Ditulis oleh: Joko Supriyadi*
kaltimkece.id Jepang baru saja takluk dari Sekutu dalam Perang Dunia Kedua ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi, alam kemerdekaan tersebut masih dirongrong Pemerintah Belanda. Penjajah yang membonceng tentara Sekutu berupaya mencengkeramkan kekuasaannya lagi.
Caranya lewat sejumlah perjanjian yang merugikan Indonesia. Melalui Perjanjian Linggar Jati, Belanda berusaha memecah-belah dengan membentuk negara baru. Satu di antaranya adalah Federasi Kalimantan Timur yang didirikan pada 1947. Federasi tersebut merupakan gabungan kesultanan di Kalimantan Timur antara lain Kesultanan Kutai Kertanegara, Gunung Tabur, Bulungan, Sambaliung, dan Dewan Pasir. Gabungan Kesultanan ini disebut Dewan Kesultanan yang diketuai Sultan Kutai.
Di dalam federasi ini terdapat juga Dewan Kalimantan Timur. Dewan ini diketuai Adji Raden Afloes. Sementara itu, Dewan Rakyat dibentuk di daerah-daerah kesultanan. Belanda berharap, Federasi Kalimantan Timur mendukung niat mereka kembali menjajah Indonesia. Namun demikian, para sultan dan AR Afloes tetap kepada pendirian mereka sesuai Konferensi Malino 1946. Mereka berada di belakang Republik Indonesia (Datu Bestari, 1965).
Pembentukan federasi ini sebenarnya banyak ditentang tokoh-tokoh nasional. Para tokoh nasionalis itu pada awalnya menempuh "jalan pedang" menghadapi Belanda. Mereka menyusun penyerangan Gerindo di Balikpapan (Abdul Ghani, 1993) dan perlawanan Pasukan Merah Putih di Sanga-Sanga (Juniar Purba, 2013). Belanda berhasil mematahkan semua perlawanan tersebut dan menangkap para pemimpin pergerakan.
Di mata para tokoh nasionalis tersebut, Federasi Kalimantan Timur adalah boneka buatan Belanda. Menanggapi penolakan tersebut, para pemuka federasi selalu menyampaikan bahwa dewan boleh dianggap boneka. Akan tetapi, orang-orang yang mengisi dewan tersebut tetap republiken atau mendukung Republik Indonesia (Noor, 1986).
Pernyataan itu menjadi pertimbangan sebagian besar tokoh nasionalis. Pada akhirnya, mereka mengubah taktik dari "jalan pedang" menjadi diplomasi melalui parlemen. Pada 1948 dan 1949, Dewan Rakyat dan Dewan Kalimantan Timur makin banyak diisi tokoh-tokoh nasionalis. Mereka di antaranya adalah Rasyid Sutan Raja Mas selaku ketua Ikatan Nasional Indonesia (INI) Cabang Tarakan, Stefanus Bandah selaku ketua INI Cabang Tanjung Selor, Muhammad Noor selaku aktivis INI Cabang Berau, serta Andi Caco, Damus Frans, dan Tayeb Kesuma dari INI Balikpapan (Noor, 1986).
Pimpinan Dewan Kesultanan konsisten mengikuti semangat dan gerakan rakyat tersebut. Sultan Bulungan, misalnya, dibujuk rayu Belanda dengan segala cara termasuk pemberian pangkat militer kolonel tituler pada 1947. Sultan Bulungan tetap dengan pendiriannya. Ia justru memanfaatkan status militer tersebut untuk kepentingan perjuangan mendukung republik (Zarkasyi, 2010).
Pada 13 Agustus 1949, Dewan Kesultanan mengambil keputusan penting. Dewan menetapkan untuk pertama kali bahwa 17 Agustus merupakan Hari Kebangsaan Indonesia. Semua kantor, jawatan, dan sekolah diliburkan. Keputusan ini ditembuskan kepada perwakilan pemerintah Belanda yakni Asisten Residen Kutai/Pasir di Balikpapan dan Asisten Residen Bulungan/Berau di Tarakan. Pemerintah Belanda tidak mampu berbuat apa-apa.
Puncaknya pada 17 Agustus 1949. Upacara pengibaran bendera merah putih secara besar-besaran diselenggarakan di depan istana bertingkat dua Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas. Upacara tersebut merupakan puncak dari perjuangan kaum republiken yang menghadapi berbagai tantangan sejak Proklamasi 1945.
Peristiwa bersejarah tersebut terekam dalam sejumlah foto. Sultan Sambaliung, Muhammad Aminudin; nampak duduk diapit Sultan Bulungan, Maulana Muhammad Jalaludin; dan Sultan Gunung Tabur, Achmad Maulana. Mereka berpose bersama tokoh-tokoh nasionalis. Ada Muhammad Rasyid gelar Sutan Raja Mas dari INI dan Sampan alias Zainudin dari Long Iram.
Tokoh yang lain di dalam foto tersebut adalah Moechsin selaku sekretaris Federasi Kalimantan Timur, Adji Raden Djojoprawiro selaku sekretaris umum Federasi Kalimantan Timur, Adji Raden Djokoprawiro sebagai wakil ketua Majelis Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, Adji Raden Afloes selaku ketua Badan Harian Dewan Kalimantan Timur, Datu Perdana dan Datu Laksmana dari pejabat Istana Bulungan, dan tokoh lain yang belum dapat diidentifikasi.
Koleksi foto itu diperoleh dari saudara Abbas keturunan Datu Haji Datu bin Sultan Datu Alam Muhammad Khalifatul Adil dari Bulungan. Foto-foto tersebut kini dipelajari tim Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara. Ditinjau dari sejarahnya, tokoh-tokoh dalam foto ini merupakan panitia penyelenggara upacara pengibaran bendera merah putih pada 17 Agustus 1949 di Tanjung Palas.
Penyelenggaraan upacara tersebut merupakan keputusan yang berani. Dampaknya begitu besar terhadap mental Belanda. Empat bulan kemudian, 27 Desember 1949, Pemerintah Belanda tidak punya pilihan selain menyerahkan kedaulatannya kepada bangsa Indonesia. Sejarah ini juga menjadi bahan untuk mengenang jasa para pahlawan. Mereka yang baru saja dijajah Jepang harus berjuang lagi menghadapi Sekutu dan Belanda. Berkat perjuangan mereka pula, kita bisa menikmati kemerdekaan saat ini.
Oleh karena itu, napak tilas sejarah upacara tersebut insyaallah dilaksakanan di Tanjung Palas, Bulungan, pada 17 Agustus 2024. Keturunan dari tokoh-tokoh di dalam foto tersebut akan diundang sebagai apresiasi terhadap para pahlawan.
Acara ini diselenggarakan Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara bekerja sama dengan Lembaga Adat Kesultanan Bulungan dan Orang Indonesia Cabang Tarakan, Orang Indonesia Cabang Tanjung Selor, Forum Intelektual Kaltara, Jelita, GMNI Bulungan, TJS Runner, Perguruan Kuntau Bulungan, Laskar Adat Kesultanan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Laskar Pemuda Adat Dayak Kaltim-Kaltara, dan berbagai elemen masyarakat. Bagi organisasi masyarakat, perorangan, atau korporasi yang ingin bergabung dan berkontribusi, dapat menghubungi panitia di nomor 085348912951. (*)
*) Penulis adalah direktur utama Yayasan Sejarah dan Budaya Kalimantan Utara, penulis buku Menggugat Subversif Bultiken 1964
Senarai Kepustakaan
Bestari Datu. 1965. Riwayat Singkat Perjuangan Kerajaan Bulungan dalam menyokong 100% tetap berdiri di belakang pemerintah republik Indonesia di Jokjakarta. Naskah tidak diterbitkan.
Ghani Abdul Haji. 1993. Perjuangan Rakyat Kalimantan Timur dalam Merebut Kemerdekaan. Penerbit: Jakarta Kaltim Group.
Koestarta Tarib Drs, Finandar Fidi Drs, Noor M. Ars, Hasyim Achmad, Hanan Syahrial Drs. 1983. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.
Noor Muhammad Ars, Rasyid Yunus, Achmad Hasyim. 1986. Sejarah Kota Samarinda. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta. Cetakan pertama.
Purba Juniar. 2013. Sejarah Perjuangan Merah Putih di Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. STAIN PONTIANAK PRESS.
Zarkasyi Muhammad. Mengenang aksi penyusupan mata-mata Republik Indonesia di wilayah Kesultanan Bulungan. Diakses pada 27 Mei 2024. https://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/search?updated-max=2010-07-07T01:23:00-07:00&max-results=7&start=67&by-date=false&m=0