.
"Hati senang, cape bersepeda, tidur. Besok pagi kerja enak," kata wirausahawan tersebut. "Kalau suntuk, ngelihatin sepeda aja hati sudah senang."
Selain menyehatkan, ada segudang manfaat lain dari bersepeda lipat. Diceritakan anggota Folding Bike Samarinda lainnya, Haidir Rusdian, bersepeda lipat diyakini usaha mengurangi polusi udara dan kemacetan di perkotaan. Semangatnya lewat bike to work. Atau bersepeda ke tempat kerja.
Sepeda lipat pun dirasa cocok dengan gaya hidup baru itu. Bagaimana tidak. Desainnya ringkas. Tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Ketika tak dipakai, roda belakang bisa dilipat masuk ke bawah rangka. Tulang tengah sepeda bisa dilipat. Joknya bisa dipendekkan. Setelah semua bagian dilipat, panjangnya hanya sekitar 60-an sentimeter. Sepeda berbobot 12-15 kilogram tersebut bisa disimpan di berbagai sudut tempat kerja. Diluruskan kembali ketika hendak dipakai. Tak jarang sepeda lipat dibawa touring ke luar kota.
"Praktis. Kalau lelah, lipat dalam bus atau naikkan ojek online," kata Haidir terkekeh. Saat ini beberapa kawannya ada yang sudah memilih kerja mengendarai sepeda lipat.
Komunitas Folding Bike di Samarinda memang baru terbentuk awal 2019. Hingga sekarang, sedikitnya 90 anggota tergabung. Dari berbagai kalangan. Mulai wiraswasta hingga pegawai negeri. Jumlahnya diperkirakan bertambah.
"Ada yang disarankan teman ikut. Ada juga yang ketemu enggak sengaja di jalan memakai sepeda lipat kami ajak gabung di group," ucap pengusaha konstruksi itu bercerita mengumpulkan 90 penghobi sepertinya.
Komunitas sepeda lipat pun mulai menjamur di berbagai kota. Sebut saja di Bontang, Balikpapan dan Samarinda. Lebih-lebih di Pulau Jawa.
Sayangnya perkembangan pesepeda sebagai alternatif transportasi perkotaan belum dibarengi kesiapan infrastruktur. Persoalan yang sering dikeluhkan pengayuh sepeda ke tempat kerja adalah sempitnya jalan raya. Tak ada jalur khusus pesepeda. Mereka harus berebut jalur dengan kendaraan bermotor. "Kita sudah paling pinggir saja masih diklaksonin," keluh pria 34 tahun ini.
Ini berbeda dengan Balikpapan atau Jakarta. Jalan rayanya lebih lebar. Disediakan jalur pesepeda di beberapa titik. Dukungan seperti itulah yang diharapkan.
Keluhan lain adalah kurangnya empati dan fasilitas tempat parkir sepeda. Baik di perkantoran atau pusat belanja. Tukang parkir pun kadang menganggap remeh. Meminta sepeda diparkir sembarangan. Padahal, beberapa sepeda lipat yang dimiliki anggota komunitas harganya lebih mahal ketimbang sepeda motor. Harga termurah Rp 4 juta dan termahal Rp 120 juta.
Meski demikian, ia mengajak setiap orang yang ingin bersepeda lipat ke tempat kerja tak perlu khawatir. Ada banyak pilihan sepeda lipat di pasaran. Mahal itu relatif. Sesuai kemampuan kantong.
"Ada kok anggota kami yang beli sepeda bekas harganya Rp 500 ribu. Semua kalangan bisa ikut," katanya. (*)
Editor: Bobby Lolowang