kaltimkece.id Embusan angin barat yang basah pelan-pelan mengembangkan layar. Setiap bulan September tiba, para pedagang Cina sudah didera kesibukan luar biasa di Kanton, sebuah kota pelabuhan di Cina Selatan. Mereka bersiap-siap berlayar ke timur dan selatan. Selain Selat Malaka, tujuan para pedagang adalah Selat Makassar. Laut dangkal di antara Kalimantan dan Sulawesi ini berjarak 2.600 kilometer dari Pelabuhan Kanton.
Laut China Selatan menjadi jalur andalan para pelaut Tiongkok pada abad keempat. Tarikh ini sezaman dengan pemerintahan Raja Mulawarman yang memimpin Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman. Selain pedagang Cina, jalur Laut China Selatan yang melintasi Ayuttha (Thailand) dan Campa (Kamboja) dipakai para pedagang India (Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, hlm 49).
Untuk mencapai Selat Makassar, kapal-kapal sederhana yang mengandalkan angin barat harus memangsa waktu hampir dua bulan. Sebagai perbandingan, seperti dicatat seorang biksu Cina bernama Fa Hsien, jarak Kanton ke Selat Malaka saja memerlukan waktu 50 hari. Fa Hsien mencatat waktu perjalanan pada tarikh 414 Masehi (hlm 50).
Selat Makassar sesungguhnya sudah amat ramai sejak abad keempat. Kesibukan selat ini tidak kalah dengan Selat Malaka maupun pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa, demikian dicatat Michael Coomans dalam bukunya bertajuk Manusia Daya, Dahulu, Sekarang, Masa Depan (1987, hlm 13).
Meskipun Selat Makassar telah ramai, nyatanya, baru pedagang India yang menelusuri Sungai Mahakam. Sungai ini bermuara di pantai timur Kalimantan. Jika masuk dari muara, sekitar 300 kilometer menelusuri kelok-kelok Mahakam, berdirilah sebuah kerajaan yang masyhur. Kutai Martapura adalah kerajaan yang sedang dipimpin maharaja ternama, Mulawarman. Pada masa sang maharaja, jejak pedagang India sudah terlihat dari peninggalan yupa dan arca Hindu di sekitar lokasi kerajaan, kini Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kerajaan dengan bukti tertulis yang tertua di Nusantara ini berdiri di tepi sungai. Dermaganya di Danau Lipan, tepat di persimpangan Sungai Mahakam dan Sungai Kedang Rantau. Pada masa itu, jalur ini sangat ramai karena menjadi pertemuan akses sungai yang menjangkau banyak daerah pedalaman. Di Danau Lipan yang lega, kapal besar, perahu, hingga sampan, bisa bersandar tanpa mengganggu jalur pelayaran Mahakam (Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, hlm 118).
Jika kedatangan pedagang maupun kaum Brahmana India di Muara Kaman telah terekam sejak abad keempat, tidak halnya pedagang Cina. Nihilnya catatan pada masa itu menjadi kendala. Padahal, pada abad IV dan V, berita Cina yang ditulis para pedagang dan biksu telah mencatat Jawa (Tu-Po, Cho-Po) dan Sumatra.
Kekosongan berita Cina akan Kutai dan Kalimantan pada periode tersebut menimbulkan tanda tanya besar di kalangan sejarawan. Lagi pula, posisi Kalimantan sejatinya lebih dekat dari Kanton dibanding Pulau Jawa. Para ahli menduga, kekosongan berita disebabkan para pedagang, musafir, maupun misi diplomatik Cina belum memasuki Muara Kaman yang jauh di dalam Sungai Mahakam (hlm 124).
Jalinan hubungan antara Kutai Martapura dengan Cina baru terekam secara tekstual pada abad ketujuh --tarikh yang sama pada saat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. Hubungan Kutai dan Tiongkok itu berlangsung pada masa Dinasti Tang. Waktu tempuh Kanton dan Kalimantan juga tidak jauh lagi. Teknologi perkapalan Cina semakin maju. Menurut catatan Chang Chun, perjalanan dari Kanton ke selatan Semenanjung Melayu pada abad ketujuh hanya 20 hari. Dari titik ini, saudagar-saudagar Cina diketahui melayari Sungai Mahakam sejak 14 abad silam.
Sama seperti halnya pedagang India, para pelaut Cina menyusuri Sungai Mahakam via Selat Makassar. Di Kutai Martapura, mereka membeli hasil hutan Kalimantan yang ternama; gaharu. Selebihnya adalah emas dan rotan. Pedagang Cina menukar komoditas hutan itu dengan sutra dan keramik yang amat digemari penguasa lokal.
Keramik Tiongkok
Berbeda dari sisi tekstual, penelitian arkeologi di Muara Kaman belum menemukan kesahihan awal mula kedatangan pedagang Cina. Dalam catatan dua arkeolog dari Malang, Dwi Cahyono dan Gunadi, salah satu bukti hubungan dagang Kutai Martapura dengan Tiongkok adalah peninggalan keramik. Dari sejumlah penggalian di situs Muara Kaman, data keramik tertua berasal dari abad kesembilan, zaman Dinasti Tang.
Sebenarnya, ada petunjuk penting ketika seorang Belanda bernama SW Tromp menggali situs Muara Kaman. Pada 1880, Tromp menemukan potongan keramik Cina di kedalaman 10 meter. Keramik itu diduga jauh lebih tua. Sayangnya, Tromp tak pernah menyebut daerah asal dan tarikh keramik temuannya. Namun, temuan Tromp diperkirakan berasal dari Dinasti Tang, Ming, dan Ching (The Yupa Inscriptions of King Mulavarman from Koetei, 1918, hlm 1).
Hubungan antara Kutai Martapura dan Tiongkok juga terekam dalam legenda lokal maupun Salasilah Kutai. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Aji Bidara Putih. Syahdan, kerajaan di Muara Kaman diperintah seorang ratu yang sangat cantik. Sang Ratu berkuasa kira-kira abad ke-11, atau dua abad sebelum Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri di hilir sungai tepatnya Negeri Jaitan Layar, Kutai Lama, kini Kecamatan Anggana.
Seorang Pangeran Cina hendak mempersuntin sang ratu. Konflik cerita muncul karena perbedaan budaya dan latar belakang. Orang-orang setempat menganggap cara makan orang Cina seperti cara makan binatang. Ratu pun menolak pinangan sehingga membuat pangeran murka. Pasukan Cina segera menaklukkan Muara Kaman. Dalam posisi terjepit, ratu berdoa sembari mengunyah sirih. Kunyahan sirih itu kemudian berubah menjadi lipan raksasa yang menenggelamkan kapal-kapal Cina. Kelak, lokasi tenggelamnya kapal itu dinamakan Danau Lipan.
Di luar legenda itu, keberadaan orang Cina di Muara Kaman juga tidak asing. Bukti yang paling kuat adalah penemuan makam-makam Cina. Di samping itu, semenjak Kutai Martapura berada di bawah Kutai Kartanegara karena kalah perang pun, keramik-keramik dari Cina terus berdatangan.
Hari ini, empat belas abad lamanya aliran Sungai Mahakam menjadi saksi hubungan antara masyarakat lokal dengan pedagang Cina. Para pedagang dari zaman kuno itu berkebudayaan sama dengan saudara-saudara Tionghoa kita sekarang. Mereka yang sejak 2.570 tahun lalu merayakan Tahun Baru Imlek, yang pada 2019, jatuh pada hari ini. Xinnian Kuaile! (*)