kaltimkece.id Cengkeraman pemerintah kolonial baru saja tercerabut dari tanah Tenggarong ketika ramai orang berkumpul di Jalan Awang Sabran. Di sebuah rumah dinas peninggalan pemerintah Hindia Belanda, warga menanti kelahiran seorang bayi. Kegalauan akhirnya lenyap setelah lengkingan bayi laki-laki sayup-sayup terdengar.
Pada 31 Juli 1948, pasangan Awang Ishak dan Dayang Djoriah semringah menyambut kelahiran anak kesepuluh mereka. Bayi itu dinamakan Awang Faroek. Kelak, nama itulah yang tertulis sebagai gubernur ke-13 Kaltim yang memimpin selama dua periode (60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak: Mentradisikan Karya Terbaik, 2008, hal 2).
Awang Faroek bersama 12 saudaranya tinggal di rumah dinas karena ayahnya adalah pegawai kesultanan. Rumah berdinding beton dengan atap sirap di Tenggarong itu bergaya Eropa sehingga punya banyak jendela. Di setiap jendela, selalu tersedia tanaman bunga yang terawat. Rumah itu dikelilingi pekarangan yang luas dengan sebuah garasi mungil yang cukup untuk satu mobil di sudutnya. Awang Faroek tinggal di sana sampai berusia 6 tahun.
Ketika Awang Faroek memasuki usia sekolah, ayahnya ditugaskan sebagai wedana Sendawar di Barong Tongkok, kini ibu kota Kabupaten Kutai Barat. Keluarga besar Awang Faroek boyongan ke hulu Sungai Mahakam pada 1955. Satu-satunya sekolah yang berdiri di Barong Tongkok adalah Sekolah Rakyat Katolik. Di situlah Awang Faroek pertama kali mengenal pendidikan resminya.
Selama tiga tahun, Awang Faroek belajar di sana. Masa kecilnya diisi dengan persahabatan bersama anak-anak suku Dayak. Kelak, kesederhanaan dan persahabatan di Barong Tongkok diakui Awang Faroek sebagai pembentuk karakternya di masa depan.
Lini masa kehidupan lelaki 13 bersaudara itu memasuki dunia baru pada 1958. Usianya sepuluh tahun ketika ayahnya ditugaskan ke Tenggarong. Awang Faroek masuk Sekolah Rakyat Negeri Tenggarong saat kelas tiga. Dia sekelas bersama mendiang Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kutai Kartanegara, yang kelak menjadi lawan politiknya. Persekelasan keduanya hanya setahun. Syaukani tinggal kelas ketika itu.
"Pak Kaning --sapaan Syaukani-- memang agak bandel. Dia tidak naik ke kelas empat," kata Awang Faroek, masih dikutip dari buku berjudul 60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak (hal 17).
Awang Faroek juga hanya setahun di Tenggarong. Naik kelas empat, dia mengikuti ayahnya yang harus bertugas di Tarakan, juga sebagai wedana. Ia masuk Sekolah Rakyat Negeri Tarakan di Kampung Bugis. Tamat sekolah rakyat pada 1961, Awang Faroek melanjutkan SMP dan SMA di Tenggarong.
Masa remaja Awang Faroek tak berbeda dengan kawula muda kebanyakan pada saat itu. Dia memilih aktif di organisasi serta bermusik. Bersama empat kawan SMA, Awang Faroek membentuk grup band bernama Gesnaria (Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat Edisi 3, hal 20). Itu sebabnya, orang-orang yang mengenal sosok Awang Faroek tidak akan heran ketika dia telah menjadi gubernur. Awang kerap bernyanyi, atau diminta menembang, di pelbagai acara resmi maupun tidak.
Awang Faroek masih menjadi vokalis band Gesnaria ketika sebuah band lain turut eksis. Band itu bernama Payi, kependekan dari Pemuda Ahmad Yani. Vokalisnya seorang perempuan bernama Ence Amelia Suharni. Awang Faroek bertemu sang vokalis itu di sebuah acara musik kemudian jatuh hati. Pada masa berikutnya, keduanya menikah dan memiliki tiga anak.
Masa Selepas Remaja
Lulus dari SMA, Awang Faroek melanjutkan studi di Malang, Jawa Timur. Dia masuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. Di Kota Apel, Awang Faroek aktif di GMNI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Dia kembali ke Kaltim setelah lulus dan menjadi staf di Biro Pembangunan, Kantor Gubernur Kaltim. Gaji pertamanya Rp 6 ribu. Namun, perlahan tapi pasti, karier Awang Faroek menanjak. Gubernur Abdul Wahab Sjahranie yang terpikat dengan kinerjanya meminta Awang Faroek mengembangkan Universitas Mulawarman.
Dari seorang birokrat, Awang Faroek menjadi pendidik. Dia ditugaskan sebagai dosen Fakultas Ekonomi pada 1976. Kariernya di lembaga pendidikan tinggi tertua di Kaltim itu juga mantap. Pada usia 31 tahun, Awang Faroek telah dipercaya sebagai pembantu rektor III.
Awang Faroek masih aktif berorganisasi. Dia menjadi ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Kaltim serta ketua Kwartir Gerakan Pemuda Kaltim. Awang Faroek juga menceburkan dirinya ke dunia politik. Pada masa Orde Baru, pegawai negeri boleh berkarier di Golongan Karya. Aktivitas di Golkar membawanya ke Gedung Senayan. Awang Faroek dipilih menjadi anggota DPR RI selama dua periode, 1987 hingga 1997. Sepuluh tahun di Jakarta, Awang kembali ke Kalimantan Timur. Keran reformasi membuka pemekaran kabupaten. Awang Faroek kemudian menjadi bupati Kutai Timur.
Panasnya Pilgub 2003
Mei 2003 menjadi masa-masa penting dalam kehidupan Awang Faroek. Dia mengambil langkah besar yakni mundur sebagai bupati. Tujuannya adalah mencalonkan diri sebagai gubernur Kaltim. Nama Awang Faroek terus berkibar di tengah masyarakat. Latar belakangnya yang lengkap yakni sebagai birokrat, pendidik, hingga anggota DPR, membuat Awang Faroek diunggulkan.
Pada 2003, gubernur masih dipilih oleh anggota DPRD Kaltim. Sampai hari-hari terakhir pemilihan, berbagai media masih mengunggulkan Awang Faroek yang berhadapan dengan Suwarna Abdul Fatah. Kejutan terjadi pada hari pemungutan. Awang Faroek kalah dalam pilgub. Dalam buku 60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak, kontestasi itu disebut sebagai "pilkada yang paling menyita perhatian, penuh intrik, dan ditengarai kental akan nuansa money politic." (hal 275)
Awang Faroek sempat mengutarakan kekecewaannya. Selain masih menggunakan sistem lama, Awang Faroek mengaku, kekurangan "gizi." Dia berkata, "Lawan saya adalah Suwarna dan Syaukani. Tapi kalau saya tidak dikhianati lima orang, tiga dari Golkar dan dua dari PAN, bisa terjadi putaran kedua. Insya Allah saya menang," tuturnya, masih dikutip dari Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat Edisi 3 (hal 300).
Awang Faroek akhirnya legawa atas kekalahan itu. Peristiwa pada 2003 justru menjadi cambuk baginya. Pada 2008, melalui pemilihan gubernur langsung pertama di Kaltim, Awang Faroek menang. Bukan sekali, dua kali dia memegang amanah rakyat sebagai gubernur.
Sepuluh tahun duduk sebagai orang nomor satu di Kaltim, Awang Faroek menorehkan beberapa pencapaian. Di bidang reformasi birokrasi, Faroek berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik berbasis teknologi informasi (e-governance). Di bidang perizinan, Pemprov Kaltim meluncurkan One Data One Map. Program ini berhasil melenyapkan tumpang tindih peta di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan pertanian. One Data One Map menjadi terobosan di Indonesia sehingga diganjar penghargaan nasional tiga tahun berturut-turut sejak 2014.
Kelahiran Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Mahakam Ulu juga tidak lepas dari andil Awang Faroek. Dia juga berhasil meredam konflik horizontal di Tarakan dan Kutai Barat (Derap Langkah Pembangunan Kaltim, 2018, hlm 11-15).
Di sektor infrastruktur, Awang Faroek menetapkan sejumlah proyek strategis. Satu yang paling dinanti penyelesaiannya adalah jalan tol Balikpapan-Samarinda. Jalan tol tersebut menjadi yang pertama di Kalimantan. Faroek juga berhasil menyelesaikan pembangunan Bandara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Samarinda.
Sepanjang pemerintahannya pula, landasan pacu tiga bandara perintis di perbatasan Kaltim dan Kaltara diperpanjang. Termasuk pula peningkatan jalan ke Terminal Peti Kemas Palaran hingga jembatan kembar Sungai Mahakam di Samarinda. Pembangunan berbagai infrastruktur semasa ia menjabat disebut sangat memengaruhi keputusan pemilihan lokasi Ibu Kota Nusantara di Kaltim.
Pencapaian berikutnya adalah di sektor pendidikan. Beasiswa Kaltim Cemerlang adalah yang paling menonjol. Sejak diberikan pada 2009, beasiswa diterima 205.951 pelajar maupun mahasiswa dengan total anggaran Rp 1,1 triliun (hlm 111). Pencapaian lain adalah di bidang kesehatan. Di bawah pemerintahan Faroek, RSUD AW Sjahranie menjadi rumah sakit rujukan nasional tipe A. Pertama di luar jawa, rumah sakit ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas medis modern.
Masih banyak ragam prestasi Kaltim di bawah pemerintah Awang Faroek. Sedari keikutsertaan provinsi dalam gerakan perubahan iklim dunia hingga upaya transformasi ekonomi. Demikian halnya di bidang olahraga, Kaltim menjadi salah satu kekuatan utama nasional selepas menjadi tuan rumah PON 2008.
Peristiwa Penting
Sebuah kabar tersiar pada Jumat, 3 Oktober 2014. Gubernur Kaltim dikabarkan tergeletak di ruang intensive care unit, ICU, Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie. Hari itu segera mengubah kehidupan Awang Faroek. Pada awalnya, Faroek disebut terserang bells palsy, penyakit yang menyerang saraf otot wajah. Beberapa saat kemudian, gubernur disebut diserang stroke ringan.
Dampak yang harus dihadapi adalah gubernur kesulitan berbicara. Setelah keluar dari rumah sakit, Faroek sempat seperti orang gagap. Beberapa kata dalam kalimatnya terdengar tak jelas. Setelah melewati sejumlah terapi, kesukaran berbicara dapat diatasi. Meski demikian, dampak terberat adalah duduk di kursi roda. Dari sepuluh tahun menjadi gubernur, Faroek melewati empat tahun di atas kursi roda.
"Saya masih bisa bekerja. Jenderal Sudirman saja bisa memimpin peperangan dari atas tandu. Saya hanya dari kursi roda," kata Awang Faroek kepada sejumlah wartawan, ketika pertama kali tampil di muka publik dengan kursi rodanya. Faroek sebenarnya hanya kesulitan berjalan. Dia masih bisa berdiri. Dalam banyak kesempatan, lelaki kelahiran Tenggarong, 31 Juli 1948 ini berusaha berdiri dengan kedua tungkai meskipun hanya untuk foto bersama. Menurut pengakuannya, dia pernah memaksa berdiri saat berpidato. Namun, tim dokter khawatir akan hal tersebut. (*)
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Juli 2018 dan mengalami sedikit perubahan di beberapa bagian.
Senarai Kepustakaan
Karim, Sabrinoor, dkk. 2008. 60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak: Mentradisikan Karya Terbaik. Jakarta: Indomedia.
Karim, Sabrinoor, dkk. 2013. Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat Edisi 3. Jakarta: Indomedia Global Mandiri.