kaltimkece.id Apakah Samarinda fakir tempat bersejarah? Mungkin ya, walaupun sejatinya tidak. Kota ini memang tidak memiliki Lawang Sewu seperti Semarang atau Tugu Pal Putih seperti Yogyakarta. Museum yang populer (dalam arti di benak setiap orang) juga terletak di Tenggarong, bukan Samarinda.
Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, berbagai situs bersejarah di kota ini "kembali ditemukan". Ambil saja sebagai contoh yakni tugu-tugu palagan di Teluk Lerong dan Solong serta Tugu Kebangkitan Nasional di Jalan Panglima Batur. Rupanya pula, masih banyak situs yang tersembunyi. Bukan karena bangunannya di pelosok gang atau sukar diakses, melainkan karena belum ada yang menceritakan kembali kisahnya atau benar-benar mencari tahu sejarah di baliknya.
Yang pertama adalah Tugu Hansip di depan Pasar Segiri. Tugu ini sering sekali dilewati warga Samarinda yang melintasi Jalan Pahlawan. Namun demikian, sedikit sekali yang mengetahui cerita di balik tugu yang berdiri dekat kompleks utama Pasar Segiri tersebut. Inskripsi di tugu itu menceritakan secara ringkas kisahnya.
Tugu ini berdiri sebagai hasil gotong royong warga Jalan Sempaja-Samarinda (nama Jalan Pahlawan saat itu). Tugu dibangun dalam waktu sebulan mulai 1 Juni hingga 31 Juli 1963 lalu diresmikan pada 17 Agustus 1963 berbarengan HUT ke-18 RI. Selanjutnya, tugu tersebut dipugar oleh PT Purna Karya Manunggal (kini Prima Karya Manunggal) pada 1 April 1991.
Jika menilik tarikh pembangunannya, tugu ini merupakan saksi bisu Samarinda pada masa Sukarno dan konfrontasi-nya yang dimulai pada 16 September 1963. Pada dasawarsa tersebut, masyarakat sipil digembleng sehubungan "Ganyang Malaysia" yang intens digaungkan Presiden Sukarno.
Pembentukan Hansip (Pertahanan Sipil) pada 19 April 1962 menjadi bagian dari usaha tersebut. Adapun kepala daerah, bertindak sebagai Kepala Markas Sektor (Kamasek) Hansip di wilayah masing-masing. Di Kotapraja Samarinda, Kamasek-nya adalah Mayor Ngudijo BcHK, wali kota saat itu (Antara, 20 Maret 1966). Berdirinya tugu ini sudah tentu menjadi bagian dari pelaksanaan Dwikora di Kalimantan Timur.
Menariknya, dalam inskripsi tertulis "Jalan Sempaja-Samarinda" sebagai nama jalan di sekitar tugu. Hal ini menandakan dua hal. Pertama, Jalan Pahlawan ternyata jauh lebih tua dari yang saya kira. Kedua, kawasan Sempaja waktu itu masih belum menjadi bagian inti dari Kota Samarinda sehingga harus ditulis terpisah dari Samarinda. Situasinya sekarang tentu berbeda karena Sempaja sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kota ini.
Kantor Kadin Kaltim, Satu-Satunya yang Tersisa
Cobalah berjalan-jalan sejenak di sekitar Kantor Gubernur Kaltim. Kawasan itu memang sudah banyak berubah. Mulai dari Lapangan Kinibalu yang menyimpan banyak kisah sejarah, gereja katedral, termasuk kantor gubernur yang telah beberapa kali direnovasi.
Walau demikian, setidaknya dua bangunan masih mempertahankan bentuk asli. Pertama adalah Sekretariat DPD RI Perwakilan Kaltim di Jalan Gajah Mada. Gedung ini merupakan bekas Societeit Koetei, sebuah tempat perkumpulan orang-orang Belanda di Samarinda. Bangunan ini masih mempertahankan bentuk terakhirnya yang modernis.
Bangunan kedua adalah kantor Kamar Dagang dan Industri Kaltim di Jalan Jenderal Sudirman, dekat perempatan Lapangan Kinibalu (kini Masjid Nurul Mu'minin). Gedung ini menonjol di antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya karena masih mempertahankan gaya arsitektur Belanda di tengah hiruk-pikuk bangunan bergaya modern.
Hampir tidak ada literatur yang menceritakan kisah gedung ini. Akan tetapi, Peta Kota Samarinda tahun 1950 menyingkap misterinya. Peta yang dibuat oleh Hans Lüning, seorang pegawai Balai Planologi Balikpapan, memuat sketsa jalan dan bangunan penting di Samarinda lengkap dengan keterangannya. Peta tersebut bisa diakses khalayak umum melalui tautan yang disertakan di daftar referensi.
Pada peta tersebut, kantor Kadin diberi nomor 13 dengan warna merah sebagai penanda. Warna tersebut berarti bangunan merupakan perkantoran dan fasilitas umum. Dalam legenda peta, nomor 13 merujuk kepada boswezwn (seharusnya ditulis boswezen). Bangunan ini berfungsi sebagai kantor Jawatan Kehutanan (Dienst van het Boswezen) pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan juga republik pada 1950-an.
Sebagai tambahan, gedung ini kemungkinan besar baru dibangun pasca-Perang Dunia II. Kantor tersebut tidak ditemukan dalam peta Samarinda yang dibuat NEFIS pada 1944 maupun peta Jawatan Topografi (Topografische Dienst) pada 1941.
Kantor RRI Samarinda yang Pertama
Kakek penulis pernah bercerita bahwa dulu siaran Si Karut begitu terkenal di radio. Si Karut adalah penyiar legendaris Samarinda yang suaranya berasal dari kantor RRI di sebuah bukit. Sayangnya, bukit yang dimaksud itu nyaris lenyap dari memori. Penulis bahkan harus mencari tahu dan bertanya ke sana ke mari hanya untuk menemukan bahwa kantor RRI Samarinda dulu terletak di bukit yang sekarang menjadi kantor PDAM Tirta Kencana Samarinda.
Lantas, apakah kantor PDAM yang sekarang itu bekas kantor RRI? Ternyata bukan. Sebuah postingan dari komunitas Susur Gang Samarinda pada 11 Januari 2025 memberi informasi yang penting. Gedung, atau lebih tepatnya kini disebut rumah, bekas kantor RRI Samarinda itu ternyata bangunan yang berbeda dan untungnya masih ada. Letaknya di sebuah jalan tembusan menuju kantor PDAM Tirta Kencana sehingga memang tersembunyi.
Berita pembukaan kantor RRI Samarinda dapat ditemukan di koran Sin Po edisi 19 Mei 1954. Mengutip pemberitaan dari Antara sehari sebelumnya, pembukaan RRI dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Harjoto, beserta staf yang berangkat dari Jakarta ke Samarinda dengan pesawat terbang. Setelah menghadiri acara pembukaan, mereka bertolak ke Balikpapan, Banjarmasin, dan tempat-tempat lain untuk memberi penerangan mengenai pemilihan umum yang akan datang. Dengan begitu, jelas bahwa Harjoto dan stafnya berangkat menggunakan pesawat terbang amfibi.
RRI Samarinda pertama kali dikepalai Sambas Wirahadikusuma (bukan Prof Sambas Wirakusumah, mantan rektor Unmul-pen) dengan pemancar berkekuatan 250 watt dan personel yang minim. Gedung RRI Samarinda yang pertama sejatinya adalah milik pemerintah Daerah Istimewa Kutai. RRI dapat beroperasi di sana karena izin pakai yang dikeluarkan Sultan Aji Muhammad Parikesit selaku kepala daerah istimewa. Gedung ini tidak lagi digunakan sejak 1976 ketika kantor RRI pindah ke tempatnya yang sekarang di Jalan Moh Yamin, Gunung Kelua (Napak Tilas Sejarah Berdirinya RRI Samarinda Tempo Dulu, 2024).
Perumahan Belanda di Jalan Mawar dan Milono
Warga Samarinda tentu saja pernah melewati dua kawasan ini. Rumah-rumah tua menghiasi kiri dan kanan Jalan Mawar dan Jalan Milono. Sayangnya, rumah-rumah tersebut saat ini banyak yang berubah. Padahal, dulunya, hunian di kedua jalan itu mirip dengan rumah-rumah Belanda di Pulau Jawa sebab memang dibangun oleh orang-orang Belanda.
Kawasan perumahan di Jalan Mawar (termasuk Jalan Bhayangkara dan Kenanga) dan Milono kemungkinan besar baru dibangun pasca-Perang Dunia II. Bangunan tersebut mulai didirikan pada akhir dekade 1940-an. Pada masa sebelum Perang Dunia II (sekitar dekade 1930-an) dan semasa perang, bangunan penting di kawasan tersebut barulah Rumah Sakit OBM (Oost Borneo Maatschappij) yang gedungnya kemudian digunakan MULO Samarinda sebelum menjadi gedung lama SMP Negeri 1 Samarinda setelah penyerahan kedaulatan. Jalanan kota pun berhenti di rumah sakit dan sisanya masih jalan setapak.
Perumahan tersebut baru hadir di peta yang kemungkinan dibuat sekitar 1947/1948 (sebab tidak disebutkan secara tegas tahun pembuatannya). Tertulis dalam peta, nama-nama Belanda dari Jalan Bhayangkara, Mawar, dan Kenanga. Secara berurutan, jalan-jalan itu dinamakan Prinses Julianalaan (juga mencakup Jalan Awang Long), Prinses Irenelaan, dan Prinses Beatrislaan. Adapun Jalan Milono waktu itu belum memiliki nama. Selain kawasan perumahan, terdapat kuburan Kristen (kerkhof) di kawasan yang kini menjadi kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim.
Bentuk bangunan di Jalan Mawar adalah dua rumah yang sebenarnya terdiri dari satu bangunan yang sama. Hanya saja, terdapat sekat di tengahnya sehingga menjadi dua petak yang berbeda. Dalam istilah sekarang sering disebut rumah couple (pasangan). Dari antara rumah-rumah yang tersisa, hanya satu yang masih mempertahankan bentuk asli dari zaman kolonial. Rumah bercat putih itu masih dihuni oleh keturunan pemilik aslinya, seorang pegawai negeri keturunan Ambon.
Penulis sempat datang ke rumah tersebut dan berbicara dengan keturunan pemiliknya pada 8 Juni 2024. Kebetulan, anak sang pemilik itu merupakan teman sekolah ibu penulis. Ada sebuah kisah menarik yang diceritakannya. Dahulu, di rumah itu terdapat sebuah lubang bekas tembakan senapan. Ibu penulis yang waktu SMA sering main ke rumah itu, membenarkan hal ini. Sang oma (pemilik awal-ibu dari pemilik yang sekarang) menuturkan bahwa lubang itu berasal dari tembakan tentara Jepang yang entah karena alasan apa menembaki rumah semasa perang.
Lubang bersejarah itu sayangnya sudah ditutup dan tidak dapat dilihat lagi. Terlepas benar tidaknya lubang itu berasal dari tembakan tentara Jepang, rumah tersebut (dan rumah-rumah di sekitarnya) usianya memang sudah sangat tua. Gaya arsitekturnya menjadi saksi bisu akan hal ini. (*)
Senarai Kepustakaan
1 Peleton Sukwan Tempur Dipersiapkan, Antara, 20 Maret 1966.
Hamzah, Raditia. Napak Tilas Sejarah Berdirinya RRI Samarinda Tempo Dulu, RRI, 13 Mei 2024. Diakses 1 Februari 2025.
Luning, Hans. Structuurschets van Samarinda met aangehechte staat van bijzondere gebouwen. (peta). Skala 1:5000. Koleksi Het Nieuwe Instituut, Tanpa Tahun. Diakses 1 Februari 2025.
NEFIS. Town Plan: Samarinda East Borneo. (peta). Skala 1:50. 7 Oktober 1944. Koleksi NIOD. Diakses 1 Februari 2025.
Susur Gang Samarinda. Kantor RRI Pertama di Samarinda, Instagram, 11 Januari 2025. Diakses pada 1 Februari 2025.
Topografische Dienst. Samarinda. (peta). Skala 1:100.000. Batavia : Reproductiebedrijf Topografische Dienst, 1941. Koleksi KITLV. Diakses 1 Februari 2025.