kaltimkece.id Ahad pada 22 Desember 1959 bukanlah hari Minggu biasa bagi warga Tionghoa di Samarinda. Kawasan Pecinan (kini Jalan Yos Sudarso dekat pelabuhan dan Tempekong) yang biasanya ramai ingar-bingar manusia mendadak sunyi. Tak satu pun orang Tionghoa yang keluar dari rumah. Bagaimana tidak, sekali keluar, mereka akan menerima ancaman dan cercaan dari gerombolan pemuda yang berkumpul di wilayah tersebut.
Diwartakan De Tijd/de Maasbode, The Straits Times, dan Berita Harian (ketiganya terbitan 23 Desember 1959), para pemuda disebut mengintimidasi orang-orang Tionghoa yang mereka temui, terutama para Hoakiau yang tidak fasih (atau sama sekali tidak mampu) berbahasa Indonesia. Mereka memprovokasi pemuda Tionghoa membalas mereka. Termasuk pula, "mengimbau" orang-orang Tionghoa mendengarkan siaran Radio Peking dengan suara kecil agar tidak menyulut amarah yang mendengarkannya.
Pada saat bersamaan, para sopir becak melancarkan aksi boikot. Atas imbauan serikat pekerja, para sopir menolak melayani orang-orang Tionghoa yang tidak berbahasa Indonesia. Para penarik becak juga diimbau tidak mangkal di depan toko dan warung milik orang-orang Tionghoa.
Peristiwa ini menyebabkan diaspora Hoakiau di Tiongkok merasa geram. Dilaporkan The Straits Times pada 23 Desember, perkumpulan diaspora Hoakiau di Beijing melancarkan protes keras. Mereka menuntut pemerintah Indonesia segera menghentikan kampanye anti-Tionghoa dan diskriminasi terhadap orang Hoakiau (yang sebagian besar tidak berkewarganegaraan Indonesia). Mereka menuntut pemerintah Indonesia segera menunjuk perwakilan untuk bernegosiasi dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Puncak Hubungan Dua Negara yang Renggang
Peristiwa Ahad tersebut terjadi setelah hubungan RI dengan RRT makin memburuk. Sebermula dari perjanjian Dwi Kewarganegaraan diteken RRT dengan pemerintah Indonesia pada 22 April 1955 di Bandung, lahirlah Undang-Undang 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI sebagai produk legalnya.
UU tersebut mengharuskan warga etnis Tionghoa menolak kewarganegaraan Tiongkok dalam batas dua tahun (dimulai pada 20 Januari 1960). Mereka yang tidak menolak akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia kecuali bagi yang sudah bersumpah setia kepada negara melalui dinas di ketentaraan, menjadi veteran, maupun menjadi pegawai lembaga pemerintahan (Dananto, 2010, hlm. 62).
Akan tetapi, kecurigaan terhadap etnis Tionghoa memuncak sejak pemerintah Kuomintang (KMT) di Taiwan diketahui membantu PRRI/Permesta. Bantuan tersebut berupa senjata dan dukungan politik. Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan sejumlah peraturan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa.
Sebagai contoh, pada 16 Oktober 1958, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah-sekolah Tionghoa yang berhubungan dengan atau dimiliki pemerintah KMT untuk beroperasi. Sekolah-sekolah tersebut diambil alih oleh pemerintah (hlm 64).
Kebijakan ini berimbas kepada mereka yang pro-KMT maupun orang-orang Tionghoa yang pro-RRT. Pemerintah bahkan menerbitkan Peraturan Pemerintah 10/1959. PP tersebut melarang usaha perdagangan kecil dan eceran asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I (kini provinsi), tingkat II (kabupaten dan daerah istimewa yang statusnya setara), dan karesidenan. Larangan tersebut akhirnya memaksa warga Hoakiau, yang umumnya pemilik toko kelontong, pindah dari pedalaman ke ibu kota seperti Tanjung Selor (Bulungan), Tanjung Redeb (Berau), Tenggarong (Kutai), maupun ke Samarinda (Hassan, 2004, hlm 68).
Di samping itu, sekolah-sekolah Tionghoa yang tersisa juga dikontrol ketat oleh pemerintah. Kurikulumnya dirombak sehingga jumlah mata pelajaran yang berhubungan dengan Indonesia menjadi dominan. Tujuannya yaitu mengikis "chauvinisme Tionghoa" (Somers Heidhues, 1972). Guru-gurunya pun wajib mengikuti serangkaian tes termasuk kelancaran berbahasa Indonesia.
Akhirnya, peristiwa pada 22 Desember 1959 terjadi di Samarinda. Kerukunan yang terbina antara orang Tionghoa dan bumiputra di Kota Tepian seketika sirna.
Hijrah Massal dan Penahanan Konsul
Aksi agresi dan intimidasi pada 22 Desember 1959 menyebabkan banyak orang Hoakiau makin tidak betah di Kaltim. Pada 8 Juni 1960, sekitar 2.200 orang Hoakiau meninggalkan Kaltim untuk pulang ke RRT sebagaimana dikabarkan Harian Patriot. Mereka berasal dari Samarinda, Tarakan, Berau, dan pedalaman Mahakam. Walaupun demikian, tampaknya, masih ada sebagian dari mereka yang tetap menetap di pedalaman sekalipun sudah dilarang PP 10/1959.
Adapun jumlah Hoakiau yang menyatakan bersedia kembali ke RRT cukup besar. Jumlahnya mencapai 15.000 orang dari total 20.000 orang Hoakiau di Kaltim. Sebagian membawa pulang istri mereka yang bumiputra terutama dari Suku Jawa. Pada 6 Mei 1960, sekitar 600 orang Hoakiau dari Samarinda tiba di Provinsi Guangdong. Mereka mengeluhkan perlakuan kasar para petugas di Indonesia saat keberangkatan. Mengenai insiden ini akan dibahas di bagian selanjutnya.
Gelombang eksodus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Ada tenggat waktu yang diberikan untuk pemilihan kewarganegaraan berdasarkan UU 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI. Surat kabar Merdeka pada 28 Juli 1960 yang mengutip Antara menyebutkan bahwa 3.000 orang Hoakiau menyatakan diri di hadapan Pengadilan Negeri Samarinda ingin kembali ke Tiongkok. Prosedur kala itu memang mengharuskan mereka membuat pernyataan di hadapan pengadilan agar dianggap sah secara hukum (Dananto, 2010, hlm 62).
Sementara itu, api yang sudah panas malah makin panas di Kaltim. Pada 27 April 1960, Pekuper (Pelaksana Kuasa Perang) Kutai memerintahkan agar Chiang Yen, konsul Tiongkok yang saat itu ditugaskan membantu proses repatriasi, dikenai tahanan rumah. Chiang tidak diizinkan bepergian atau berkomunikasi dengan telepon. Keterangan terperinci mengenai insiden ini dapat ditemukan dalam Harian Patriot terbitan 21 Mei 1960.
Mengutip surat kabar tersebut, insiden ini berawal dari sikap pengungsi Hoakiau di Pelabuhan Samarinda. Mereka yang hendak kembali ke RRT itu menolak diperiksa petugas pelabuhan. Para petugas akhirnya terhambat sehingga baru melanjutkan pemeriksaan pada sore hari ketika para pengungsi bersedia diperiksa. Namun, karena sebenarnya sudah melewati jam kerja petugas (hingga pukul 14.00) dan hari sudah petang, atas perintah seorang pejabat bernama Jaksa Hamzah, pemeriksaan dihentikan untuk dilanjutkan esok hari. Inilah yang oleh para Hoakiau dikeluhkan sebagai perlakuan kasar para petugas.
Mendengar perintah ini, Chiang Yen naik pitam. Ia menganggap Jaksa Hamzah melanggar persetujuan bersama antara RRT dan Indonesia mengenai proses repatriasi. Beberapa pemuda Tionghoa kemudian mengelilingi Jaksa Hamzah dan memposisikan diri di dekat jendela dan pintu sehingga mengganggu petugas yang sedang bekerja. Insiden ini tersebar ke telinga publik.
Untuk mengendalikan keadaan, Pekuper Kutai di Samarinda mengeluarkan perintah tahanan rumah bagi Chiang Yen dan beberapa pengurus CHTH (Chung Hua Tsung Hui) cabang Samarinda, sebuah perkumpulan Tionghoa yang membantu proses repatriasi para Hoakiau. Penahanan sepihak ini mengundang protes keras dari pemerintah RRT. Pada 14 Mei, berbagai surat kabar, seperti Leeuwarder Courant, memberitakan reaksi mereka.
Pemerintah RRT menganggap tindakan tersebut sebagai campur tangan atas hak, kewajiban, dan kebebasan sang konsul. Selain itu, penahanan Chiang dipandang melanggar hukum internasional dan janji pemerintah Indonesia dalam membantu proses repatriasi. Mereka berpendapat bahwa insiden ini berpotensi mengancam kehidupan diaspora Tionghoa di kota tersebut.
Pada 1961, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang murid Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia dan yang bukan warga negara di dalam satu sekolah dan organisasi. Akibatnya, anak-anak Tionghoa Indonesia berhenti belajar di sekolah CHTH. Gedung CHTH kemudian dihibahkan kepada anggota-anggotanya yang sudah menjadi WNI. Papan nama organisasi dipindah dan dipasang di muka mes guru sekolah CHTH sedangkan sisa uang kas diserahkan kepada para Hoakiau (Hassan, 2004, hlm 69).
Pembedaan yang diciptakan pemerintah makin terpancar dalam realitas CHTH. Para anggota CHTH yang berkewarganegaraan Indonesia membentuk organisasi baru yang bernama Permasi yang dipimpin Tan Tjong Siong. Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Dharma Bhakti dan baru kembali bersatu dengan rukun-rukun kematian Hoakiau lain pada 1990. Meski demikian, di tengah jarak yang tercipta, lahir jembatan untuk melewatinya. Sebagai contoh, kereta jenazah milik CHTH boleh dipergunakan orang-orang Hoakiau maupun Tionghoa Indonesia. Seksi kematian organisasi yang dipimpin oleh Tan Kian Tin pun tetap berjalan seperti semula (hlm 69).
Setelah Api, Lahirlah Abu: Sebuah Refleksi
Peristiwa pada 22 Desember 1959 adalah "turunan" dari kondisi politik dan sosial masa itu yang sangat tidak ramah bagi orang Tionghoa. Segelintir warga memutuskan bertindak sesuka hati terhadap warga Tionghoa, khususnya para Hoakiau, semata-mata atas dasar kecurigaan. Aksi intimidasi dan boikot, di samping hadirnya regulasi yang mengekang seperti PP 10/1959, mengilhami para Hoakiau kembali ke negeri mereka.
Dinamika repatriasi pun tidak berlangsung mulus seperti ditunjukkan dari insiden 27 April 1960 di Pelabuhan Samarinda. Bahkan, setelah ribuan orang Hoakiau pulang ke Tiongkok, kondisi di Indonesia malah memburuk. Pemerintah melarang orang-orang Tionghoa Indonesia dan Hoakiau (dalam kasus ini non-WNI) dalam satu organisasi dan/atau sekolah.
Namun demikian, terlepas dari pembedaan yang tercipta dari regulasi-regulasi negara, komunitas Tionghoa tetap menjaga relasi dan saling membantu. Sudah menjadi tugas generasi sekarang maupun penerus agar relasi antar-etnis tetap terjaga, baik di Samarinda maupun di tempat-tempat lainnya, agar insiden semacam ini tidak terulang kembali. (*)
*penulis adalah kolumnis kaltimkece.id, mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Berasal dari Samarinda dan menaruh minat besar terhadap sejarah Kalimantan Timur.
Senarai Kepustakaan
"Actie te Samarinda: Geen betjaks voor Chinezen", De Tijd/de Maasbode, 23 Desember 1959.
"Jakarta Gesture: Radio Peking Halts Its 'Hate' Campaign", The Straits Times, 23 Desember 1959.
"Pengayoh2 Roda-Tiga Memboikot Orang2 China," Berita Harian, 23 Desember 1959.
"Chinezen terug naar China", Twentsch Dagblad Tubantia, 10 Mei 1960.
"Radio Peking Menguap: Sekitar 'Insiden' di Samarinda", Harian Patriot, 21 Mei 1960.
"2.200 orang Hoakiau Tinggalkan Kal Timur Dlm Bln Djuni Ini", Harian Patriot, 10 Juni 1960.
"Huisarrest voor konsul: China protesteert bij Indonesie", Leeuwarder Courant, 14 Mei 1960.
"3.000 Hoakiau Samarinda ingin ke RRT", Merdeka, 28 Juli 1960.
Dananto, Nanang. 2010. Kewarganegaraan Etnis Cina di Indonesia (Skripsi). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Hassan, Abdoel Moeis. 2004. Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Somers Heidhues, Mary F. (1972). Dutch Colonial and Indonesian Nationalist Policies Toward the Chinese Minorities in Indonesia. Verfassung und Recht in Ubersee/Law and Politics in Africa, Asia and Latin America, Vol. 5, No. 3, hlm. 251-261.
Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1959 tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing Diluar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II Serta Karesidenan