kaltimkece.id Indonesia, sebagaimana daerah tropis di Asia Tenggara, adalah negeri yang 'kejatuhan durian'. Dari kawasan inilah, durian (Durio zibethinus Murr) pertama kali tumbuh. Tanaman liar ini awalnya hidup terpencar-pencar di hutan raya "Malesia" yang sekarang meliputi Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan. Flora dengan buah yang segera menjadi santapan favorit spesies manusia.
Setelah diketahui bahwa rasa buahnya amat lezat, para ahli menafsirkan, durian menyebar ke seluruh Nusantara. Seturut itu, benih-benih durian masuk ke Thailand lantas menyebar ke Birma (Myanmar), India, dan Pakistan. Saat ini, sudah ditemukan 27 jenis durian di seluruh dunia. Sebanyak 18 jenis di antaranya tumbuh di Kalimantan, dan tujuh jenis yang lain di Sumatra. Dari semua itu, hanya sembilan jenis durian yang enak dimakan (Kumpulan Jurnal dalam Buletin Plasma Nutfah, Volume 25, 2019, hlm 54).
Sejarah Raja Buah yang Diagungkan
Durian telah dikenal sejak zaman kuno. Salah satu bukti autentik bahwa manusia akrab dengan buah ini adalah beberapa goresan relief --dari 2.762 panel-- di Candi Borobudur. Para ahli memperkirakan, buah ini sudah dikonsumsi sebelum candi itu dibangun pada tarikh 750 Masehi atau sekitar 1.300 tahun yang lalu (Borobudurpedia, 2017, hlm 145).
Di tanah Kalimantan, catatan penting mengenai buah durian ditulis Alfred Russel Wallace. Dialah orang yang menciptakan Garis Wallace, sebuah goresan imajinatif antara Kalimantan dan Sulawesi. Garis ini memperjelas perbedaan flora dan fauna di sebelah barat dan timur Indonesia. Temuannya memperkuat teori bahwa Sumatra, Jawa, dan Kalimantan dulunya bagian dari daratan Asia. Adapun Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua, dulunya satu daratan dengan Australia.
Wallace adalah penjelajah dan ahli terkemuka pada abad ke-19. Ia adalah sosok di balik karya Charles Darwin yang fenomenal pada 1859, Origin of Species, yang memuat teori evolusi. Wallace diketahui mengirim hasil penelitiannya kepada Darwin sebelum teori evolusi diajukan.
Kembali ke durian, dalam catatannya, Wallace datang ke pedalaman Kalimantan pada November 1855 hingga Januari 1856. Ia menyinggung seorang pelancong bernama Linschot yang lebih dahulu datang ke pulau ini pada 1599. Linschot, menurut Wallace, mengatakan bahwa durian adalah buah yang sangat lezat.
"Bahkan lebih lezat daripada semua buah di dunia, menurut orang-orang yang pernah mencicipinya,” tulis Linschot kira-kira 400 tahun lalu.
Wallace juga menambahkan pendapat seorang dokter bernama Paludanus. “Buah durian sifatnya panas dan lembab. Bagi mereka yang belum pernah memakannya, bau durian seperti bau bawang busuk. Tetapi setelah mencicipi, mereka akan sangat menyukainya melebihi makanan lain. Penduduk pribumi memberikan nama kehormatan, memuji, dan menggubah pantun untuk durian.”
Atas seluruh pendapat itu, Wallace setuju. Bapak Biogeografi Dunia itu lantas menyematkan julukan buah berduri itu sebagai raja buah-buahan. King of Fruits.
“Saya akan memilih durian dan jeruk, masing-masing sebagai raja dan ratu buah-buahan,” tulis Wallace seperti dikutip dalam Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (2009, hlm 53).
Nikmatnya Durian bagi Orang Dayak
Sebagai seorang ahli, Wallace menulis selengkap-lengkapnya tentang durian. Buah ini memiliki nilai yang sangat tinggi di antara penduduk pribumi maupun orang Eropa di Nusantara. Apabila sudah matang, lanjut Wallace, durian jatuh dengan sendirinya.
Satu-satunya cara menikmati rasa durian yang sempurna adalah mengambilnya segera setelah durian jatuh dari pohon. Bau durian yang jatuh dari pohon tidak terlalu menyengat.
Sementara buah yang masih mentah sangat lezat dibuat sayur atau dimakan langsung seperti yang dilakukan orang Dayak.
Ketika sedang musim, jumlah durian sangat banyak. Wallace mengatakan, orang Dayak kemudian mengawetkan durian dengan cara diasinkan di dalam botol atau bambu. Durian yang telah diasinkan kemudian disimpan selama satu tahun.
"Bagi orang Eropa, durian yang diasinkan baunya sangat menjijikkan. Akan tetapi, bagi orang Dayak, durian yang dihasilkan tersebut memiliki nilai yang tinggi dan dinikmati bersama nasi,” tulis Wallace.
Berharganya durian bagi orang Kalimantan diakui Tom Harrison dalam Borneo Jungle, an Account of the Oxford University Expedition of 1932. Harrison mengatakan, laki-laki Kenyah membuat tato dengan motif yang merepresentasikan durian di bahu dan dada mereka.
Charles Hose, ahli zoologi dan ethnologis dari Inggris yang hidup pada 1863-1929, memperkuat "keagungan" durian. Pria yang telah lama meneliti Kalimantan ini menyebut durian sebagai makanan yang enak meskipun berbau busuk (Fifty Years of Romance and Research in Borneo, 1994, hlm 88).
Aneka Olahan pada Masa Lampau
David Boyce adalah seorang Australia yang jatuh cinta dengan Kota Bangun, kini sebuah kecamatan di Kutai Kartanegara. Ia menyatakan bahwa durian dipercaya punya khasiat. Buah ini memiliki efek afrodisiak yakni meningkatkan gairah seksual. Meskipun begitu, tulis Boyce dalam Kutai, East Kalimantan: a Journal of Past and Present Glory, Kota Bangun (1983), karena aroma buahnya tajam, banyak orang yang tidak bisa menerimanya. Meskipun lebih banyak lagi yang menggemarinya.
“Rasa buahnya sulit digambarkan, tetapi rasanya manis, aromatik, persisten dan dengan sentuhan bawang putih. Itu (durian) juga digambarkan sebagai puding Perancis yang melewati selokan,” tulisnya (hlm F-9).
Mengenai cara menikmati durian, David Boyce melampirkan berbagai produk olahan. Catatannya menyebutkan, durian yang difermentasi bisa dimakan sebagai makanan pendamping yang dinamakan tempoyaq. Adapun tempoyaq yang ia maksud berbeda dengan tempoyaq masa kini yang daging durian matang dicampur dengan bahan lain tanpa melalui fermentasi.
Durian juga bisa dicampur dengan ketan dan gula untuk dijadikan lempoq. Durian yang dicincang, kemudian diberi garam, bawang dan cuka disebut boder. Menurut Boyce, durian telah biasa digunakan sebagai saus atau disajikan bersama es dan sirup.
Biji dari durian matang juga bisa dipanggang di atas bara api. Penganan ini disebut pongge. Bisa juga diiris dan digoreng menggunakan minyak kelapa panas untuk dimakan bersama nasi atau dilaburi gula sehingga menjadi manisan (kreepik seeki dooren). Buah durian mengkal dijadikan bahan sup atau sayur. Cara olahan durian seperti boder, pongge, maupun kripik durian, saat ini tidak dijumpai lagi di Kota Bangun, tempat Boyce menuliskan jurnalnya.
Pengananan dari durian juga tertulis dalam Hikayat Bandjar. Dalam A Study in Malay Historiography, JJ Ras memuat kutipan nomor 1.085. Kutipan ini memuat aneka penganan masa itu. Dalam bahasa Banjar berbunyi, “Lambu Mangkurat sudah mamuhun pada putri itu, sarta putri membari sangu djawadah, saparti mamegan dan gagatas, dan nanuman dan dodol dan alua daram dan satu minjak baboreh."
Dari Hikayat Banjar yang bagian pertamanya ditulis pada 1661, orang Banjar sudah mengenal kue olahan berbahan durian yang disebut mamegan. JJ Ras menguraikan bahwa mamegan adalah buah durian yang direbus, dibuat semacam kue dan kemudian dikeringkan (hlm 570). (*)
Ditulis oleh Chai Siswandi, penekun literasi sejarah Kutai, tinggal di Kota Bangun.
Editor: Fel GM