kaltimkece.id Kisah ini dimulai dari masa Orde Lama, tepatnya setahun selepas republik memperoleh kedaulatan penuh dari Konferensi Meja Bundar. Pemerintah Indonesia pada 1950 itu menghadapi gerakan separatis di pelbagai daerah. Ada PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi serta Maluku, hingga Rakjat Jang Tertindas (KRJT) di Kalimantan yang berafiliasi dengan DI/TII. Operasi penumpasan gerakan-gerakan tersebut memerlukan anggaran yang tak sedikit.
Maka dari itu, aparat pemerintah di daerah mencari pemasukan lewat jalan tidak resmi untuk membiayainya. Krystof Obidzinski, dalam bukunya Logging in East Kalimantan (2023), menyebutkan bahwa pola demikian juga diterapkan tatkala pemerintah bersiap merebut Papua dari tangan Belanda dalam Operasi Trikora pada pembuka 1960-an.[1]
Praktik serupa berlaku di Kaltim. Oknum-oknum aparat pemerintah disebut mengintensifikasi ekspor minyak dan kayu mentah ke Sabah yang saat itu bernama Borneo Utara di bawah kekuasaan Inggris. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk meminimalisasi perdagangan dengan wilayah jajahan Inggris.[2]
Perdagangan kayu di Kaltim saat itu memang didominasi birokrat swapraja yang bekerja sama dengan para tauke maupun pengusaha bumiputera. Skemanya yaitu izin kapersil (dari bahasa Belanda, kapperceel, kawasan konsesi perkayuan berukuran kecil) diterbitkan pejabat swapraja kepada para tauke. Akan tetapi, skema ini terganjal Program Benteng yang diberlakukan mulai 1950 hingga 1957. Program Benteng bertujuan memperkuat pengusaha bumiputera dengan cara membatasi aktivitas pengusaha Tionghoa.
Para tauke akhirnya beroperasi di balik layar. Mereka bekerja di belakang para pengusaha bumiputera yang bertindak sebagai pemborong sekaligus pemegang izin kapersil. Di dasar hierarki adalah para penebang kayu yang kebanyakan penduduk setempat terutama orang-orang Dayak dan Melayu. Para penebang memasok kayu kepada para kontraktor bumiputera serta para tauke dengan bayaran di muka.[3]
Para tauke kemudian mengekspor kayu mentah ke Jawa, Sulawesi, dan Sabah. Hasil usaha tersebut dibagi kepada pejabat swapraja.[4]
Tentara mulai mendominasi struktur pemerintahan daerah di Kaltim mendekati pembuka 1960. Dominasi militer ini tak lepas dari buah pikir Jenderal Abdul Haris Nasution yang menggagas konsep Front Lebar atau Jalan Tengah. Konsep fungsi ganda ini yaitu tentara sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.
Di Kaltim, pejabat militer mulai menggantikan pejabat swapraja yang sebelumnya banyak diisi para bangsawan. Kemunculan jabatan Penguasa Perang Daerah (Peperda) yang biasa dirangkap pangdam setempat turut membuka jalan personel militer ke beragam aspek termasuk industri kayu. Sebermula dari pembubaran Dinas Kehutanan Kalimantan Timur sebagai penanggung jawab produksi hasil hutan pada 1958, pemerintah mendirikan Perhutani Kalimantan Timur pada 1961. Perhutani yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah 28/1961 ini tunduk di bawah Peperda.[5] Hanya dua orang yang menjabat sebagai Peperda Kaltim semasa Orde Lama. Keduanya yaitu Kolonel Soehario dan Brigjen Soemitro.
Pada saat itulah, perdagangan kayu di Kaltim tumbuh pesat. Para pengusaha impor dari Jepang yang sebelumnya berbisnis di Filipina bermigrasi ke Borneo Utara. Perpindahan itu disebabkan pembatasan produksi kayu oleh pemerintah Filipina pada 1959. Para pengusaha Jepang tersebut kemudian melirik Kaltim sebagai gudang kayu mentah.[6]
Akhirnya, sebanyak 28 perusahaan Jepang bekerja sama dengan Perhutani Kaltim membentuk KFDC (Kalimantan Forestry Development Corporation) pada 1963. KFDC memfasilitasi eksploitasi kayu berskala besar. Termasuk di dalam barisan ini adalah Mitsui dan Mitsubishi, dua korporasi Jepang yang sudah aktif dalam eksploitasi kayu di Kaltim sebelum Perang Dunia II.[7]
Kehadiran KFDC--kelak justru menjadi malapetaka bagi para investor Jepang karena menderita kerugian besar--adalah berkah bagi pengusaha kayu kecil. Sebagai pemasok utama KFDC, para pengusaha kecil diuntungkan dengan skema bagi hasil. Para pengusaha kecil juga memperoleh sumbangan infrastruktur dari KFDC untuk menjalankan sistem kuda-kuda atau penebangan kayu secara manual. Mereka bisa menjual kayu mentah ke Tawau dengan hasil yang sangat menguntungkan.[8]
Kehadiran KFDC ternyata hanya manis di muka. Perusahaan ingkar atas janji membayar mitra Indonesia dengan harga pasaran dunia. Bayaran tersebut ternyata jauh lebih rendah akibat kewajiban utang dari pihak Indonesia. Akibatnya runyam karena memicu perdagangan kayu gelap ke Sabah makin subur. Padahal, pada saat yang bersamaan Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Para pengusaha kayu kecil juga merasa tak perlu meminta izin konsesi dari pemerintah. Penebangan liar merajalela di provinsi ini pada 1962-1963.[9]
Otoritas setempat tak tinggal diam. Pemerintah Daerah Kaltim mengeluarkan Peraturan Daerah 9/1963 yang mewajibkan semua pengusaha di luar Perhutani memiliki izin kapersil. Kegiatan para pengusaha tersebut juga dibatasi di konsesi masing-masing. Masih belum cukup, Dinas Kehutanan Kalimantan Timur kembali dihidupkan pada 1964. Tugas utamanya yaitu memberantas penebangan liar.[10]
Berau adalah satu dari antara wilayah yang mengalami pembabatan hutan yang hebat kala itu. Pada awalnya, Aji Raden Muhammad Ayub selaku Bupati Berau mendapat tekanan dari Kolonel Soehario selaku Peperda. Mantan Sultan Gunung Tabur itu dituduh sepihak telah menghambat revolusi nasional karena berkomplot bersama para spekulan asing (baca: Tionghoa) baik dalam maupun luar negeri (terutama Malaysia) serta melanggengkan feodalisme. ARM Ayub kemudian digantikan oleh Yunuzal Yunus, seorang pamong praja yang dianggap pengikut Soehario, pada 1964.[11]
Kondisi perekonomian Berau memburuk. Perdagangan kayu gelap merajalela bahkan makin parah. Padahal, tentara sudah ditempatkan di Nunukan yang dekat dengan jalur penyelundupan. Kehadiran tentara juga diperkuat di perbatasan Indonesia-Malaysia. Kolonel Soehario dalam beberapa kesempatan bahkan menginspeksi wilayah perbatasan. Agaknya, oknum tentara memilih membiarkan perdagangan ini tumbuh subur. [12]
Di tingkat provinsi, perang dingin antara Soehario dengan Gubernur Abdoel Moeis Hassan juga merambah ke dunia perkayuan. Pada 1963, Moeis Hassan mengundang rombongan pengusaha dari Filipina untuk keperluan survei penelitian eksploitasi kayu di Kaltim. Baru sebulan survei, mereka diusir Soehario. Nasib yang sama menimpa rombongan pengusaha kayu dari Sabah. Gubernur kemudian memohon kepada Perhutani agar pemerintah provinsi diberikan kendali atas sebagian kawasan hutan di Kaltim. Hal ini pula yang melatarbelakangi Dinas Kehutanan Kaltim didirikan kembali.[13]
Orde Lama dan Konfrontasi Malaysia kemudian berakhir pada 1966. Akan tetapi perdagangan kayu gelap masih merajalela akibat inflasi yang hebat. Oknum pejabat maupun militer disebut terus bertransaksi dengan Sabah demi memenuhi kantong pribadi dan lembaga. Termasuk pula, untuk memperoleh barang-barang konsumsi yang sangat diperlukan.[14]
Dwifungsi dan Deforestasi Masa Orde Baru
Soeharto baru beberapa bulan dilantik sebagai presiden ketika diadakan Seminar Angkatan Darat II pada 25-31 Agustus 1966. Seminar tersebut merumuskan konsep Dwifungsi ABRI yaitu tentara yang membawa dua kekuatan yaitu militer dan sosial politik.
Setahun kemudian, pemerintah Soeharto memberlakukan UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Jumlah kapersil di Kaltim meningkat drastis saat Orde Baru. Total luasnya mencapai 600 ribu hektare. Sebanyak 447 ribu hektare kapersil terletak di Kabupaten Kutai, 107 ribu hektare di Balikpapan dan Paser, sementara 30 ribu hektare di Berau dan Bulungan. Pada tahun yang sama, lahan konsesi perkayuan besar diberikan kepada perusahaan-perusahaan dalam negeri melalui hak pengusahaan hutan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan.[15][16]
Sementara itu, peran ABRI terus melebar ke berbagai aspek pada awal dekade 1970-an. Militer masuk ke badan-badan usaha legal yang setara dengan Perhutani maupun perusahaan yang lain. Adapun para pengusaha yang tidak bersedia untuk bekerja sama disebut akan menerima tekanan. Kehadiran militer melalui dwifungsi ABRI di industri kayu nampak jelas. Dari sepuluh perusahaan nasional pemegang HPH, tiga di antaranya adalah milik ABRI.
Ketiganya yaitu PT Budidjajawangi (Komando Korps Karya Angkatan Darat) dengan konsesi 14 ribu hektare, PT Komando Operasi Karya Angkatan Darat (100 ribu hektare), dan PT Komando Korps Karya Angkatan Laut (60 ribu hektare). Dengan demikian, sekitar 200 ribu hektare atau 11,2 persen dari total 1,78 juta hektare konsesi di Kaltim adalah milik ABRI.[17]
Pada awal 1968, PT Yayasan Maju Kerja (Yamaker), juga di bawah kendali ABRI, memasuki panggung sebagai operator utama konsesi perkayuan sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia. Setahun berikutnya, Angkatan Kepolisian terjun melalui Badan Usaha Angkatan Kepolisian dengan wilayah konsesi seluas 100 ribu hektare. Kodam IX/Mulawarman juga mendapat konsesi seluas 40 ribu hektare yang dikelola melalui Puskopad Kodam IX/Mulawarman.[18]
Tak semua perusahaan itu berperan sebagai produsen. PT Budidjajawangi yang dipimpin Kapten Agus Soemarlono beroperasi di Pulau Sebatik. Ketika mulai beroperasi, kondisi hutan di Sebatik sudah menurun karena aktivitas penebangan pada masa sebelumnya. Oleh sebab itu, perusahaan lebih banyak berperan sebagai fasilitator atau pemasok ketimbang produsen utama. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi PT Sebatik Abadi pada 1971.[19]
Burhan Magenda dalam bukunya The Decline of a Commercial Aristocracy (1991) menyebutkan alasan utama ABRI terjun ke industri kayu. Nyaris sama seperti Orde Lama, alasannya yaitu membiayai anggota dan operasional di luar anggaran tahunan.[20]
Industri kayu di Kaltim kemudian dikuasai tiga perusahaan pada dekade 1970-an. Tiga korporasi tersebut menggantikan Kayan River Timber Products (KRTP), anak perusahaan Filipina dari sebuah perusahaan kayu Amerika. KRTP dengan konsesi seluas 1,2 juta hektare di Bulungan itu sebelumnya dinyatakan pailit.[21]
PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI) adalah satu dari ketiga perusahaan yang menggantikannya. Perusahaan ini dikelola yayasan milik tentara bersama Weyerhaeuser, perusahaan kayu Amerika Serikat. Konsesinya seluas 500 ribu hektare di Kotamadya Balikpapan dan Kabupaten Kutai. PT ITCI juga menjalin kontrak dengan perusahaan lain milik ABRI yakni PT Tri Usaha Bhakti dan mempunyai ikatan tidak resmi dengan Kodam IX/Mulawarman.[22]
Perusahaan kedua yakni PT Georgia Pacific Indonesia (PT GPI) milik Bob Hasan, kroni dekat Soeharto. Perusahaan yang namanya menjadi metonim di kawasan Selili, Samarinda, tersebut memegang konsesi 600 ribu hektare di hulu Mahakam. Bob Hasan juga mempunyai sekitar 20 hingga 30 perusahaan lain yang berkaitan dengan industri kayu seperti pabrik kayu lapis. Ia yang segera dijuluki "raja hutan" itu menguasai bisnis perkayuan sepanjang 1970-an hingga 1980-an.[23]
Perusahaan ketiga adalah PT Sumber Mas Timber milik Jos Soetomo, seorang Tionghoa-Indonesia asal Kaltim. Ia juga mempunyai pabrik kayu lapis di Gresik dan Samarinda serta beberapa perusahaan lain termasuk PT KRTP di bawah naungan Sumber Mas Group. Jos adalah pengusaha peranakan yang mualaf. Pada 1980, ia membeli PT KRTP di Bulungan untuk memperluas usaha dan wilayah konsesinya yang semula terpusat di Kabupaten Kutai.[24]
Dari ketiga pengusaha ini, hanya Jos sendirian yang pernah tertimpa perkara hukum pada 1984.[25] Magenda maupun Obidzinski sama-sama yakin bahwa kasus tersebut bermuatan politis. Penyebabnya adalah Jos tidak menjalin koneksi dengan pemegang kuasa di Jakarta termasuk tentara.
Orde Baru akhirnya melegalkan peran militer di berbagai aspek atau dwifungsi ABRI melalui UU 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Kaltim kemudian memasuki era penebangan hutan besar-besaran yang disebut banjir kap. Pada masa itu, pemerintah pusat melalui Ditjen Kehutanan mencoba mengendalikan industri kayu dengan mewajibkan sistem tebang pilih dan penyerahan rencana kerja tahunan (RKT) perusahaan. Sebagian besar perusahaan tidak melakukannya. Banyak perusahaan justru kebal hukum berkat koneksi mereka dengan para pejabat di Jakarta.[26]
Sebenarnya, hanya 20 dari 92 badan usaha pemegang HPH yang menjalankan kewajiban peremajaan hutan. PT ITCI dan PT Georgia Pacific Indonesia yang dikelola ABRI termasuk yang mengingkarinya. Padahal, badan usaha yang memegang HPH telah menguasai 10,2 juta dari total 17,3 juta hektare hutan di Kaltim sejak 1967 hingga 1980. Seluas 1,9 juta hektare hutan yang ditebang tetapi hanya 7.121 hektare (0,4 persen) yang ditanam kembali.[27]
Praktik pemegang HPH tersebut juga menyebabkan 11 persen dari seluruh hutan primer di Kaltim gundul. Ironisnya lagi, para pengusaha kayu kecil yang ikut dalam banjir kap justru dijadikan kambing hitam deforestasi. Padahal, menurut catatan, banjir kap hanya menggunduli 100 ribu hektare hutan. Jumlah itu tak seberapa dibandingkan pemegang HPH yang menebang 1,9 juta hektare hutan.[28]
Deforestasi di Kaltim segera mengundang bencana besar. Penggundulan hutan yang menyebabkan kekeringan lahan menjadi satu faktor penyebab kebakaran hutan yang begitu dahsyat pada 1983. Seluas 3,6 juta hektare hutan ludes dilalap api.[29] Bencana yang sama terulang pada akhir rezim Soeharto. Menurut catatan Bank Dunia, kebakaran pada 1997 itu melanda 8 juta hektare lahan di Kalimantan dan Sumatra. Majalah Times melaporkan, kerugiannya mencapai USD8 miliar atau setara Rp120 triliun sekarang.
Refleksi Hari Esok
Reformasi berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru yang disebut otoriter. Pengaruh militer dalam politik saat itu sudah melemah. Fraksi ABRI--saat itu telah berubah menjadi Fraksi TNI-Polri juga kehilangan kursi di DPR. Dwifungsi ABRI kemudian dihapuskan melalui TAP-MPR oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000 sekaligus memisahkan kepolisian dari militer.
Kekhawatiran dwifungsi tentara kembali diberlakukan hari-hari ini mencuat setelah RUU TNI disahkan pada 20 Maret 2025. Masyarakat sipil cemas apabila tentara (dan juga polisi) kembali masuk ke berbagai ranah yang semestinya mutlak di tangan sipil, termasuk perekonomian. Para pendukung revisi UU 34/2004 mengklaim bahwa keterlibatan TNI seharusnya tak perlu dipermasalahkan. Malahan, masyarakat semestinya menyambut baik dinamika baru "kerja sama" sipil dan militer dalam mengelola negara.
Pendapat tersebut amat bisa dibantah. Berkaca dari hutan-hutan di Kaltim selama Orde Lama dan Orde Baru, jejak militer banyak tertinggal. Memang tak dapat dimungkiri bahwa keuntungan ekonomi dari industri kayu saat itu sangatlah besar. Akan tetapi, kerugiannya jauh lebih besar dan membekas hingga saat ini.
Patutlah pengalaman ini menjadi bahan refleksi untuk menentukan sikap terhadap penguatan partisipasi TNI dan Polri dalam ranah-ranah kenegaraan yang semestinya dikuasai penuh oleh sipil. Refleksi yang amat penting jika negara ini masih dianggap berbentuk demokrasi. (*)
Senarai Kepustakaan
[1][2]Obidzinski, Krystof. 2003. Logging in East Kalimantan, Indonesia. The Historical Expedience of Illegality. Amsterdam: University of Amsterdam. (Tesis), hlm 103.
[3][4]Obidzinski, 2003, hlm 66 dan 97.
[5] Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1961 tentang Perusahaan Kehutanan Negara Kalimantan Timur.
[6][7][8][9][10] Obidzinski, 2003, hlm 105-108.
[11][12]Obidzinski, 2003, hlm 180-181.
[13]Magenda, Burhan Djabier. 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University, hlm 77-78.
[14]Magenda, hlm 107-108.
[15] Obidzinski, 2003, hlm 111.
[16] Magenda, 1991, 2003, hlm 80.
[17][18] Obidzinski, 2003, hlm 111.
[19] Obidzinski, 2003, hlm 113.
[20] Magenda, 1991, hlm 80.
[21][22] Magenda, 1991, hlm 89.
[23] Obidzinski, 2003, hlm 122.
[24] Magenda, 1991, hlm 89.
[25] Diadili di Kandang Sendiri, Tempo, 48/13, 28 Januari 1984.
[26] Magenda, 1991, hlm 81.
[27][28] Magenda, 1991, hlm 81 dan 89.
[29] Hidayat, Herman. 2005. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 133