Ditulis oleh: Joko Supriyadi ST MT
kaltimkece.id Anye Lohong adalah kepala Suku Dayak Segai. Namanya masuk catatan perjalanan seorang pejabat Belanda, Walcheren, yang datang ke Apo Kayan (kawasan di hulu Sungai Kayan, kini Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara) pada 1905. Menurut catatan tersebut, Anye Lohong ditangkap karena memberontak terhadap Belanda.
Pada waktu itu, Anye Lonhong memutus jalur perdagangan Belanda di sepanjang Sungai Kayan. Ia memblokade sungai lewat teror kepada para pedagang dari pedalaman (kawasan Malinau) hingga hilir Sungai Kayan di Tanjung Selor, Bulungan. Pasokan hasil hutan pun terhenti.
Belanda yang murka lantas mengirim pasukan ke Muara Pengian untuk menangkapnya. Dalam ekspedisi militer kedua, barulah Belanda berhasil. Namun saking kuatnya pengaruh Anye Lohong di pedalaman Kayan, Belanda tidak dapat menahannya dalam waktu lama. Anye Lohong segera dibebaskan dengan beberapa syarat. Selanjutnya, Anye Lohong tetap menjabat sebagai kepala suku dan kepala onderdistrik Muara Pengian. Ia juga menjadi anggota Kerapatan Besar, sebuah lembaga pengadilan adat tempo dulu.
Lisyawati dan Juwono dalam Politik dan Ekonomi Perdagangan Bulungan pada Abad XIX-XX 1878-1942 (2017) mempelajari berbagai dokumen peninggalan Belanda. Mereka mengungkap sejarah perdagangan di Bulungan dan pedalaman Kayan pada masa penjajahan. Penyebab Anye Lohong memberontak, menurut keduanya, adalah cengkeraman Belanda yang makin kuat di pedalaman. Belanda memonopoli perdagangan dan menetapkan harga hasil hutan secara sewenang-wenang.
Anye Lohong yang mewakili kaumnya merasa keberatan. Ia mengadu kepada Sultan Bulungan dan Gubernur Belanda di Batavia. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Akhirnya, Anye Lohong dan para pengikutnya menyabotase dengan memblokade perdagangan ke Tanjung Selor. Mereka juga menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang China yang berani membeli dengan harga lebih tinggi untuk dijual ke Banjarmasin.
Dalam memimpin aksi-aksinya, Anye Lohong dibantu tokoh Suku Segai yang lain yakni Wan Pay dan Lig Pay. Menurut Okushima dalam karyanya yang mengulas tentang Dayak Segai, Wan Pay dan Lig Pay adalah kakak-beradik. Anye Lohong merupakan paman mereka. Sementara itu, dalam foto kuno yang lain, para pengikut Anye Lohong belum dapat diidentifikasi.
Menurut oral history Tidung Sumbol dari Kalabakan di Tawau yang dicatat Okushima (2006), Dayak Segai merupakan salah satu sekutu Kesultanan Bulungan dalam ekspedisi militer pada awal abad 19. Mereka menyerang Sulu di perairan Bulungan dan terus mengejar hingga ke Pulau Simunul di bawah Kesultanan Sulu. Sejak itu, sebagian orang Segai dikabarkan menetap di Tawi-Tawi, Filipina.
British North Borneo Herald pada 1 September 1938 juga memuat kisah ekspansi Segai sampai Atas dan Langas (wilayah Sabah). Mereka berperang melawan orang-orang Idaan di sana. Supriyadi (2023), dalam bukunya Menggugat Subversif Bultiken 1964, menceritakan cara Belanda memecah belah Bulungan, Tidung, dan Segai. Belanda akhirnya berkuasa di wilayah ini tanpa perlawanan berarti.
Epik tentang Segai ini diwariskan turun-temurun. Tidak heran karena Anye Lohong berani melawan Belanda saat itu. Oleh karena itu, sebagai tokoh Dayak di Kalimantan Utara tempo dulu, namanya perlu mendapat perhatian lebih. Apabila perlu, kisahnya dapat dimasukkan ke muatan lokal kurikulum pendidikan di Kaltara.
Suatu penelitian lebih lanjut mengenai tokoh ini juga diperlukan agar dapat diusulkan sebagai calon pahlawan nasional dari Kaltara. Anye Lohong dapat disandingkan dengan tokoh lain seperti Datu Alam yang dibuang ke Banyumas serta Datu Adil dan Datu Jemalul yang dibuang ke Manado. Ada pula Raja Pandita yang dibuang ke Pulau Tidung, Sultan Maulana Muhammad Jalaludin yang membawa Bulungan masuk ke NKRI, dan berbagai tokoh pejuang lokal lainnya.
Anye Lohong wafat dalam usia tua. Ia dimakamkan di Desa Naha Aya, Peso Hilir, Bulungan. Makamnya khas pemimpin besar Suku Dayak yang disemayamkan dalam peti besar ditopang empat pilar kayu ulin setinggi kurang lebih 12 meter. Makam dan akses masuknya juga perlu dirawat sebagai bukti sejarah lokal dan cagar budaya yang memuat nilai-nilai perjuangan. (*)
Artikel ini ditulis Joko Supriyadi ST MT, ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara.
Senarai Kepustakaan
Okushima, Mika. (2006). Ethnohistory of the Kayanic peoples of Northeast Borneo (Part 1): Evidence from their languages, old ethnonyms, and social organization. Borneo Research Bulletin. 37. 86-126.
Okushima, Mika. (2008). Ethnohistory of the Kayanic peoples of Northeast Borneo (Part 2): Expansion, regional alliance groups, and Segai disturbances in the colonial era. Borneo Research Bulletin. 39. 184-238.
Lisyawati Nurcahyani, Juwono Harto. 2017. Politik dan ekonomi perdagangan bulungan : pada abad XIX - XX (1878-1942). Yogyakarta: Kepel press.
Walcheren, E. W. F. van. 1907. Eene reis naar de bovenstreken van Boeloengan (Midden-Borneo), 12 Nov. 1905-11 April 1906. TNAG 24:755-844
Borneo Herald. 03 Juli 2021. Forgotten forts built by natives. https://www.dailyexpress.com.my/read/4454/forgotten-forts-built-by-natives/. Diakses 9 Juni 2024 pukul 11.29 Wita.
Supriyadi Joko. 2023. Menggugat Subversif Bultiken 1964. Yogyakarta : KBM press.