kaltimkece.id Remaja bernama Awang Faroek Ishak itu sudah terjun ke dunia politik sejak duduk di bangku SMP. Ia menjadi ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Cabang Kabupaten Kutai pada 1963 hingga 1966 sewaktu masih pelajar di Tenggarong. Selulusnya dari SMA, Faroek yang kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Mahasiswa yang kelak menjadi gubernur Kaltim pada 2008 hingga 2018 itu tercatat sebagai kader GMNI sejak 1968 hingga lulus pada 1973 (Karim, 2016, hlm 123 dan Karim, 2008, hlm 836). Adapun GSNI dan GMNI, tiada lain organisasi pelajar dan mahasiswa yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sewaktu rezim Orde Baru mulai berkuasa, ada dua organisasi mahasiswa yang tengah populer. Keduanya yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan GMNI. Awang Faroek rupanya lebih tertarik dengan GMNI karena organisasi itu mewakili ideologi politiknya.
"Karena dasarnya jiwa saya nasionalis, maka saya pilih bergabung di GMNI," tuturnya (2016, hlm 123).
Faroek juga berkenalan dengan sejumlah tokoh di GMNI yang kelak menjadi politikus beken seperti dirinya. Beberapa dari mereka yaitu Taufik Kiemas yang ia kenal sejak 1968 saat Taufik menjadi anggota GMNI Cabang Palembang. Tokoh yang lain adalah Theo L Sambuaga. Faroek bertemu Theo sewaktu mengikuti Kongres V GMNI di Salatiga pada 14 September 1969 (Bhakti, 1999, hlm 279). Faroek masih ingat, salah satu keputusan kongres itu yakni memilih Drs Soerjadi sebagai ketua umum GMNI. Theo L Sambuaga dipilih sebagai sekretaris jenderal (2016, hlm 123).
GSNI dan GMNI yang merupakan onderbouw PNI menganut Marhaenisme. Ideologi yang lahir dari buah pikir Ir Sukarno ini--konon diambil dari nama seorang petani bernama Marhaen yang ditemui Bung Karno--bisa disebut berkebalikan dari kapitalisme. Marhaenisme menentang penindasan manusia terhadap manusia lain maupun bangsa atas bangsa. Oleh sebab itu, penting bagi rakyat mengusai kepemilikan modal dan alat produksi dalam perekonomian (disadur dari berbagai sumber).
Kembali ke Awang Faroek, ia sebenarnya tak pernah menjadi kader PNI. Usianya masih belia sewaktu partai politik itu dilemahkan pada awal Orde Baru. Sampai akhirnya, Faroek memutuskan bernaung di bawah Golkar. Ia menjadi kader organisasi politik tersebut (pada masa Orde Baru, Golkar bukan partai politik) yang bisa memuluskan karier pamong prajanya. Faroek setia kepada Golkar hingga organisasi itu bersalin menjadi partai politik selepas Reformasi.
Awang Ishak sebelum Masuk PNI
Di keluarga besarnya, Faroek bukan satu-satunya yang berkenalan dengan Marhaenisme. Ayahnya, Awang Ishak, seorang bangsawan Kutai bergelar Awang Mas Pati, memilih PNI sebagai kendaraan politiknya (Magenda, 1991, hlm 47). Sebelum berideologi marhaenisme di PNI, Awang Ishak merupakan pamong praja Kesultanan Kutai dengan rekam karier yang panjang.
Awang Ishak lahir pada 1909 di Tenggarong. Ia merupakan tamatan dari HIS Tenggarong pada 1923. Ishak mengikuti ujian pegawai negeri golongan rendah (klein-ambtenaarsexamen) dan lulus setahun kemudian. Setelah itu, ia bekerja sebagai pegawai negeri Kesultanan Kutai. Tugas pertamanya yaitu sebagai juru tulis (schrijver) di kantor kepala subdistrik atau camat (onderdistricthoofd) di Muara Kaman (2016, hlm. 46 dan Hassan, 2004, hlm. 34).
Ishak pindah tugas ke kantor kepala subdistrik Melak dengan jabatan yang sama pada 1930. Dua tahun di sana, ia kembali ke Muara Kaman dengan pangkat Juru Tulis Kelas Satu (schrijver eerste klasse) hingga 1938. Ishak kemudian pindah ke kantor kepala subdistrik Sangkulirang sampai akhir 1941 (2016, hlm 46). Koran Bintang Borneo edisi 14 Juli 1939 mencatat penugasannya di sana. Pada kolom 'Mutatie' tertulis "Awang Ishak, schrijver pada Landschap Koetai di Sangkoelirang."
Secara berturut-turut, Ishak menjabat sebagai jaksa, wakil kepala kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong, dan asisten wedana di Sanga-Sanga pada 1946. Simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan mengilhaminya membantu para pejuang secara sembunyi-sembunyi. Ia membiarkan rumahnya menjadi tempat perundingan dan berkumpulnya pejuang untuk mendengarkan informasi dari Jawa melalui radio miliknya (2016, hlm 46-47 dan 2004, hlm 35). Lama-kelamaan, pemerintah kolonial Belanda mengendus simpatinya.
Pada Peristiwa Merah Putih Sanga-Sanga, 27-29 Januari 1947, Ishak menawarkan diri menyerahkan pemerintahan kepada para pejuang. Tawarannya ditolak dengan sopan dan ia diminta meneruskan tugasnya sebagai asisten wedana. Setelah Sanga-Sanga kembali direbut Belanda pada 29 Januari 1947, karier Ishak terancam. Residen Borneo Timur saat itu, Fokko Petrus Heckman, menulis sebuah laporan rahasia (geheim verslag) kepada Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook. Isinya menerangkan perihal bantuan klandestin yang diberikan Awang Ishak kepada para "ekstremis" dan menuntut ia dipindahkan ke Long Iram sebagai hukuman (2016, hlm 47 dan 2004, hlm 35).
Pemerintah kolonial Belanda menghadap Sultan Kutai, Aji Muhammad Parikesit, dan menyarankan pemindahannya ke Long Iram. Sang sultan menolak dan ketika berkunjung ke Sanga-Sanga pada 5 Februari 1947, justru memerintahkan Awang Ishak agar mempertahankan jabatannya sebagai Asisten Wedana Sanga-Sanga. Kendati demikian, sultan tetap harus tunduk pada pemerintah kolonial. Awang Ishak dicopot dari jabatannya namun dipindahkan ke Tenggarong dan ditempatkan ke kantor wedana setempat (2004, hlm 35).
Pada akhirnya, Awang Ishak tetap dipindahkan ke Long Iram. Ia menjadi asisten wedana di sana pada 1949 (2016, hlm 46). Bila pemindahan itu diniatkan sebagai hukuman, maknanya sudah hilang. Pada tahun yang sama, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Karier pamong praja Ishak tetap bertahan setelah pengakuan kedaulatan barangkali berkat simpatinya terhadap kemerdekaan Indonesia.
Awang Ishak ditempatkan ke Muara Ancalong dan Muara Pahu pada 1950 sampai 1951, lagi-lagi sebagai asisten wedana. Pada tahun berikutnya, ia menjadi camat di Kutai Tengah dan Tenggarong sampai 1953 lalu pindah ke Samarinda dan bertugas sebagai camat setempat. Setelah itu, ia menjabat wedana di Sendawar. Saat Awang Faroek duduk di kelas empat, sang ayah ditugaskan menjadi wedana di Tarakan sampai ia lulus SR (Sekolah Rakyat) pada 1961 (2016, hlm 24, 47).
Agaknya, pada masa inilah sang ayah bergabung dengan PNI. Partai itu cocok dengan dirinya yang nasionalis dan menjadi primadona para birokrat Kaltim saat itu. Ishak mengabdi sebagai pamong praja sepanjang hayatnya dan menjadi anggota PNI hingga ia wafat pada 1967.
Dayang Arhariah Ishak, Aktivis Perempuan Marhaenis
Putri tertua Awang Ishak, Dayang Arhariah Ishak, lahir pada 1931 di Tenggarong. Kakak sulung Awang Faroek Ishak itu merupakan anggota PNI sekaligus Gerakan Wanita Marhaenis (GWM), organisasi wanita binaan atau onderbouw PNI (2004, hlm 35). Dayang Arhariah aktif dalam pergerakan wanita sejak muda. Ia duduk dalam Pengurus Panitia Peringatan Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia di Tenggarong sebagai bendahari merangkap kepala seksi pameran. Arhariah masih bujang sewaktu peringatan itu diselenggarakan pada 22 Desember 1958 (Kementerian Penerangan, 1958, hlm 387).
Menjadi anggota (kemungkinan juga pengurus) GWM, Arhariah diangkat sebagai anggota DPRD-GR Kabupaten Kutai pada 10 April 1967. Ia mewakili golongan karya wanita afiliasi PNI (Amin, 1979, hlm 311-312 dan Badan Perencanaan dan Pengawas Pembangunan Daerah, 1968, hlm 15).
Eksistensi PNI meredup setelah Sukarno jatuh. Pada akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an, Orde Baru menekan segala pemikiran Sukarno yang dipersempit dengan Marhaenisme karena dianggap memiliki keterkaitan dengan Marxisme. Soeharto bahkan menyederhanakan atau memfusi partai dan organisasi politik menjadi tiga yaitu Golkar, PPP, dan PDI pada Pemilu 1973. PNI difusikan ke PDI.
Dayang Arhariah, keluar dari PNI untuk bergabung dengan Golkar. Ia kemudian dipercaya sebagai ketua Biro Wanita DPD Golkar Kaltim selama dua periode yakni 1984-1988 dan 1988-1993 (Dewan Pimpinan Pusat Golkar, 1984, hlm 46 dan Mediakarya, 1988, hlm. 65). Dayang Arhariah wafat pada 2002 di usia 71 tahun (2004, hlm 35).
Awang Faisjal Ishak, Juga dari PNI ke Golkar
Awang Faisjal mirip dengan adiknya yaitu Awang Faroek. Keduanya sama-sama dari kalangan sarjana. Bedanya, sang kakak lebih dulu menjadi birokrat saat PNI berjaya di Kaltim. Ia lahir pada 1932 dan merupakan penerima Beasiswa Kutai yang dikelola oleh Yayasan Mulawarman, sebuah badan yang dikelola bersama oleh pemerintah Karesidenan (dan nantinya provinsi) Kalimantan Timur dan pemerintah swapraja Daerah Istimewa Kutai (Magenda, 1991, hlm 57).
Setelah lulus SMA, Faisjal mengikuti Kursus Dinas C (KDC) di Banjarmasin sebelum menjadi pegawai Biro Pemerintahan di Kantor Gubernur Kaltim. Setelah itu, ia mendapat tugas belajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Surabaya dan menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Sospol Jurusan Pemerintahan Universitas Brawijaya di Malang sampai lulus pada 1966 (Karim, 2008, hlm 168 dan Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, 2013). Magenda menyebut Faisjal sebagai contoh pemuda golongan Awang yang dibina para birokrat PNI Kaltim (1991, hlm 57).
Melihat kiprah politik kakak perempuan dan ayahnya, Awang Faisjal juga kemungkinan besar menjadi kader PNI sebelum menyeberang ke Golkar pada masa Orde Baru. Walaupun PNI berdifusi ke PDI saat sistem tiga partai, Faisjal tidak bisa masuk ke PDI karena statusnya birokrat. Ia menjadi kader Golkar dan kariernya terus menanjak. Sebelum menjadi bupati Kutai pada 1979, Faisjal menjabat sekretaris daerah Kota Balikpapan dari 1973 hingga 1976 (Sekretariat Daerah Kota Balikpapan, 2023).
Faisjal menjadi bupati hingga 1984 kemudian diangkat sebagai kepala Biro Pembangunan Provinsi Kaltim sampai 1988. Ia merangkap widyaiswara selama lima tahun sebelum merangkap sebagai anggota staf ahli Gubernur Suwarna Abdul Fatah. Faisjal juga pernah dipercaya menjadi rektor Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 18 Agustus 2013 (Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, 2013). (*)
Senarai Kepustakaan
"Mutatie", Bintang Borneo, 14 Juli 1939.
Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Awang Faisjal Mantan Bupati Kutai Wafat, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Bagian Protokol dan Komunikasi, 18 Agustus 2013. Diakses pada 3 Maret 2025 pukul 10:24.
Amin, Mohammad Asli (1979). Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Bhakti, Ikrar Nusa. 1999. Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI Tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI Dalam kehidupan Kepartaian di Indonesia. Bandung: Mizan.
Hassan, Abdoel Moeis. 2004. Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana. Yogyakarta: Media Pressindo.
Karim, Sarbinnor (ed.). 2008. 60 Tahun Kiprah & Pengabdian Awang Faroek Ishak: Mentradisikan Karya Terbaik. Jakarta: Indomedia.
Karim, Sarbinnor (ed.). 2008. Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat. Edisi Kedua. Jakarta: Indomedia.
Karim, Sarbinnor (ed.). 2016. Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat. Edisi Ketiga. Jakarta: Indomedia.
Kementerian Penerangan (1958). Buku Peringatan 30 Tahun Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Panitya Peringatan.
Magenda, Burhan Djabier. 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University.
Partai Nasional Indonesia. 1952. Anggaran Dasar Marhaenisme dan Perdjuangannja. Jakarta: Partai Nasional Indonesia.