kaltimkece.id Habitat badak kalimantan di Kaltim saat ini nyaris terisolasi di wilayah Kutai Barat. Populasinya diperkirakan tersisa 15 ekor yang bermakna sudah amat langka dan nyaris punah (Azis, 14 November 2019). Padahal, sekitar lima dekade silam, badak masih bisa dijumpai di banyak tempat di provinsi ini. Satu di antaranya adalah di Taman Nasional Kutai.
Taman nasional ini dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada 1936. Luas awalnya 306 ribu hektare (Kramer dkk, 1997, hlm 55; MacKinnon dkk, 1996, hlm. 660; Dachlan, 1971, hlm 766). Taman nasional ini membujur dari Sungai Santan di selatan hingga Sungai Sangatta di utara (Biro Pemerintahan Bagian Research/Statistik/Monografi, 1969, hlm 40).
Luas Taman Nasional Kutai mulai berkurang pada dekade 1970-an. Pada awalnya, 100 ribu hektare taman nasional dialokasikan untuk eksplorasi minyak dan penebangan kayu. Usaha penebangan kayu dihentikan pada 1971. Bekas hutan yang ditebang itu kemudian dialihkan menjadi kawasan taman nasional.
Akan tetapi, tanpa berselang lama, pemerintah menyerahkan 106 ribu hektare dan sebagian hutan yang sudah ditebang di bagian selatan sebagai wilayah konsesi. Izin-izin tersebut diberikan kepada PT Kayu Mas, PT Badak NGL, dan PT Pupuk Kaltim (MacKinnon dkk, 1996, hlm 660). Luas Taman Nasional Kutai akhirnya menyusut menjadi 200 ribu hektare (Kramer dkk, 1997, hlm 55).
Di Taman Nasional Kutai inilah koloni badak diketahui pernah berdiam. Menurut laporan Harian Abadi edisi 31 Oktober 1973, penduduk Bontang (waktu itu masih kecamatan dari Daerah Tingkat II Kutai) yang bersetepi dengan Taman Nasional Kutai sering melihat hewan itu. Perjumpaan manusia dengan badak mulai berkurang sejak 1973 manakala aktivitas penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, makin merajalela. Badak yang sebelumnya menetap di Taman Nasional Kutai, masih menurut laporan Harian Abadi, menyingkir ke tempat lain.
Setidaknya ada dua wilayah yang terancam di Kaltim yakni populasi badak di Kecamatan Bontang dan anggrek di Barong Tongkok (kini bagian dari Kabupaten Kutai Barat). Khusus di Bontang, kawasan hutan margasatwa tersebut malah dieksploitasi perusahaan-perusahaan kayu. Mereka membangun jalan dengan lebar kira-kira 75 meter untuk dilalui truk-truk kayu.
Sebulan kemudian, Harian Abadi menulis laporan lagi berjudul "Badak Kalimantan Timur Mengungsi ke Malaysia." Terbit pada 17 November 1973, laporan itu menyebut bahwa penduduk Bontang sudah tak lagi melihat atau menemukan badak karena habitatnya berubah menjadi konsesi penebangan kayu bundar.
"Seorang penduduk yang pada masa lalu menjadi pemburu badak secara iseng ingin mendapatkan seekor badak. Setelah beberapa hari menjelajahi hutan-hutan, ia tak berhasil menemukan tanda-tanda jejak hewan tersebut," tulis laporan itu.
Laporan yang sama menyebut bahwa badak-badak menyingkir dari keramaian dan menduga bahwa mereka mengungsi ke Malaysia Timur. "Kira-kira sekarang hewan-hewan berada di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia, atau mungkin juga sudah mengungsi memasuki wilayah Malaysia Timur," demikian tertulis dalam laporan.
Bontang dan Muara Badak memang dua kecamatan yang berbeda kala itu. Namun demikian, tidak sulit menyimpulkan bahwa fenomena serupa juga terjadi di Muara Badak. Kecamatan yang kini masuk wilayah administrasi Kutai Kartanegara itu tak berbilang jauh dari Bontang. Malahan, fenomena perjumpaan manusia dengan badak juga ditemukan di Sangkulirang (kini kecamatan di Kutai Timur) yang jaraknya lebih jauh dari Bontang (Abadi, 17 November 1973).
Badak dalam Toponimi dan Catatan Kolonial
Populasi badak pernah berlimpah di Kecamatan Muara Badak. Setidaknya begitu kata Dr MLR Rutten dalam artikelnya berjudul Reisherinneringen uit Noord-Koetei, bewesten de Sangkoelirangbaai yang dimuat di majalah Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap. Rutten menyebut bahwa populasi badak terpusat di kawasan Sungai Santan, Bontang, dan Bengalon.
Badak kalimantan juga disebut ditemukan di Sangkulirang namun populasinya sedikit. Kadang-kadang, penduduk Sangkulirang menemukan jejak kaki dan tempat mandi badak. Rutten juga menyimpulkan bahwa nama Muara Badak merupakan bukti populasi badak yang melimpah di utara Delta Mahakam (Rutten, 1917, hlm 735).
Asal-usul nama kecamatan yang berhubungan dengan populasi badak sebenarnya pernah dibantah. Seorang tokoh masyarakat Muara Badak menyebutkan, ia tidak pernah melihat badak selama tinggal di sana (Muara Badak Menuju MURI, 16 Agustus 2012).
Nama Muara Badak sebenarnya merujuk kepada salah satu muara Sungai Mahakam. Muara di sisi paling utara Delta Mahakam itu terdapat sebuah desa bernama Kuala Badak. Wilayahnya kini terbagi menjadi Kelurahan Muara Badak Ulu dan Ilir. Nama Kuala Badak ini juga ditulis dalam peta yang direproduksi Dinas Topografi (Topografische Dienst) pada 1941. Di dalam peta itu tertulis "L.C. Koealabadak." Huruf "L.C." menurut legenda peta merujuk kepada konsesi perkebunan (landbouw concessie).
Dengan demikian, pada masa kolonial terdapat konsesi perkebunan di wilayah itu. Sayang sekali, belum ditemukan keterangan lebih jauh mengenai perkebunan tersebut.
Nama Muara Badak juga sempat disebut dalam deskripsi di buku Zeemansgids voor den Indischen Archipel Jilid III yang terbit pada 1913. Pustaka ini menjadi pedoman para pelaut Belanda. Mereka menyebut Muara Badak sebagai muara yang berpisah dari Muara Berau dengan jarak 6 mil laut ke arah darat. Muara itu sempit sehingga hanya bisa dilayari oleh perahu dan sampan. Muara itu dipisahkan dengan Muara Berau oleh sebuah pulau yang bernama Pulau Badak (Ministerie van Marine, 1909, hlm 564).
Terlepas dari masalah penamaan wilayah, jejak badak kalimantan di Muara Badak dan sekitarnya sukar untuk dibantah. Badak kalimantan telah menjadi saksi bisu kehancuran habitat sampai mereka harus menyingkir karena eksploitasi manusia. Sudah semestinya kisah ini menjadi pelajaran. Kerakusan mengeksploitasi alam harus dihentikan sementara keanekaragaman hayati Benua Etam harus dilestarikan. (*)
Senarai Kepustakaan
Azis, Arditya Abdul. Badak Kalimantan Terancam Punah 10 Tahun Lagi, Tanpa Pejantan, Tersisa 15 Individu, kaltimkece.id, 14 November 2019. Diakses pada 11 Juni 2025.
Badak Kalimantan Timur Mengungsi ke Malaysia, Abadi, 17 November 1973.
Biro Pemerintahan Bagian Research/Statistik/Monografi. 1969. Monografi Daerah Propinsi Kalimantan Timur Tahun 1968. Samarinda: Biro Pemerintahan Bagian Research/Statistik/Monografi.
Dachlan, Ahmad. 1972. Perkembangan Pembangunan Dalam Daerah Kabupaten Kutai (Prop. Kaltim) Sesudah Adanja Supersemar. Dalam Pantjawarsa Supersemar, hlm. 764-767. Jakarta: Jajasan Lalita.
Kramer, Randall, Carel van Schaik dan Julie Johnson. (ed.). 1997. Last Stand: Protected Areas and the Defense of Tropical Biodiversity. New York: Oxford University Press.
MacKinnon, Kathy, Gusti Hatta, Hakimah Halim, dan Arthur Mangalik. 1996. The Ecology of Kalimantan. Hong Kong: Periplus Editions.
Ministerie van Marine. 1913. Zeemansgids voor den Indischen Archipel. Jilid III. 's-Gravenhage: Mouton & Co.
Muara Badak Menuju MURI. Sejarah Muara Badak, Facebook, 16 Agustus 2012. Diakses pada 11 Juni 2025.
Pengusaha2 Kayu Ancam Hutan Margasatwa di Kutai, Abadi, 31 Oktober 1973.
Rutten, M.L.R. Reisherinneringen uit Noord-Koetei, bewesten de Sangkoelirangbaai, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Vol. 2, No. 34, 1917, hlm. 711-738.
Topografische Dienst. Samarinda. (peta). Skala 1:100.000. Batavia : Reproductiebedrijf Topografische Dienst, 1941. Koleksi KITLV. Diakses 11 Juni 2025.