kaltimkece.id Mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi, Lyon Ukab Christian menyeru dalam sebuah sidang di kantor DPRD Kaltim. Putra Lundayeh yang lahir dekat perbatasan Indonesia-Malaysia itu menyoroti pembangunan kawasan perbatasan yang selalu tertinggal semasa rezim Orde Baru. Sejumlah anggota dewan dan pejabat yang tersindir pun kebakaran jenggot lantaran komentar pedas dari politikus Partai Demokrasi Indonesia tersebut.
"Pembangunan masyarakat di daerah perbatasan sangat penting. Jangan salahkan warga perbatasan jika ingin bergabung dengan Malaysia karena mereka kecewa kinerja pemerintah," lantang Lyon Ukab dalam sebuah sidang pada dekade 1990-an. Ia juga beberapa kali menunjuk hidung saat berbicara di muka floor.
Pernyataan keras tersebut segera berbalik kepadanya. Lyon Ukab dicap sebagai tukang hasut lantaran mengkritik rezim otoriter Orde Baru yang amat jarang ditemukan saat itu. Ia pun sering dianggap sebagai sosok yang sangat menyebalkan terutama oleh para pejabat yang terkena sentilannya. Akan tetapi, pandangan itu tidak terlalu berarti bagi Lyon Ukab. Ia tetap menjadi singa parlemen di gedung DPRD Kaltim yang waktu itu masih di Jalan Basuki Rahmat, Samarinda (sekarang kantor DPRD Samarinda).
Di sisi lain, keteguhannya membela kepentingan rakyat perbatasan mengundang rasa hormat dan segan dari rekan-rekannya. "Kalau ditanya siapa anggota dewan yang selalu bersuara keras memperjuangkan kepentingan rakyat, saya tidak akan ragu menyebut Pak Lyon Ukab," tutur Asli Amin, kolega Lyon Ukab di DPRD Kaltim dari Fraksi Golkar, seperti dikutip dalam Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011 (2011, hlm 110).
Lyon Ukab adalah seorang jago tua di DPRD Kaltim. Ia menjadi politikus gaek setelah berkali-kali masuk parlemen lewat dukungan masyarakat perbatasan. Pada saat terpilih kembali pada Pemilu 1992 mewakili PDI, ia sudah menjadi anggota dewan selama 20 tahun. Lyon Ukab juga merupakan Sekretaris DPD PDI Kaltim, jabatan yang diembannya sejak 1973.
Dari Utara ke Samarinda
Lyon Ukab lahir di sebuah permukiman Lundayeh di Bulungan bernama Long Berang--kini Kecamatan Mentarang Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara--pada 4 Mei 1936. Ia mengawali pendidikannya pada usia tujuh tahun di Sekolah Rakyat Tiga Tahun seperti kebanyakan anak pada saat itu. Lyon masuk SR di Tanjung Selor pada 1943 dan lulus pada 1946 ketika Belanda kembali ke Indonesia termasuk ke Bulungan (Himpunan Riwayat Hidup, 1992). Setelah lulus SR, ia masuk sekolah dasar selama enam tahun sebelum lulus pada 1952 (Departemen Dalam Negeri, 1980, hlm 31).
Pembedaan antara sekolah dasar untuk kaum bumiputra (HIS), Eropa (ELS), dan Tionghoa (HCS) sudah tidak berlaku lagi pada saat itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menghapus pembedaan itu semasa perang lewat kebijakan Brisbane Plan. Pada waktu itu, pemerintah kolonial mengungsi ke kota tersebut setelah Jenderal Hein ter Poorten selaku Panglima KNIL menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942 (Star Weekly, 2 Maret 1947).
Pemerintah kolonial kemudian menyatukan seluruh sekolah ke dalam satu lembaga sekolah dasar untuk semua bangsa yang dinamai Algemeene Lagere School (ALS, Sekolah Dasar Umum) dengan lama studi lima tahun. Secara resmi, sekolah dibagi menjadi dua jenis berdasarkan bahasa pengantar; ALS berbahasa Belanda dan berbahasa Indonesia. Pada kenyataannya, hanya ALS Belanda yang beroperasi secara riil karena ALS Indonesia kekurangan tenaga pengajar Bangsa Indonesia (Star Weekly, 2 Maret 1947).
Lyon pun duduk di bangku kelas empat ketika Negara Kalimantan Timur secara resmi bergabung dengan Republik Indonesia pada 24 Maret 1950 (Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011, 2011, hlm 21). Seharusnya, dia lulus tahun depan. Akan tetapi, sejak 1 Agustus 1950, sistem ALS diganti dengan Sekolah Rakyat (SR) Enam Tahun. Lyon harus sekolah dua tahun lagi sebelum tamat sekolah dasar (Kedaulatan Rakjat, 22 Juli 1950) pada usia 16 tahun.
Lyon tidak segera melanjutkan studinya setelah lulus SR. Dari Tanjung Selor, dia lebih dahulu merantau ke Tarakan dan bekerja di rumah sakit umum (kini RSUD dr Jusuf SK) setempat selama enam bulan. Ia kemudian menjadi pegawai Kantor Inspeksi SR Wilayah Tana Tidung yang berkedudukan di kota tersebut. Pada 1953, setahun setelah lulus SR, Lyon masuk SMP di Tarakan yang kini menjadi SMP Negeri 1 Tarakan (Himpunan Riwayat Hidup, 1992).
Setamatnya dari SMP pada 1956, Lyon Ukab mulai bekerja di Jawatan Pegadaian Tarakan pada 1957. Ia mendarmabaktikan hidupnya sebagai pegawai negeri sampai pensiun pada 1 Juni 1986. Sebagai pegawai negeri, ia mengikuti Kursus Politik Nasional pada 1958 secara tertulis. Setahun kemudian, ia ditugaskan mengikuti Kursus Nilaian di Surabaya dan lulus pada 1961. Lyon lalu dipindahtugaskan ke Kantor Pegadaian Samarinda pada 1992 (Departemen Dalam Negeri, 1980, hlm 31) yang segera mengantarnya ke gerbang dunia politik.
Aktivis Gereja Jadi Politikus
Lyon Ukab pindah ke Samarinda pada 1962 dan bertugas di kantor pegadaian setempat. Sebelum masuk ke dunia politik, ia aktif di pelayanan gereja. Lyon Ukab mendirikan Persatuan Pemuda-Pemudi Kingmi (Kemah Injil Gereja Masehi di Indonesia, kini Gereja Kemah Injil Indonesia/GKII) dan menjadi ketuanya.
Pada 1963, Lyon mengikuti Kursus Pegawai Administrasi Tingkat Atas (KPAA Negeri) dan SMA Persamaan di Samarinda. Ia turut bergabung dengan Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) Cabang Samarinda sebagai anggota. Tahun berikutnya, Lyon Ukab menjadi Ketua II Majelis GKII Cabang Samarinda selama dua periode yakni 1964-1967 dan 1973-1978 (hlm 31).
Gejolak politik melanda negeri pada 1965. Lyon waktu itu baru masuk Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) di Samarinda sebagai anggota biasa. Tak diketahui kapan tepatnya tetapi ia sudah menjadi kader Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada 1965. Lyon tercatat sebagai Ketua I Parkindo Cabang Samarinda (Himpunan Riwayat Hidup, 1992).
Parkindo adalah satu dari sejumlah partai politik yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya pasca-kegagalan G30S. Partai ini ikut serta dalam rapat raksasa di Lapangan Pemuda di seberang gedung SMP 1 Samarinda--kini Taman Samarendah--pada 13 Oktober 1965. Rapat tersebut menuntut Presiden Sukarno membubarkan PKI dan ormas-ormasnya (Pergulatan Hidup Bukan Kebetulan HM Rusli, 2016, hlm 185-186 dan Pernyataan DPRD-GR Kaltim No. 9 & 10 tanggal 23 November 1965).
Tepat setelah Orde Lama runtuh dan Orde Baru mulai berkuasa, Lyon kuliah di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda pada 1966. Ia masuk Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Samarinda dan menjadi ketua II sebelum menjadi penasihat pada 1976. Seperti kebanyakan mahasiswa Angkatan 66, Lyon Ukab aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Samarinda. Ia menjadi anggota Biro Politik mewakili GMKI sekaligus Sekretaris Umum Front Pancasila/Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu PKI Provinsi Kaltim (Himpunan Riwayat Hidup, 1992).
Adalah ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sukarno yang mengilhami mahasiswa angkatan 66 dan kelompok lain bersekutu dengan Angkatan Darat untuk menuntut retooling para pejabat pro-Sukarno. Utamanya adalah birokrat-birokrat PNI. Parkindo dan ormas-ormas yang dekat dengannya seperti GSKI, GAMKI, dan GMKI, termasuk yang menyerukan tuntutan itu.
Sebagai contoh, Parkindo bersama partai-partai lain (kecuali PNI) menandatangani Pernyataan Front Pancasila Kotamadya Balikpapan pada 30 Mei 1966. Mereka mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Gubernur Abdoel Moeis Hassan dan menuntut serta mendukung agar Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah Pertahanan (Pepelradahan) Kaltim, Brigjen TNI Mung Parhadimulyo, mengambil alih tugas gubernur.
Keesokan harinya, Front Pancasila Kaltim mengadakan rapat di Balikpapan dan mengeluarkan pengumuman. Mulai 31 Mei 1966, tugas Gubernur Moeis Hassan akan diambil alih Brigjen TNI Mung Parhadimulyo untuk sementara waktu. Selanjutnya, formasi ulang DPRD-GR Kaltim akan diselesaikan selekas mungkin.
Kedua dokumen tersebut kini tersimpan di ANRI dan menjadi bagian dari koleksi arsip Kementerian Kompartemen Hubungan dengan Rakyat (Menko Hubra). Dari dokumen itu diketahui bahwa Parkindo beserta ormas-ormasnya ikut menandatangani pengumuman tersebut. Merujuk sikap partai dan ormas, Lyon Ukab jelas mendukung retooling Gubernur Moeis Hassan dan aktif menegakkan Orde Baru di Kaltim.
Dari Lilin ke Banteng
Aktivisme Lyon Ukab sepanjang 1965-1966 berpengaruh besar bagi karier politiknya. Ia diangkat sebagai anggota DPRD Kotamadya Samarinda mewakili Parkindo hingga 1971 setelah formasi ulang DPRD-GR pada awal Orde Baru. Pada Pemilu 1971, ia terpilih menjadi anggota DPRD-GR Kaltim mewakili Parkindo (Departemen Dalam Negeri, 1980, hlm 31). Lyon kemudian menjadi sekretaris DPD Parkindo Kaltim sekaligus ketua umum Sekretariat Bersama Ormas dan Parpol Kristen Kotamadya Samarinda pada 1973. Sayangnya, pendidikannya di kampus tak selesai karena ia berhenti kuliah saat masih di tingkat IV (sarjana muda hukum) pada 1970.
Ketika partai-partai politik disederhanakan pada 1973 menjadi tiga parpol, Lyon menjadi orang pertama yang berinisiatif menggabungkan Parkindo Kaltim ke PDI. Setelah fusi tersebut, ia menjadi wakil ketua PDI Cabang Samarinda sampai 1981 dan terpilih lagi di tahun berikutnya hingga 1988. Lyon lantas duduk sebagai sekretaris DPD PDI Kaltim. Pada Pemilu 1977, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kaltim mewakili PDI (Himpunan Riwayat Hidup, 1992). Lyon yang dulunya politikus Parkindo, partai yang berlambang lilin, telah menjadi kader PDI yang memiliki simbol kepala banteng.
Di tengah kesibukan sebagai anggota dewan, Lyon Ukab tetap mengabdi sebagai pegawai Pegadaian. Kantor Pegadaian yang berseberangan dengan kantor DPRD Kaltim di Jalan Basuki Rahmat membuatnya mudah mengatur jadwal tugas (Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011, 2011, hlm 110).
Pada masa inilah, Lyon Ukab menjadi anggota dewan yang populer. Pasalnya, ketika rezim Orde Baru, wakil rakyat kerap dipandang sebagai tukang stempel pemerintah. Gelar wakil rakyat, sebagaimana tembang Iwan Fals yang kondang itu, dianggap frasa tak bermakna seperti paduan suara yang hanya menyanyikan lagu setuju.
Lyon Ukab menjadi segelintir wakil rakyat yang berbeda. Seperti namanya, watak dan suaranya bagaikan singa. Ia tidak menerkam mangsa yang lemah melainkan membela mereka dengan melawan yang kuat. Suaranya bergema di tiap-tiap sidang parlemen membela kepentingan rakyat marjinal terutama yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Aktivisme Gereja dan Masyarakat Dayak
Walaupun berhenti sebagai Ketua II Majelis GKII Samarinda pada 1978, Lyon Ukab tetap aktif dalam kepengurusan majelis gereja. Ia tercatat sebagai anggota Badan Persekutuan Gereja-Gereja Kotamadya Samarinda pada tahun yang sama. Selanjutnya, pada 1992, ia menjabat ketua Dewan Komisaris Gereja-Gereja Kotamadya Samarinda.
Lyon tak hanya aktif di pemerintahan dan kepengurusan gereja. Sebagai putra Dayak Lundayeh, ia memelopori berdirinya Persekutuan Anak Lundayeh (PAL) di Samarinda pada 30 Oktober 1974. Persekutuan itu didirikan bersama tokoh-tokoh seperti Daring Balang, Julas Pangeran, dan Pilipus Gaing (anggota DPRD Kaltim Fraksi Golkar). PAL di kemudian hari menjadi Persekutuan Dayak Lundayeh Kalimantan Timur (PDLKT) dan membentuk Forum Masyarakat Lundayeh (FML) pada 1991 sebagai hasil musyawarah besar di Long Bawan (Anonim, 2012).
Tidak ada keterangan mengenai waktu berhentinya Lyon dari keanggotaan DPRD maupun tanggal wafatnya. Namun yang pasti, ia tidak lagi duduk di DPRD Kaltim periode 1999-2004, berbeda dengan rekannya Pilipus Gaing (Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011, 2011, hlm 175). Lyon Ukab sudah pensiun sebagai anggota dewan sebelum Pemilu 1999. Karier politiknya berhenti pada pengujung Orde Baru.
Walaupun demikian, kesan yang ia tinggalkan penuh dengan warna. Lyon Ukab dikenal sebagai pribadi yang gigih, keras, pemberani, dan disiplin. Ia terbuka mengenai segala hal kepada keluarganya termasuk mengenai urusan politik.
"Kata bapak, biar anak-anaknya siap kalau terjadi apa-apa dengan bapak," tutur Nikita Lyon, salah seorang anaknya (hlm 110-111).
Lyon Ukab adalah politikus yang aktif membela kepentingan rakyat di tengah hegemoni rezim Orde Baru yang sarat akan eksploitasi. Meskipun demikian, ia juga berperan mengantar rezim tersebut ke tampuk kekuasaan di Kaltim. Sebagai anggota Parkindo, GAMKI, dan GMKI sekaligus, dukungannya terhadap retooling Gubernur Moeis Hassan menjadi kontroversi yang lain. Terlepas dari itu semua, Lyon Ukab merupakan sosok yang teguh membela sikap dan pendiriannya. Keberpihakannya kepada rakyat pedalaman dan perbatasan tak usah diragukan lagi. (*)
Senarai Kepustakaan
Tentang 'Algemeene Lagere School', Star Weekly, 2 Maret 1947.
Penghapusan djenis dan tingkatan sekolah2, Kedaulatan Rakjat, 22 Juli 1950.
ANRI. Arsip Tekstual Dr. H. Roeslan Abdulgani 1950-1976 Menteri Kompartemen Hubungan Dengan Rakyat (Menko Hubra), No. 1619, DPRD-GR Dati I Kalimantan Timur: Pernyataan No. 9 & 10 tanggal 23 November 1965 tentang Dukungan kepada Jenderal Soeharto sebagai Menpangad dan Menyokong Pembubaran PKI.
ANRI. Arsip Tekstual Kementerian Kompartemen Hubungan dengan Rakyat (Menko Hubra) 1963-1966, No. 1940, Surat Pernyataan Keluarga Pemuda Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT) mengenai mendukung pengumuman Front Pancasila Kalimantan Timur tanggal 31 Mei 1966 tentang pengambilalihan sementara kekuasaan jabatan Gubernur /KDH Kalimantan Timur oleh Brig. Djen. Moeng Parhadimuljo.
ANRI. Arsip Tekstual Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1971-1999, No. 881, Himpunan Riwayat Hidup anggota DPRD tahun 1992 Propinsi Kalimantan Timur (buku).
Anonim. Sejarah, satuhati88 (situs blog PDLKT Kabupaten Malinau), 2012. Diakses pada tanggal 7 Februari 2025 pukul 07:33.
Arifin, Samsul dan Suyatni Priasmoro, 2011. Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011. Samarinda: Sekretariat DPRD Provinsi Kaltim.
Departemen Dalam Negeri. 1980. Ringkasan Riwayat Hidup Anggota DPRD-I Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977: Untuk Wilayah Kalimantan & Sulawesi. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Rusli, H.M. 2016. Hijrah: Pergulatan Hidup Bukan Kebetulan H.M. Rusli. Cimahi: Penerbit Trim Komunikata.