kaltimkece.id Nyaris tak ada keceriaan dari wajah-wajah penduduk Rawa Makmur di kawasan Palaran, Samarinda. Padahal, para penduduk yang terdiri dari ribuan transmigran asal Pulau Jawa sudah dua tahun mendiami wilayah itu. Penyebab murungnya mereka pada 1956 itu adalah sawah yang selalu gagal ditanam. Padi tidak bisa tumbuh meskipun tanah di situ sebagian berupa rawa-rawa. Hanya singkong yang bisa dipanen. Usut punya usut, air di Rawa Makmur rupanya bercampur dengan minyak.
Di tengah kegagalan pengolahan sawah, pemerintah tidak jemu-jemu berupaya agar usaha transmigrasi di Rawa Makmur tidak mati. Jawatan Kehewanan bahkan disebut memberikan bantuan sebanyak 28 ekor sapi, dua ekor kerbau, dan 24 ekor itik. Adapun Jawatan Transmigrasi, mendermakan 10 ekor sapi dan 198 ekor kambing pada tahun yang sama.
Martomo adalah wartawan Kedaulatan Rakjat (surat kabar ternama di Yogyakarta) yang melaporkan situasi itu. Ia mengelilingi Kalimantan pada 1956 untuk menguraikan kesukaran para transmigran. Jurnalis tersebut melawat ke Kaltim setelah sebelumnya menjelajahi Kalimantan Selatan. Laporannya terbit pada 16 Juni 1956 yang berjudul Mengelilingi Kalimantan: Para transmigran boleh djadi buruh BPM.
Menurut catatannya, dua tahun sejak gelombang pertama transmigrasi di Rawa Makmur atau pada 1956, jumlah transmigran di Rawa Makmur yaitu 1.951 jiwa. Sebanyak 151 di antara mereka adalah siswa sedangkan dua orang berprofesi sebagai guru. Luas permukiman di Rawa Makmur adalah 568,5 hektare yang terdiri dari 257,5 hektare lahan pekarangan dan 311 hektare sawah. Rawa Makmur, dibandingkan desa-desa transmigran lainnya di Kaltim saat itu, boleh dikatakan paling berkembang. Di sana sudah terbentuk koperasi, pertukangan kayu besi (ulin), dan pabrik pembuatan arang serta kayu bakar.
Walaupun cukup maju, kenyataannya kehidupan para transmigran di Rawa Makmur amat sulit. Mereka kesulitan mengakses air bersih untuk mengairi sawah. Selain itu, para transmigran disebut ditindas oknum petugas transmigrasi yang korup. Suara Merdeka edisi 4 Desember 1956 mencatat, dua petugas bernama Sunarto dan Surat ditahan Kejaksaan Negeri Samarinda. Sunarto waktu itu menjabat sebagai Kepala Kantor Transmigrasi Samarinda sedangkan Surat adalah seorang pegawai harian.
Jaksa S Engel menerangkan berbagai kecurangan itu. Mulai pembayaran buruh penebang hutan yang bersifat borongan (aannemer), cara pembagian beras, hingga bantuan lain bagi para transmigran di Rawa Makmur. Barang bukti yang disita dari Sunarto adalah sebuah radio. Sedangkan dari Surat, lima radio dan dua bromfiets (sejenis sepeda motor) dibeslah.
Anak Menjadi Korban
Sawah yang tidak bisa ditanami menyebabkan para transmigran di Rawa Makmur kehilangan mata pencaharian utama. Sebagian dari mereka lantas mencari jalan pintas demi menyambung hidup. Impitan ekonomi tersebut memicu praktik menjual anak (terutama bayi yang baru lahir). Kedaulatan Rakyat pada 24 Januari 1957 mencatat, hingga akhir Desember 1956, sebanyak 22 anak di Rawa Makmur terpaksa ditukar dengan beras, uang, pakaian, maupun barang-barang kebutuhan lainnya.
Alasan utama yang melatarbelakangi perdagangan anak ialah ketidakmampuan keluarga menanggung biaya hidup. Anak-anak diperjualbelikan dalam suatu transaksi yang dilengkapi "surat perjanjian" antara dua pihak. Pihak pertama yaitu keluarga yang menjual anaknya sementara pihak kedua adalah pembelinya. Pihak yang membeli ini disebut berasal dari Yogyakarta, Madiun, Jakarta, dan beberapa kota lain di Pulau Jawa.
Kasus ini mendapat perhatian dari Jawatan Sosial Samarinda, Residen Kalimantan Timur, hingga Jawatan Transmigrasi Pusat dan Jaksa Agung di Jakarta. Awalnya, ada keraguan mengenai kasus ini. Apakah benar-benar perdagangan anak atau sekadar penyerahan anak dari satu keluarga ke keluarga lainnya?
Suara Merdeka edisi 12 Desember 1956 menyebutkan, APT Pranoto selaku Residen Kaltim mengungkapkan bahwa kasus ini perlu dikaji lebih dalam. Namun demikian, Pranoto memastikan bahwa jika kasus ini benar (dan ternyata memang benar), para pelaku harus ditindak sesuai hukum karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih jauh Kedaulatan Rakyat mengungkapkan penyelidikan Kejaksaan Negeri Samarinda dan Jawatan Sosial Samarinda (diketahui ikut menyelidiki kasus dari Suara Merdeka edisi 4 Desember 1956). Hasil penyelidikan ini dilaporkan kepada pemerintah pusat yakni Jawatan Transmigrasi Pusat dan Jaksa Agung di Jakarta. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kasus ini bukanlah perkara yang remeh pada masanya.
Borok Transmigrasi Melahirkan Pro-Kontra Politik
Berbagai catatan dari program transmigrasi di Kalimantan Timur, termasuk kasus perdagangan anak di Rawa Makmur, melahirkan pro-kontra. Partai Masyumi dan PSI di Kalimantan Timur menolak program transmigrasi. Sikap "dua serangkai" itu ditentang habis-habisan oleh lawan politik terbesar mereka yaitu PKI.
Pada Kongres Nasional VI PKI pada 7-14 September 1959 di Jakarta, Mohamad Setup selaku perwakilan CDB (Comite Daerah Besar) PKI Kaltim, mengeluhkan sikap Masyumi dan PSI Kaltim. Ia memulainya dengan menguraikan penderitaan para transmigran di Kalimantan Timur.
"Karena tidak cukup tanah dan sangat kurang atau terbatasnya pemberian jaminan sosial, maka 115 keluarga yang meliputi 350 jiwa terpaksa meninggalkan tempatnya: ada yang pulang ke tempat asal, ada yang pergi ke kota mencari pekerjaan, minta-minta, dan ada yang sampai menjual anaknya. Inilah yang dijadikan alasan bagi golongan kepala batu (PSI-Masyumi Kaltim) untuk menolak tambahnya transmigran," ujar Setup di muka hadirin. Setup adalah anggota Dewan Harian (DH) CDB PKI Kaltim yang kelak menghadapi sidang pengadilan subversi di Balikpapan pada 1967 sebagaimana dikutip dari Kedaulatan Rakyat terbitan 31 Maret 1967.
Dari pernyataan tadi, Setup kemudian menegaskan arti penting transmigrasi bagi pembangunan Kalimantan Timur. Ia mengatakan, "Bagi daerah Kalimantan Timur, persoalan transmigrasi adalah persoalan yang sangat penting dan mendesak. Untuk pembangunan di daerah Kalimantan Timur, khususnya memperluas areal persawahan/pertanian dan memperluas jaringan-jaringan perhubungan darat akan bisa berhasil baik apabila didatangkan transmigran sesuai dengan kebutuhan pembangunan."
Sehebat-hebatnya pertentangan dari Masyumi dan PSI, terbukti sepanjang pemerintahan Sukarno dan Soeharto, program transmigrasi di Kalimantan Timur tidak hanya berlanjut justru diperhebat. Adapun kedua partai yang menentang upaya transmigrasi itu akhirnya runtuh pada masa Demokrasi Terpimpin.
Rawa Makmur, bagi sebagian besar orang pada masa kini, hanyalah nama sebuah kelurahan di Kecamatan Palaran. Akan tetapi, pada masanya, Rawa Makmur berkelindan erat dengan berbagai kekurangan dalam program transmigrasi jika tidak ingin disebut kegagalan atau kebobrokan. (*)
Senarai Kepustakaan
Mengelilingi Kalimantan (8): Para transmigran boleh djadi buruh BPM, Kedaulatan Rakyat, 16 Juni 1956.
Rawa Makmur Jg Tidak Makmur, Suara Merdeka, 4 Desember 1956.
Pendjualan Anak Di Rawa Makmur, Suara Merdeka, 12 Desember 1956.
22 Anak telah didjual Diobjek Transmigrasi Rawa Makmur, Kedaulatan Rakyat, 24 Januari 1957.
Pengadilan Subversi Kaltim, Kedaulatan Rakyat, 31 Maret 1967.
Pidato Kawan Moh. Setup (1960). Dalam Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959, hlm. 800-802. Jakarta: Yayasan Pembaruan.