kaltimkece.id Rencana mogok kerja pada 19 Juni 1950 itu akhirnya jadi kenyataan. Aksi tersebut diikuti 1.500-an buruh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Sanga-Sanga. Pemogokan para pekerja yang tergabung dalam Serikat Buruh Minyak (Serbumi) ini diduga karena perusahaan tak memenuhi tuntutan mereka. Inilah aksi mogok buruh pertama di Kaltim setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI dalam Konferensi Meja Bundar, November 1949.
Memang, tak satu pun surat kabar mencatat tuntutan para buruh perusahaan minyak Belanda yang kelak dinasionalisasi itu. Namun, berkaca kepada pemogokan-pemogokan selanjutnya, mereka kemungkinan besar menuntut kenaikan atau pembayaran upah dan tunjangan yang tertunda.[1]
Pemogokan tersebut hanya berlangsung sehari. Pada 21 Juni 1950, Serbumi mengikuti pembicaraan dengan perwakilan BPM dan pemerintah Indonesia. Disepakati bahwa para buruh bekerja kembali mulai 22 Juni pada pukul 07.00 pagi.[2]
Mogok kerja anggota Serbumi di Sanga-Sanga ini sebenarnya bertentangan dengan kesepakatan Serikat Buruh Tambang Minyak Indonesia (SBTMI). Serikat yang baru didirikan beberapa hari sebelumnya di Semarang itu merupakan wadah semua serikat buruh minyak di Indonesia. SBTMI dipelopori buruh minyak BPM dari seluruh negeri.[3][4]
Serbumi adalah organisasi yang bersifat independen dan lokal walaupun seringkali mengekor Persatuan Buruh Minyak (Perbum) di bawah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Menurut catatan Laporan Politik Karesidenan Kaltim, Serbumi pada 24 September 1954 menuntut BPM segera mengeluarkan keputusan yang menguntungkan buruh minyak. Mereka menuntut keputusan itu berlaku per 1 Juli 1955.
Desakan itu muncul setelah utusan Komisariat Daerah (KD) Perbum Cabang Balikpapan bertemu SM Abidin selaku Menteri Perburuhan. Mereka berjumpa dalam sebuah audiensi di Hotel Aera atau Hotel Kutai (kini Novotel Balikpapan) pada 15 September 1954. Dalam audiensi itu, utusan Perbum menyampaikan tuntutan kenaikan upah dan tunjangan buruh BPM. Serbumi yang saat itu beranggotakan 700 orang mengajukan tuntutan yang memperkuat desakan Perbum.
Kembali ke mogok kerja Serbumi pada 1950 di Sanga-Sanga, skala aksi itu memang tidak besar. Barulah setahun kemudian, mogok akbar berlangsung di Balikpapan.
Mogok Akbar di Balikpapan
Aksi mogok tersebut bermula ketika BPM memutuskan tidak membayar uang waledan (toelage) dari gaji buruh sejak Mei 1950 hingga Juni 1951. Para buruh kemudian mengadakan demonstrasi menuntut pembayaran uang tersebut pada 11 Juni 1951. Jumlah yang harus dibayar perusahaan adalah Rp150 dan Rp75 untuk bulan Mei dan Juni.[5]
Aksi demonstrasi ini diwarnai penjarahan dan pemecahan kaca bangunan serta pemukulan terhadap seorang pegawai berkebangsaan Belanda. Massa juga memaksa seorang pegawai Belanda meneken surat keterangan bahwa uang waledan akan dibayar pada 16 Juni. Beberapa buruh ditangkap polisi karena dianggap melanggar ketertiban tetapi kemudian dilepaskan kembali.[6][7]
Mogok akbar ini dipelopori buruh dari bagian ekspedisi yang diikuti rekan-rekan mereka dari divisi yang lain termasuk buruh borongan (aannemer). Sebanyak 20 ribu buruh mengikuti aksi tersebut.[8] Pemogokan yang dimulai pada Senin itu menyebabkan perekonomian di Balikpapan mandek. Aktivitas pelayaran, pelabuhan, dan pabrik mati suri. Jalanan kota sepi dan cerobong-cerobong pabrik tak mengeluarkan asap.
Pemogokan kerja ini dianggap mengacak sektor vital yaitu pasokan minyak. Oleh sebab itu, Panglima Tentara dan Teritorium VI (TT VI) Kalimantan, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, mengeluarkan anjuran sekaligus memaksa para buruh kembali bekerja. Tindakan ini diambil sesuai Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No 1/1951 tentang Larangan Mogok.[9] Lagi pula, militer sudah mengendus kemungkinan pemogokan massal di Balikpapan sebagaimana tertulis dalam Surat Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel TB Simatupang, kepada Perdana Menteri Mohammad Natsir pada 31 Januari 1951.
Para buruh menolak permintaan tentara untuk kembali bekerja. Mereka tetap mendesak BPM membayar uang waledan. Petang pada 18 Juni 1951 atau hari ketujuh demonstrasi, polisi menangkap 21 orang yang dianggap "penganjur" pemogokan. Keesokan harinya, buruh BPM diimbau kembali bekerja seperti semula. Pemerintah berjanji masalah pembayaran uang waledan akan ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan demikian, berakhirlah aksi mogok akbar itu.[10][11]
Demonstrasi disertai mogok kerja selama tiga hari ini dimotori Persatuan Buruh Minyak atau Perbum. Adapun para buruh yang ditangkap yakni Haji Achmad, Hassan, dan Anang Sidik mendapat pembelaan dari Perbum. Mereka diseret ke pengadilan oleh BPM pada November 1951 dengan tambahan satu orang, Tjonggeng, atas dakwaan menghina majikan dan merusak jendela kantor saat demonstrasi 11 Juni.[12]
Menurut surat kabar Sin Po, kaum buruh Balikpapan meminta Perbum mengirimkan advokat ke Balikpapan untuk membela keempat buruh tadi. Sin Po juga mendapat kabar mengenai kasus ini dari Pimpinan Pusat Perbum di Jakarta. Adapun salah satu tokoh yang ditahan, Haji Achmad, kelak menjadi sekretaris umum sementara KD Perbum Cabang Balikpapan.[13] Ia juga sempat dicalonkan PKI sebagai anggota DPRD Kaltim dan Kabupaten Kutai dalam pemilihan umum legislatif 17 Februari 1958.[14]
Pada akhirnya, aksi mogok akbar tiga hari itu berhasil memporak-porandakan produksi minyak di Balikpapan. Tentara dan polisi bahkan turun tangan agar aksi pemogokan tidak berlangsung terlampau lama. Aksi ini menjadi bukti bahwa buruh minyak, khususnya mereka yang bernaung di bawah Perbum, berani menuntut hak yang dilanggar BPM.
Aksi ini juga menjadi awal dari serangkaian upaya kaum buruh minyak di Balikpapan khususnya, dan Kaltim umumnya, memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Malahan, pergerakan buruh menjadi bagian yang sangat penting dalam proses nasionalisasi industri minyak. Puncak proses tersebut yakni pengambilalihan kilang minyak Shell di Balikpapan pada September 1963 dan penyerahan semua aset Shell kepada PN Permina pada 22 Juni 1965.[15] (*)
Senarai Kepustakaan
[1] Nieuwe Courant, 26 Juni 1950.
[2] Java-Bode, 20 Juni 1950.
[3] Het Nieuwsblad voor Sumatra, 22 Juni 1950.
[4] Nieuwe Courant, 26 Juni 1950.
[5][6] Surat Gubernur Kalimantan kepada Perdana Menteri pada 19 Juni 1951.
[7][8] Sin Po, 29 Juni 1951.
[9][10] Surat Gubernur Kalimantan kepada Perdana Menteri pada 19 Juni 1951.
[11] Sin Po, 29 Juni 1951.
[12] Sin Po, 20 November 1951.
[13] Surat Dewan Pimpinan Tjabang "Perbum" Balikpapan kepada N.V. De B.P.M. di Balikpapan, 21 September 1953
[14] Harian Rakjat, 7 dan 8 Februari 1958.
[15] Harian Rakjat, 22 Juni 1965.