kaltimkece.id Alangkah gembiranya hati Oemar Dachlan. Upaya wartawan dari koran Masjarakat Baru itu mewawancarai Presiden Soekarno berhasil juga. Padahal, sebelumnya, berkali-kali Oemar Dachlan menghubungi ajudan presiden. Permintaannya selalu ditolak karena agenda kepala negara dalam kunjungan sehari semalam di Samarinda terlampau padat. Akan tetapi, Ahad siang tersebut, kesempatan datang juga. Sungguh sebuah keberuntungan yang tak ia sangka-sangka.
Mujur yang mampir kepada Oemar Dachlan bermula di Dermaga Pelabuhan Samarinda pada 17 September 1950. Rombongan presiden sedianya menuju Balikpapan menggunakan pesawat amfibi Catalina. Pesawat tersebut sudah parkir di Sungai Mahakam. Akan tetapi, perahu motor untuk mengangkut rombongan ke pesawat molor datangnya.
Presiden Soekarno lantas duduk di jejeran kursi yang disiapkan terburu-buru oleh kantor bea dan cukai setempat. Oemar Dachlan melihat Bung Karno sedang dalam suasana santai. Naluri jurnalis menggerakkan Oemar Dachlan yang waktu itu berusia 37 tahun untuk menghubungi ajudan. Ia mengajukan permintaan wawancara lagi. Betapa senangnya Oemar Dachlan ketika Presiden menganggukkan kepala.
“Anggukan itu, yang berarti, adanya kesediaan beliau,” tutur Oemar Dachlan dalam Tokoh Pers Kaltim: Sejarah, Karya, dan Pengabdian (2003, hlm 30). Padahal, lanjutnya, “Waktu itu tidak ada agenda jumpa pers presiden di Kaltim.”
Wawancara dimulai. Nasib baik seperti terus menaungi Oemar Dachlan hari itu. Seorang pejabat tinggi yang duduk di sebelah Bung Karno memberikan kursinya kepada Oemar Dachlan. Segera saja, lelaki yang lahir pada 12 Desember 1913 itu melaksanakan kerja jurnalistiknya. Pertanyaan pertamanya adalah bagaimana sikap Bung Karno bila DPR memilih wakil presiden selain Mohammad Hatta. Waktu itu, Republik Indonesia Serikat baru ambruk. Bentuk negara berubah menjadi kesatuan.
“Saya harapkan tidak!” jawab Bung Karno. Jawaban singkat tersebut menandakan Bung Karno tetap menghendaki dwitunggal. Kedua pemimpin besar tersebut masih solid (hlm 31).
Bung Karno tetap meladeni pertanyaan Oemar Dachlan walaupun jawabannya singkat-singkat. “Wait and see,” tutur Bung Besar ketika ditanya penyelesaian Irian Barat (kini disebut Papua).
Masih dalam wawancara, Bung Karno hanya sekali memberikan jawaban panjang. Yang unik, pertanyaan ini ditujukan kepada Bung Karno bukan sebagai kepala negara melainkan seorang ayah. Presiden Soekarno waktu itu tengah menunggu kelahiran anak ketiga dari Ibu Fatmawati. Tanpa rasa berdosa, Oemar Dachlan bertanya, “Apakah bayi lelaki atau perempuan yang Bapak inginkan dari Ibu Fatmawati?”
“Gerrrr…” Pejabat tinggi negara di dekat presiden yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Oemar merasa agak menyesal pertanyaan sekonyol itu keluar dari mulutnya. Rupanya, Bung Karno tidak menganggap itu konyol. Dengan sikapnya yang berwibawa, Presiden berkata, “Terserah pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya sudah punya anak lelaki (Guntur) dan perempuan (Megawati).”
Tiga pertanyaan sudah Oemar Dachlan lempar. Perahu motor yang dinanti belum juga datang. Masih ada waktu baginya bertanya. Lagi pula, para pejabat tinggi di dermaga tersebut gembira melihat Bung Karno meladeni pers. Oemar Dachlan pun memberanikan diri kepada Presiden untuk menuliskan amanat. Ia memberikan block note-nya yang seukuran saku. Bung Karno tak keberatan sama sekali.
Di atas kertas itu, Presiden lantas menulis, “Kemerdekaan bukan jaminan bahwa segala sesuatu akan menjadi beres. Kemerdekaan sekadar memberi kemungkinan untuk keberesan itu. Kemungkinan itu tidak ada dalam alam penjajahan.”
Pesan itu dimuat secara istimewa di halaman depan Masjarakat Baru keesokan harinya. Hanya disalin saja bunyinya karena waktu itu belum ada pabrik klise di Kaltim. Akan tetapi, hanya dengan tulisan itu saja, orang-orang di daerah sudah berbahagia. Mereka bisa merasakan kehadiran Bung Karno yang selama ini dikenal lewat suara radio belaka (hlm 32).
Wawancara akhirnya berakhir. Perahu motor yang dinanti juga telah tiba. Presiden Soekarno beserta rombongan segera menuju pesawat Catalina di tengah Sungai Mahakam. Waktu itu, satu-satunya jalur udara di Samarinda hanya dilayani pesawat amfibi. Belum ada bandara di Kota Tepian. Pesawat yang dipakai Presiden Soekarno ini sudah banyak digunakan perusahaan minyak untuk rute Samarinda, Balikpapan, dan Sangasanga (The Dakota Hunter: In Search of the Legendary DC-3 on the Last Frontiers, 2015, hlm 17).
Zaman Kolonial-Pendudukan Jepang
Oemar Dachlan adalah anak sulung dari pasangan Dachlan dan Hj Kamariah. Ayahnya seorang juru mudi kapal. Laki-laki ini punya mata setajam elang yang selalu dibantu kacamata berbingkai tebal. Pipinya sedikit tirus. Rambutnya yang mengkilap selalu dipotong pendek. Ia masih berusia 17 tahun ketika mengikuti kursus jurnalistik di Bandung selama enam bulan. Pada 1933, Oemar menjadi reporter lalu redaktur di harian Pewarta Borneo, surat kabar Melayu Tionghoa di Samarinda. Inilah surat kabar pertama di Kaltim yang terbit setiap hari. Isinya empat halaman tanpa muatan foto.
Zaman pertama yang Oemar lalui adalah kolonialisme Belanda. Oemar sempat menerima dua kali delik pers atau persdelict pada 1935 atau 1936. Oemar Dachlan sudah bekerja untuk Pewarta Borneo. Ia pun didenda 75 gulden karena dianggap mencemarkan nama baik alat negara. Uang segitu, kata Dachlan, cukup besar karena setara jujuran atau mahar seorang gadis dari kelas menengah. Delik pers yang kedua pada 1940 ketika Dahlan bekerja untuk harian Pantjaran Berita.
Pada masa kolonial, Oemar dikenal aktif dalam pergerakan. Ia terlibat dalam pembentukan Gerakan Rakyat Indonesia atau Gerindo. Organisasi berhaluan sosialis ini terbentuk di Jakarta pada 23 Mei 1937. Setahun kemudian, Oemar Dachlan bersama koleganya yaitu Aswian Tojo, Ishak Sani, dan M Djunaedi, aktif di Gerindo Samarinda (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Timur, 1986, hlm 40–41).
Gerakan Gerindo terhenti pada 1942 ketika balatentara Jepang menaklukkan Belanda. Oemar Dachlan juga terpaksa berhenti dari kerja jurnalistik karena medianya, Pantjaran Berita, tidak terbit akibat Perang Dunia II. Tiga setengah tahun penjajahan Jepang adalah zaman kedua yang dilalui Oemar Dachlan.
Zaman Orde Lama-Reformasi
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Oemar Dachlan kembali aktif di dunia jurnalistik maupun pergerakan. Usianya memasuki 35 tahun ketika dipercaya menjadi pemimpin redaksi Masjarakat Baru. Gajinya kecil. Kala itu, Belanda belum rela atas kemerdekaan RI dan berusaha kembali dengan membonceng sekutu. Belanda lantas merayu Oemar Dahlan untuk bergabung dalam Delegasi Kaltim di Konferensi Bizonder Federal Overlag (BFO) di Bandung pada 1948.
Oemar Dachlan yang memiliki akses informasi luas memahami bahwa BFO hanya alat Belanda melumpuhkan RI. Belanda sedang memecah-belah RI dengan membentuk negara atau daerah yang berdiri sendiri. Kaltim waktu itu dibentuk menjadi federasi bernama Gabungan Kesultanan Kaltim. Dua orang yang diminta Belanda, Oemar dan Abdoel Moeis Hassan --kelak menjadi gubernur Kaltim-- menolak dengan tegas.
“Memang, kehidupan akan lebih terjamin jika menerima tawaran tersebut ketimbang menjadi wartawan. Tapi saya tidak pernah menyesal dan justru bangga karenanya,” kata Oemar Dachlan (hlm 34).
Lini masa sedari proklamasi hingga tumbangnya Orde Lama, 1945-1966, menjadi zaman ketiga yang dilalui Oemar Dachlan. Selepas Belanda benar-benar angkat kaki lewat Konferensi Meja Bundar, Oemar Dahlan kembali menggeluti pergerakan. Ia tercatat mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sjahrir Cabang Samarinda pada 1950. Ia berhenti dari partai karena beralih profesi menjadi pegawai negeri di Kantor Residen Kaltim, kini Kantor Gubernur Kaltim.
Zaman keempat adalah 32 tahun Orde Baru. Dachlan sudah tinggal di Jalan Belibis, kini Jalan AM Sangaji, Samarinda. Ia pensiun pada usia 57 tahun, tepatnya 1 Desember 1970. Masa purnatugasnya diisi dengan kembali ke dunia pers sebagai wartawan lepas. Sebagai wartawan paling senior saat itu, Oemar Dachlan punya julukan sebagai Kamus Berjalan. Ia mengingat seluruh peristiwa penting di Kaltim, terutama di Samarinda, sedari dekade 1930-an.
Oemar Dachlan masih rajin menulis setelah Orde Baru tumbang pada 1998. Usianya sudah 81 tahun saat itu. Raga boleh renta, tapi tidak jiwanya. Pada era reformasi, Oemar Dachlan sempat mengunggah sejumlah kritikan. Satu di antaranya adalah berbagai program Orde Baru yang bermanfaat yang dihapuskan pemerintah yang berkuasa. Posyandu adalah contohnya. Waktu program ini dihilangkan, kasus kurang gizi dan polio yang sebelumnya jarang muncul justru seperti "mewabah" pada Era Reformasi (Mengenang Oemar Dahlan, Wartawan Lima Zaman, artikel Persatuan Wartawan Indonesia, 2008).
Akhir Pengabdian
Oemar Dachlan masih rajin menulis artikel dan buku hingga akhir hayatnya. Ia bersetia dengan mesin tik walaupun telah lima kali zaman berganti. Tidak pernah sekalipun, Oemar Dachlan menggunakan komputer. Makanya, jika ada kekeliruan dalam naskah, ia menambahkan tulisan tangan di sela-sela ketikan.
Sebagai tokoh senior, Oemar Dachlan dikenal bersahabat karib dengan mantan wakil presiden Adam Malik. Menurut Awang Faroek Ishak dalam AFI di Mata Para Sahabat (2008, hlm 822), Oemar Dachlan juga berkawan dekat dengan para begawan pers Indonesia seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, hingga Jacob Oetama.
Pejuang dan tokoh pers Kaltim ini wafat pada 6 September 2008 di Samarinda dalam usia 95 tahun. Ia memiliki tujuh anak, 20 cucu, dan 20 cicit. Oemar Dachlan meninggal di sebuah rumah sederhana tanpa perabotan mewah. Kaltim bahkan Indonesia pun kehilangan sosok wartawan paling senior yang pernah ada saat itu.
Sebagai alat kontrol sosial, pers harus menonjolkan fakta yang sebenarnya. Mengenai objektivitas, kiranya tidak perlu diperingatkan lagi –Oemar Dachlan. (*)