Ditulis Oleh: M Jaris Almazani*
PEMBANGUNAN Balikpapan tidak bisa dilepaskan dari kehadiran kilang minyak. Sejak perusahaan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) hadir pada awal abad ke-20, wilayah tersebut mengalami perkembangan pesat. Balikpapan berubah dari sebuah kampung nelayan kecil menjadi kota berpenduduk 39.092 jiwa pada 1930 (Magenda, 1991, hlm 29).
Kedatangan BPM sekilas terkesan membawa dampak positif bagi pembangunan Balikpapan. Padahal, ketimpangan-lah yang nampak dari kehadiran perusahaan. Keadaan makin rumit seiring perubahan iklim politik berupa konfrontasi dengan negara tetangga. Kedua situasi itu akhirnya mengilhami pengambilalihan aset perusahaan pada 1963.
Ketimpangan Kota
Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, menyebutkan bahwa kontribusi BPM sangat kecil terhadap pembangunan Balikpapan. Kalaupun ada, kontribusi itu sebatas pembangunan di kawasan kompleks BPM. Sebagai contoh, Balikpapan baru mempunyai sebuah sekolah pada 1928. Sekolah itu bukanlah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) seperti yang sudah lebih dulu berdiri di Samarinda dan Tenggarong. Balikpapan "hanya" memiliki sekolah dasar vokasi (hlm 31).
Tidak banyak perubahan di Kota Minyak bahkan hingga penyerahan kedaulatan pada 1949. BPM terasa kian eksklusif. Perusahaan mempunyai kesatuan penjaga yang disebut terreinbewaking (TB). Para petugas TB itu mengenakan seragam yang hampir menyerupai polisi negara pada waktu itu walaupun diganti menjadi warna kulit kayu dengan topi bambu sejak 1953.
Keberadaan TB ini menimbulkan kesan bahwa BPM adalah negara di dalam negara. Walau demikian, menurut keterangan surat Djawatan Kepolisian Negara Bagian Dinas Reserse Kriminil pada 20 Januari 1956, TB hanya berjumlah 153 orang. TB juga masih bekerja sama dengan polisi negara untuk menjaga keamanan di konsesi BPM.
Ketimpangan sosial makin nampak ketika pipa minyak dari Balikpapan ke Tanjung (Kalimantan Selatan) mulai dibangun pada akhir dekade 1950-an. Sebagian besar buruh kontrak di proyek tersebut adalah transmigran yang bermukim di Petung (kini wilayah Penajam Paser Utara). Mereka terlantar dan terlunta-lunta sehingga terpaksa mengemis di jalan-jalan Kota Balikpapan (Kecik, 2009, hlm 188-189).
Komposisi pegawai BPM mulai berubah pada 1957. Aset-aset perusahaan diambil alih Shell selaku perusahaan induk. Seluruh aset termasuk fasilitas kilang minyak dikuasai PT Shell Indonesia. Pegawai-pegawai Belanda diganti oleh pegawai Inggris dan Amerika (hlm 17). Meskipun demikian, kebijakan perusahaan sepertinya tidak berubah.
Contohnya, ganti rugi yang diberikan Shell kepada pemilik lahan yang terdampak proyek pembangunan pipa Balikpapan-Tanjung disebut sangat kecil. Ganti rugi tersebut hanya Rp3,50 per meter persegi. Angka ini diketahui dari sebuah artikel berjudul Sahkan Garapan Rakjat Diatas Tanah Konsesi yang dimuat dalam Suara Tani edisi Juli 1961. Mengutip majalah yang sama pada edisi Januari 1962, Barisan Tani Indonesia (BTI) Cabang Balikpapan kemudian menggugat Shell ke pengadilan atas perkara itu.
Tuntutan ganti rugi yang lain juga diajukan kepada DPRD-GR Kotapradja Balikpapan menurut The Straits Times edisi 4 Januari 1963 (dalam artikel, DPRD-GR disebut "dewan kota" atau city council). Pada 3 Januari 1963 itu, Shell dituntut atas penggunaan air dari Sungai Wain selama 15 tahun. Jumlah ganti rugi yang diajukan tidak main-main yakni $4,2 juta.
Ketimpangan di Kota Minyak dibahas lebih jauh lagi dalam artikel Sahkan Garapan Rakjat Diatas Tanah Konsesi. Artikel yang ditulis oleh Handi, seorang anggota MPRS, tersebut membahas seminar land reform Provinsi Kalimantan Timur pada 22-27 Juni 1961 di Balikpapan. Hadir tiga serikat tani yang dominan pada saat itu, baik secara nasional maupun di Kaltim. Mereka adalah BTI (onderbouw dari PKI), Petani (onderbouw dari PNI), dan Pertanu (onderbouw dari NU). Masalah ketimpangan di Balikpapan dibahas dalam seminar tersebut.
Handi menulis bahwa jalan aspal di kompleks Shell mulus dan bahkan "lebih baik daripada di ibu kota." Listrik di jalan kompleks Shell juga menyala semalam penuh. Penduduk di kompleks perusahaan dimanjakan berbagai fasilitas seperti bioskop dan tempat olahraga. Saban setengah jam, selalu ada bus yang menyusuri kompleks sehingga warga tidak pernah mengalami kesulitan transportasi. Busnya bahkan disebut, "Lebih baik daripada bus PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta,-pen) yang paling baru."
Jika kompleks Shell bagaikan surga, realita yang dihadapi warga Balikpapan adalah sebaliknya. Setiap malam, pukul 20.00, listrik di jalan kota akan padam. Jalan di luar kompleks perusahaan masih "tinggi rendah" dan belum semuanya diaspal. Penduduk juga kerap mengalami kesulitan transportasi sebab harus menunggu kendaraan umum yang tidak menentu jadwalnya.
Tiga Bulan Shell Dikuasai
Sebuah badan bernama Kerdja Sama Organisasi Buruh Minjak (KSOBM) Kaltim baru saja dibentuk pada Januari 1963. Badan yang diinisiasi Persatuan Buruh Minyak (Perbum) Balikpapan itu bertujuan memfasilitasi upaya nasionalisasi (Sulistyo, 2013, hlm 168).
Berdasarkan keterangan Warta Bhakti pada 10 Februari 1964, keanggotaan KSOBM terdiri dari Perbum, KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia), SKBM (Serikat Kaum Buruh Minjak), dan Serbumit (Serikat Buruh Minjak dan Tambang). KBM adalah onderbouw PNI, SOBRI dari Murba, dan Perbum dari PKI. Adapun Serbumit bernaung di bawah Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). SKBM, sementara itu, berdiri sendiri atau bukan merupakan onderbouw dari suatu partai.
Beberapa bulan sebelum KSOBM didirikan, memang sudah ada langkah-langkah menuju nasionalisasi. Koran Merdeka pada 29 Desember 1962 memberitakan tentang tuntutan Panitia 1 Mei Front Nasional Kotapraja Balikpapan. Panitia ini tentunya terdiri dari berbagai serikat buruh minyak (terutama Perbum). Mereka menuntut PT Shell tidak lagi menambah jumlah tenaga asing. Jika ada yang berhenti atau harus diganti, penggantinya harus warga negara Indonesia.
Di samping itu, mereka menuntut pemerintah melarang pengiriman makanan dari luar negeri bagi pegawai asing PT Shell. Pengiriman seperti itu dianggap menurunkan devisa negara. Tuntutan ini dibahas dalam sidang DPRD-GR Kotapraja Balikpapan pada Desember 1962.
Setahun kemudian, sentimen anti-Inggris makin terasa di Balikpapan terutama setelah Presiden Sukarno menyatakan konfrontasi pada 1963. Sukarno menilai Federasi Malaysia yang baru didirikan adalah boneka Inggris. Pada saat yang nyaris bersamaan dengan pernyataan konfrontasi tersebut, aksi boikot besar-besaran terhadap Shell pun dimulai pada 16 September 1963.
Sebanyak 5.000 buruh minyak dimobilisasi Pengurus Daerah Front Nasional (PD FN). Mereka memboikot dan mengambil alih aset-aset Shell di Balikpapan. Para pembantu rumah tangga, sopir, dan pesuruh juga ikut serta dalam aksi ini (Sulistyo, 2013, hlm 168). Menurut kesaksian Margaret, istri G Glendenings (manajer PT Shell Indonesia di Balikpapan), dalam The Straits Times terbitan 3 Oktober 1963, "seorang pria kecil dengan tongkat" menyuruh semua pembantu rumah tangga di kompleks Shell untuk mogok kerja.
Aksi boikot itu diwarnai dengan corat-coret slogan anti-Inggris di mobil-mobil pegawai Shell. Para pegawai berkebangsaan asing "diimbau" untuk tetap di rumah (Redfern, 2010, hlm 217). Meski demikian, seperti diterangkan Margaret, tidak ada penjarahan dan pembunuhan selama aksi tersebut.
Keesokan harinya, 17 September 1963, Kolonel Soehario selaku panglima daerah militer mengumumkan bahwa aset-aset PT Shell telah diambil alih (hlm 218). Sebanyak 66 pegawai Shell berkebangsaan asing, seluruhnya adalah pengurus PT Shell di Balikpapan, dilarang bekerja dan dikenai tahanan rumah. Perintah itu datang dari Kolonel Soehario yang kemudian diturunkan kepada Letkol Toni Sukartono selaku Dandim Balikpapan.
Menurut The Straits Times edisi 3 Oktober 1963, Glendenings diberitahu bahwa aset-aset PT Shell (termasuk toko milik CIVO-Centrale Inkoop-Verkoop Organisatie-organisasi koperasi BPM/Shell) akan diambil alih pemerintah. Pihak Indonesia akan menunjuk seorang manajer atau asisten untuk mengelolanya. Para pekerja asing yang dikenai tahanan rumah juga dilarang pergi bekerja dan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar.
Pada 23 September, Glendennings berhasil menyelundupkan sebuah surat yang kemudian diterima Duta Besar AS untuk Indonesia, Howard Palfrey Jones, tiga hari berikutnya. Surat tersebut berisi permohonan agar mereka segera dibebaskan. Atas desakan Jenderal Ahmad Yani melalui perintah pada 25 September, Kolonel Soehario membebaskan para tahanan pada 28 September 1963 (Redfern, 2010, hlm 239-240).
Keluarga dari para pekerja asing akhirnya dievakuasi pada Rabu pagi, 2 Oktober, sesuai keterangan The Straits Times terbitan 3 Oktober 1963. Mereka diangkut dari Balikpapan ke Jakarta menggunakan dua pesawat AURI. Para keluarga dari para pekerja diizinkan membawa dua koper berisi barang pribadi. Dari Jakarta, mereka diberangkatkan ke Singapura dengan empat pesawat pengangkut milik RAF (Angkatan Udara Inggris) dan tiba di Bandar Udara Changi pada malam hari. Sebanyak 145 wanita dan anak-anak dievakuasi dari Balikpapan. Mereka kembali ke Inggris dengan sebuah pesawat yang disewa oleh Shell.
Adapun para pegawai Shell berkebangsaan asing, sebagaimana diketahui dari The Straits Times edisi 15 Oktober 1963, tetap bertahan di Balikpapan. Mereka dilibatkan dalam suatu badan pengawas di mana pemerintah turut serta. Sebelum pemerintah berhasil menunjuk seorang manajer untuk mengelola perusahaan, para pimpinan serikat buruh mengambil alih untuk sementara waktu (Sulistyo, 2013, hlm 168).
Pada 21 September 1963, lima hari sejak boikot dimulai, Chaerul Saleh selaku menteri perindustrian dasar dan pertambangan Indonesia mengangkat Pangdam Soehario sebagai komisaris PT Shell di Balikpapan. Pengangkatan itu berdasarkan Keputusan Menteri No 635. Dengan demikian, Soehario menjadi ketua badan pengawas.
Jabatan itu sebenarnya dibentuk untuk mengendalikan Soehario. Akan tetapi, jabatan tadi malah memperkuat posisinya. Pada akhir September 1963, Soehario dibantu Perbum berhasil membentuk sebuah dewan komisar yang terdiri dari 13 orang untuk membantunya. Para komisar bertindak sebagai pengawas hubungan antara buruh dengan pegawai asing dan praktis berfungsi sebagai dewan pengurus perusahaan (Redfern, 2010, hlm 240-241).
Reaksi dan Kemenangan Semu Shell
Shell tentu tidak tinggal diam. Mereka mencoba melobi beberapa pejabat pusat seperti Chaerul Saleh dan Djuanda sepanjang Oktober-November 1963. Namun demikian, kedua pejabat itu tidak dapat berbuat banyak. Kepada perwakilan Shell, Chaerul dan Djuanda mengatakan bahwa hanya Sukarno yang mampu mengubah keadaan (Redfern, 2010, hlm 241-242).
Di sisi lain, aksi pengambilalihan perusahaan ternyata tidak sesuai Keputusan Presiden 194/1963. Menurut keputusan yang disahkan pada 19 September itu, perusahaan-perusahaan Inggris hanya boleh diambil alih atas perintah presiden selaku panglima tertinggi.
Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Dr Subandrio dan Chaerul Saleh secara terpisah meyakinkan Duta Besar AS untuk Indonesia, Howard P Jones. Mereka menegaskan bahwa pemerintah akan menindak tegas pengambilalihan Shell (hlm 218). Dengan demikian, aksi nasionalisasi di Balikpapan tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tidak menghendaki pengambilalihan terhadap perusahaan-perusahaan minyak.
Kolonel Soehario bersedia mengembalikan aset-aset Shell pada 24 September 1963. Syaratnya, dewan pengurus Shell di Balikpapan tidak melibatkan seorang Inggris pun di dalamnya. Shell akhirnya merancang dewan pengurus yang baru pada awal Oktober. Semua 66 pegawai berkebangsaan asing diganti. Sebanyak 27 pegawai asing digantikan dengan orang Indonesia, 34 lainnya berkebangsaan selain Inggris, dan lima jabatan dihapuskan. Rancangan ini kemudian dibahas dalam pertemuan dengan Chaerul Saleh pada 19 Oktober 1963 (hlm 241).
Tidak banyak yang berubah selama dua bulan berikutnya. Manajemen Shell yang lama masih dibekukan dari tugasnya. Akhirnya, Chaerul Saleh mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perdatam No 932/M/Perdatam/63 pada 12 Desember 1963. Isinya antara lain menyetujui proposal Shell. Keputusan ini kemudian ditarik dan direvisi menjadi Surat Keputusan Menteri Perdatam No 946/M/Perdatam/63 pada 18 Desember 1963. Sistem komisar dihapuskan tetapi dapat kembali dibentuk jika diperlukan (hlm 243).
Merespons keputusan tersebut, Soehario mengadakan pertemuan dengan KSOBM pada 19 Desember 1963. Ia menegaskan sikapnya yang menyetujui keputusan Chaerul Saleh serta meminta serikat-serikat buruh untuk tidak mengganggu gugat proses pengembalian aset Shell di Balikpapan dan sekitarnya (Samboja, Sanga-Sanga, dan Anggana). Dewan pengurus baru yang terdiri dari tujuh pegawai asing, 12 pegawai Indonesia, dan diketuai oleh Tn Stiles (seorang Amerika) tiba di Balikpapan pada 21 Desember saat Soehario tengah di luar kota (hlm 243).
Kemenangan Akhir yang Tidak Dirasakan Pejuangnya
Shell akhirnya menguasai kembali aset-aset di Balikpapan dan sekitarnya. Walaupun demikian, aksi boikot dan agitasi mengilhami perusahaan menjual aset tersebut kepada PN Permina mulai 1 Januari 1966 (Sulistyo, 2013, hlm 170). Nasionalisasi terlaksana tetapi para pejuang tidak pernah merasakan buah perjuangan mereka sebab harus mendekam di dalam jeruji besi.
Kolonel Soehario selaku pangdam juga sudah digantikan oleh Kolonel Soemitro pada Maret 1965. Kelompok komunis sebagai motor penggerak pengambilalihan segera dikekang. Pada Hari Buruh, Kolonel Soemitro menangkap semua pengurus PKI dan onderbouw-nya seperti Gerwani, Perbum, Sobsi, Pemuda Rakyat, dan BTI di Balikpapan. Seluruh akses ke Balikpapan termasuk pelabuhan dan bandar udara ditutup dan dijaga ketat tentara (Hadimadja, 1994, hlm 19-20).
Tak berhenti di situ, para perwira militer di Kaltim yang dianggap dekat dengan PKI ikut ditangkap. Mereka di antaranya Letkol Rusmono, asisten teritorial Kodam Mulawarman; Letkol Toni Sukartono, Dandim Balikpapan; dan Letkol Sudjono Sohoprawiro, Dandim dan Dan Yon di Samarinda. Para perwira, pengurus PKI, beserta pengurus onderbouw partai memang segera dibebaskan kembali. Akan tetapi, setelah kegagalan G30S, nama-nama di atas kembali ditahan (Hadimadja, 1994, hlm 52).
Wali Kota Balikpapan, Letkol Bambang Sutikno, adalah satu dari antara nama-nama yang ikut ditahan. Sebagai seorang loyalis Soehario, Bambang Sutikno mendukung segala langkah sang panglima termasuk nasionalisasi PT Shell di Balikpapan. Ia juga dianggap dekat dengan PKI dan onderbouw-nya, terutama Perbum. Bambang Sutikno kemudian diberhentikan dari jabatannya oleh Soemitro dan ditahan di sebuah penjara militer di Balikpapan (Magenda, 1991, hlm 64).
Para buruh minyak ikut terjerat. Mereka kebanyakan adalah anggota Perbum. Walau begitu, buruh yang bukan anggota Perbum juga ikut ditangkap sebab Soemitro memperlakukan semua buruh yang pernah belanja di toko milik CIVO sebagai anggota Perbum. Sekitar 1.912 buruh minyak di Balikpapan dimasukkan golongan tahanan C2 pada 1972. Mereka adalah (atau dianggap menjadi) anggota onderbouw PKI yakni Perbum. Karier mereka sangat dibatasi. Hukuman karantina dijatuhkan kecuali kepada 40 orang yang berhasil mendapat keringanan pada 1971 (Sulistyo, 2013, hlm 170-171).
Demikian akhir dari kisah nasionalisasi BPM/Shell di Balikpapan. Sebagian kejadian itu memang diilhami suasana konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Namun demikian, sebagian lagi disebabkan ketimpangan di kota tersebut. Sekalipun akhirnya perusahaan diambil alih pada 1966, para buruh yang memperjuangkan bukannya dihargai melainkan dicap "pengkhianat" negara dan harus menanggung derita. (*)
*Penulis adalah mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, putra Samarinda yang menaruh minat besar terhadap sejarah Kalimantan Timur.
Senarai Kepustakaan
$4.2 m. water bill, The Straits Times, 4 Januari 1963.
ANRI. Arsip Tekstual Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 Jilid I, No. 1194, Surat dari Kepolisian Negara kepada Perdana Menteri mengenai masalah keamanan BPM di Kalimantan Timur. 28 Mei 1955 - 20 Januari 1956.
British to evacuate oil plant, The Canberra Times, 1 Oktober 1963.
BTI menuntut BPM, Suara Tani, Januari 1962.
East Borneo evacuees fly in, The Straits Times, 4 Oktober 1963.
Gilchrist is off to London soon, The Straits Times, 15 Oktober 1963.
Hadimadja, Ramadhan Karta. 1994. Soemitro, Mantan Pangkopkamtib: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kecik, Hario. 2009. Pemikiran Militer: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kecik, Hario. 2010. Pemikiran Militer: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 194 Tahun 1963 tentang Pengambilalihan Semua Perusahaan-Perusahaan yang Bukan Perusahaan Tambang Minyak yang Telah Diambil Alih oleh Buruh dalam Rangka Konfrontasi Dengan Malaysia.
Handi. Sahkan Garapan Rakjat Diatas Tanah Konsesi, Suara Tani, No. 7, Th. XII, Juli 1961.
Magenda, Burhan Djabir. 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University.
Oil town women, children flown to -S'pore, The Straits Times, 3 Oktober 1963.
Redfern, William A. 2010. Sukarno's Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s. University of Michigan. (Disertasi Doktoral)
SB2 Minjak Tolak Tenaga Asing Pada PT Shell Balikpapan, Merdeka, 29 Desember 1962.
Shell Balikpapan dan Sumatra: Hanja Tunduk pada Pimpinan Perusahaan Pusat, Warta Bhakti, 10 Februari 1964.
Sulistyo, Bambang. 2013. Menuju Nasionalisasi Pertambangan Minyak di Balikpapan (1930-1965). Dalam Erwiza Erman dan Ratna Saptari (ed.). Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, hlm. 142-175. Jakarta: KITLV-Jakarta.