kaltimkece.id Laut Kalimantan bagian utara telah ramai sejak satu milenium silam. Sebelum tarikh 1000 Masehi, kawasan seperti Pulau Bunyu, Pulau Nunukan, dan Pulau Tarakan merupakan tempat yang sering disinggahi pedagang-pedagang Tiongkok. Kendati demikian, tidak ditemukan satu catatan pedagang Tiongkok pun yang menyebutkan adanya pemerintahan di kawasan tersebut.
Di antara minimnya tulisan, Kerajaan Tidung sebenarnya diperkirakan berdiri sejak abad ke-11. Kerajaan Tidung Kuno diduga mulai eksis pada tarikh 1076 Masehi. Kisahnya tersebutkan dalam cerita rakyat yang mengetengahkan seorang tokoh bernama Benayuk selaku raja Menjelutung, kampung yang berdiri di tepi Sungai Sesayap --sekarang di Kabupaten Malinau dan Tana Tidung, Kalimantan Utara.
Syahdan, Kampung Menjelutung memiliki sebuah pohon ajaib yang bisa memberikan keabadian. Berkat pohon itu, tak ada kematian di kampung tersebut. Penduduk pun percaya akan larangan merayakan kematian yang bisa mendatangkan bencana (Legenda Benayuk, Studi Deskriptif Folklor Lisan Masyarakat Desa Menjelutung, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara, 2018, hlm 7).
Suatu hari, Raja Benayuk ingin mengadakan irau kematian karena bosan dengan hidup yang monoton. Penduduk diperintahkan menangkap sepasang hiu dan membungkus dengan kain. Mereka menangisi bungkusan hiu itu selayaknya jenazah. Setelah tujuh hari tujuh malam perayaan yang penuh jamuan makanan, datanglah puting beliung yang meruntuhkan seisi kerajaan (hlm 8). Menurut tuturan lisan yang lain, keturunan Raja Benayuk lantas mengangkat diri sebagai raja dan memindahkan pusat pemerintahan ke Tarakan.
Dalam Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009), Kerajaan Tidung Kuno di Tarakan ini diperkirakan berdiri pada 1076. Lokasi kerajaan berpindah-pindah dari Binalatung di pesisir timur Tarakan (1076-1156) ke Tanjung Batu (1156-1216) dan Sungai Bidang (1216-1394) di pesisir barat. Pemerintahan kerajaan sempat keluar jauh dari Tarakan pada 1394-1557 di Tanah Kuning (hlm 37).
Meskipun disebut sebagai kerajaan, Tidung Kuno diperkirakan bukan sebuah monarki. Dalam konsep umum, monarki memiliki istana, mahkota, lambang, maupun simbol kekuasaan yang lain. Menurut Martinus Nanang dalam Sejarah dan Kebudayaan Tidung di Kabupaten Malinau (2012), raja yang dimaksud lebih merupakan sistem kepemimpinan suku. Pada mulanya, cakupan kekuasaan mungkin kecil walaupun akhirnya meluas sampai ke suku-suku di luar Tidung. Raja lebih mirip seperti kepala suku (triballeader) atau pemimpin komunitas (community leader) sehingga lebih mudah memindahkan pemerintahan (hlm 10).
Sebenarnya ada satu lagi Kerajaan Tidung di Kalimantan Utara. Kerajaan ini tidak berasal dari Menjelutung melainkan sebuah kawasan bernama Tanah Merah, sekarang terletak di Kabupaten Tana Tidung. Menurut Martinus Nanang, kerajaan tersebut bernama Berayu dengan raja pertama bernama Kundung yang diyakini memiliki kekerabatan dengan Kerajaan Kutai. Kelompok dari kerajaan ini disebut Berayu (sekarang banyak menetap di Malinau Kota), yang satu lagi kelompok Sesayap (banyak menetap di Malinau Seberang).
Dinasti Tengara dan Identitas Tidung
Periode Kerajaan Tidung Kuno berakhir pada masa pemerintahan Ratu Ikenawai. Ia menikah dengan Radja Laoet yang diduga keturunan Raja Sulu (Filipina) pada 1557 (Amir Hamzah dalam Mengenal Sekilas Suku Tidung, 2019). Pernikahan ini melahirkan dinasti Tengara yang memimpin Kerajaan Tidung, fase setelah Kerajaan Tidung Kuno. Dari Tanah Kuning, Radja Laoet mengembalikan pusat pemerintahan ke Pulau Tarakan. Kesultanannya dikenal dengan nama Tengara, populer juga disebut Kerajaan Tarakan, Kalkan, atau Kalka.
Corak pemerintahan adalah kesultanan karena Radja Laoet telah memeluk Islam. Pengaruh Islam bagi masyarakat Tidung seringkali menimbulkan multipersepsi. Hingga hari ini pun, masih belum terjawab apakah Kerajaan Tidung bagian dari Suku Dayak atau Melayu. Sebagian ahli dan pemerhati Kalimantan mengidentikkan mereka yang tidak beragama Islam, berdiam di pedalaman, hulu sungai, atau sering disebut orang gunung, dengan istilah Dayak. Adapun Melayu, lebih merujuk kepada mereka yang beragama Islam, mendiami pantai, pinggir sungai, atau kepulauan. Istilah Dayak seringkali dibenturkan dengan kata Melayu seakan "sesuatu yang berseberangan" (Pengaruh Islam terhadap Identitas Tidung Menurut Bukti Arkeologi, 2013).
Dalam dua hal, yakni beragama Islam dan tinggal di pesisir pantai, sungai, atau kepulauan, orang Tidung lebih condong ke komunitas Melayu. Namun demikian, sejumlah peneliti menyatakan, orang Tidung juga memiliki banyak kesamaan dengan Suku Dayak. Sebagai contoh, Tidung (yang berarti gunung) menjalankan pola hidup sederhana sebagai petani subsisten. Atribut-atribut ke-Dayak-an juga digunakan orang Tidung seperti senjata tradisional yang sangat mirip dengan mandau.
Sebagian orang Tidung menyebut diri mereka sebagai Dayak Tidung atau Islam Dayak. Dalam Belimpun Taka Tugas, Insuai Taka Tapu: Orang Tidung, Marginalisasi, dan Perlawanan di Pulau Sebatik, Nunukan (2017), seorang warga Tidung bernama Syarif, 43 tahun, berkata, “Sebenarnya, siapa Dayak dan siapa Tidung? Dayak pada awalnya itu ‘kan sebutan orang luar terhadap kami penduduk asli Kalimantan. Kami dilabeli bahwa orang Kalimantan tinggal di wilayah pedalaman. Jika dilihat dari segi bahasa pun, antara Dayak dan Tidung, hampir mirip-miriplah. Kami saling mengerti bahasa masing-masing.”
Bahasa Tidung memang memiliki banyak kesamaan dengan penutur dari Kuala Penyu di Sabah Barat yang berasal dari etnik Murut. Etnik Murut ini sering disebut Tenggara. Tjilik Riwut dalam Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (2003) menyatakan, Suku Tidung merupakan bagian dari keluarga Dayak Murut. Dalam klasifikasi Riwut, Dayak terbagi dalam enam kelompok besar yakni Ngaju, Apo Kayan, Iban, Klemantan, Murut, dan Punan. Tidung yang merupakan subsuku Murut terbagi atas 10 kelompok subsuku yang lebih kecil lagi (hlm 62).
Kembali ke Kerajaan Tidung di Tarakan, Dinasti Tengara berkuasa selama 359 tahun. Ada 12 raja atau penguasa lokal yang memimpin turun-temurun. Pada tarikh 1600-an, kekuasaan kesultanan meliputi selatan sungai Sesayap hingga utara Sungai Kayan. Pemerintahan kerajaan sempat pindah beberapa kali di antaranya ke Sesayap dan Sembakung pada 1650, Sesayap dan Tideng Pala pada abad ke-18, dan kembali ke Menjelutung pada 1800 (Forest, Resourcesand People in Bulungan, 2001, hlm 19-23).
Kesultanan Tidung sudah memiliki 2.000 penduduk pada 1812. Mereka mampu mengekspor emas, sarang burung putih, sarang burung hitam, lilin, kampur, dan rotan. Penduduk Tidung juga memproduksi beras untuk ditukar dengan hasil alam dari orang-orang pedalaman. Kerajaan Tidung pindah ke Malinau Seberang pada 1900, dekat dengan gua sarang burung di Bengalun. Sementara itu, posisi Tarakan di bawah Kerajaan Tidung makin ramai sebagai pusat perdagangan maritim.
Runtuhnya Kerajaan Tidung
Posisi Tarakan yang sedemikian penting menarik perhatian Belanda. Apalagi Tarakan diketahui memiliki cadangan minyak bumi yang disebut berkualitas tinggi. Belanda segera memakai strategi adu domba setelah mengetahui adanya persaingan antara Kesultanan Tidung di Tarakan dengan Kesultanan Bulungan dan Berau.
Sebermula dari perkawinan politis Sultan Bulungan bernama Alimuddin dengan dua istri; satu dari Berau, satunya lagi putri penguasa Tidung. Persaingan muncul ketika suksesi pengganti Sultan Alimuddin di kemudian hari. Friksi dan konflik internal tersebut bertepatan dengan kedatangan Belanda. Sebagai negara imperialis, Belanda memihak kepada golongan yang paling menguntungkan buat mereka. Dalam hal ini, Belanda memilih Kesultanan Bulungan.
Di lain pihak, pemimpin Kerajaan Tidung yakni Datoe Adil (1896-1916) memang tidak pernah menyukai Belanda. Ia dikenal sangat anti-Belanda. Kerajaan Tidung akhirnya diserang Kesultanan Bulungan pada 1916 akibat politik adu domba Belanda. Raja Datoe Adil diasingkan ke Manado. Sejumlah orang Tidung terpaksa melarikan diri ke Nunukan, Tawau, Kinabatangan, Labuk, Kutai, dan Pulau Sebatik (Orang Tidung, Marginalisasi dan Perlawanan di Pulau Sebatik, Nunukan, hlm 138).
Kerajaan Tidung yang diperkirakan berdiri hampir satu milenium akhirnya runtuh. Oleh Belanda, pewaris takhta Kesultanan Tidung hanya dijadikan anggota terkemuka dari dewan lokal di Malinau bentukan kolonial. Menurut ahli antropologi Bernard Sellato, Pangeran Bakti adalah raja Tidung yang masih hidup pada 2000. Pangeran Bakti yang waktu itu sudah tua dan hampir buta hidup dalam kemiskinan di sebuah rumah bobrok di Malinau Seberang. (*)
Senarai Kepustakaan