kaltimkece.id Langkah Erik Petersen menyusuri hutan Kalimantan yang rimbun. Peneliti berkewarganegaraan Denmark ini memasuki hulu Sungai Barito di selatan Kalimantan. Ditemani warga setempat, Petersen akhirnya bisa melihat proses pembuatan jukung atau perahu. Ia pun mencatat seluruh prosesnya dengan teliti.
Pertama-tama, batang pohon meranti diambil dari hutan belantara. Batang berbentuk tabung itu kemudian dikeruk bagian tengahnya hingga membentuk perahu. Kedua ujungnya dilancipkan. Hasil riset Erik Petersen berjudul Boats from the Barito Basin, Borneo itu dipublikasikan pada 2000.
Erik lantas membawa jukung yang sudah selesai dibuat ke negaranya. Perahu itu dipamerkan di Viking Ship Museum, Roskilde, Denmark. Alat transportasi air itu ternyata amat berbeda dengan perahu tradisional di negara-negara Skandinavia.
Jukung merupakan perahu buatan masyarakat Suku Banjar. Pelayaran perahu ini telah mencapai Sungai Mahakam pada lima abad silam. Rombongan Pangeran Samudra dari Kerajaan Banjar yang menaikinya. Mereka hendak bertemu Raja Kutai Kertanegara untuk mendukung legitimasi takhta Kerajaan Banjar yang dikudeta Pangeran Tumenggung.
Rombongan Pangeran Samudra tiba di Tepian Batu, Kutai Lama, kini di Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara. Di situlah ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara. Rajanya adalah Aji Raja Mahkota. Kerajaan Kutai menyatakan, memberi dukungan terhadap legitimasi Kerajaan Banjar. Hubungan diplomasi kedua kerajaan segera menjadi titik balik penyebaran orang Banjar di Bumi Etam. Termasuk seni pembuatan jukung yang kian populer selain gubang, perahu sampan buatan orang Kutai.
Pada akhirnya, jukung menjadi alat transportasi utama warga. Di Samarinda yang dahulu merupakan wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara, jukung masih digunakan hingga 1990-an. Moda transportasi ini akhirnya tergusur dengan perahu kelotok dan tambangan yang dijadikan angkutan umum. Desain jukung juga berubah mengikuti kemajuan teknologi. Ada jukung yang dilengkapi mesin dinamo hingga mesin kapal sungguhan. Bentuk dan ukurannya sudah bermacam-macam, kecil hingga besar.
Bisa dikatakan, jukung adalah peradaban tua yang masih tersisa di Sungai Mahakam. Muhammad Sarip, sejarawan yang tinggal di Samarinda, menulis kisah tersebut dalam bukunya berjudul Sungai Mahakam dalam Arus Sejarah dan Budaya Samarinda. Buku ini diluncurkan di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Samarinda, Kamis, 22 September 2022.
Menurut Sarip, Samarinda sebagai ibu kota provinsi memiliki identitas kota berkebudayaan sungai. Merujuk peradaban dahulu, bangsa dan kerajaan besar selalu berdampingan dengan sungai. Sudah selayaknya Samarinda bisa memajukan kota dengan identitas tersebut.
“Mesir kuno berdiri di sepanjang lembah Sungai Nil. Begitu juga peradaban India di Sungai Gangga dan Indus. Kerajaan Nusantara juga begitu. Ada Majapahit di Sungai Brantas dan Tarumanegara di Sungai Citarum," jelasnya.
Pemegang Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini mengulas terbentuknya Samarinda. Kota ini bermula dari enam kampung tua pada abad ke-13 di pesisir Sungai Mahakam. Keenam kampung tersebut adalah Pulau Atas, Karangasam, Karamumus, Luah Bakung, Sembuyutan, dan Mangkupelas.
Ciri lain peradaban sungai di Samarinda adalah konstruksi pemukiman penduduk dahulu kala. Rumah panggung dengan tiang penyangga dari bambu setinggi 8-10 kaki adalah buktinya. Atap rumah menggunakan rajutan daun nipah dan jarang berdinding papan. Rumah-rumah rakit juga berdiri di sepanjang Sungai Mahakam.
Mengutip Carl Bock dalam The Head-Hunters of Borneo (1882), rumah-rumah penduduk di Samarinda kebanyakan dilengkapi perahu untuk transportasi. Laporan itu mengindikasikan bahwa penduduk Samarinda pada abad ke-18 sudah menyadari daratan yang lebih rendah dan mudah banjir. Permukiman pun dibangun dengan konsep rumah panggung untuk mengantisipasi genangan.
Bock selaku penulis buku tersebut adalah penjelajah dari Norwegia. Ia datang ke timur Kalimantan atas perintah Gubernur Hindia Belanda. Bock kemudian meneliti kondisi daratan dan penduduk di Bumi Etam.
Kembali ke Sarip yang menulis bahwa identitas Samarinda sebagai kota sungai juga ditunjukkan pada 16 September 1950. Presiden Republik Indonesia, Ir Sukarno, datang ke Samarinda menggunakan pesawat amfibi Catalina. Pesawat itu mendarat di Sungai Mahakam. Kapal terbang tersebut merupakan unit pesawat amfibi bekas yang dipakai Angkatan Udara Hindia Belanda. Ada delapan unit jumlahnya di Kaltim.
Dimensi pesawat itu adalah panjang 19,35 meter, tinggi 6,85 meter, dan lebar sayap 31,69 meter. Selepas mendarat di permukaan sungai, Sang Proklamator berpindah ke kapal kecil untuk merapat di dermaga mini di tepian Mahakam. Pendaratan serupa kembali terjadi pada 19 Juli 1957 dalam kunjungan presiden yang kedua di Samarinda. Sungai Mahakam pun menjadi lokasi bersejarah dan penuh nostalgia.
Bentangan Sungai Mahakam yang mengiris Samarinda turut menjadi saksi terbentuknya ibu kota Kaltim. Sejak masih di bawah Kerajaan Kutai Kertanegara, aktivitas perdagangan di wilayah Samarinda cukup ramai. Kapal-kapal dari berbagai daerah hilir-mudik di perairan Mahakam untuk berdagang. Saat pusat kerajaan dipindah ke Pemarangan-Jembayan pada 1732, Samarinda menjadi kota bandar atau pelabuhan.
Tatkala kolonialis Belanda masuk ke Kerajaan Kutai pada 1844, Samarinda ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Gubernur Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan No 75 pada 16 Agustus 1896 dan menetapkan Samarinda sebagai pusat politik dan ekonomi. Seorang asisten residen ditempatkan untuk mengontrol perdagangan di wilayah tersebut.
Pada era Kemerdekaan, Samarinda menjadi pusat pergerakan dan pendidikan rakyat. Kota ini menjadi ibu kota Kaltim pada 1957 karena mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada 21 Januari 1960, Samarinda menjadi kota praja dan dimekarkan dari Daerah Istimewa Kutai. Samarinda pun menjadi kota madya sampai sekarang.
Disinggung tentang penyusunan buku ketujuh yang sudah ia terbitkan, Sarip mengatakan, terbilang lebih mudah. Ia sudah menyelesaikan tiga buku yang lain yang membahas Kota Samarinda. Arsip-arsip lama bisa dijadikan bahan.
"Ada Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dan Kontroversi Sejarah La Mohang Daeng Mangkona," terang Sarip.
Bukunya kali ini juga mengandalkan bukti-bukti tertulis dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ada pula sumber manuskrip Kerajaan Kutai dan beberapa buku monografi. Ditambah lagi, sumber lisan dari orang-orang tua yang mengalami banyak peristiwa serta pengalaman pribadi.
"Tapi sekitar 90 persen sumber buku ini adalah naskah tertulis,” tuturnya.
Peluncuran buku diprakarsai Pengurus Daerah Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Samarinda. Gerakan ini diketuai Wakil Wali Kota Samarinda, Rusmadi Wongso. Menurut Rusmadi, cerita sejarah dan budaya yang terangkum dalam buku ini sangat menginspirasi. Ia berharap, buku ini dapat meningkatkan rasa peduli menjaga sungai.
"Pada akhirnya, bisa memotivasi orang untuk memelihara sungai agar nanti tidak tinggal cerita saja," ujar Rusmadi.
Wawali menyadari benar potensi Sungai Mahakam. Selain jalur transportasi dan angkutan barang, perairan sepanjang 920 kilometer ini menyimpan potensi wisata. Keberadaan sungai wajib dijaga dan jangan sampai rusak. (*)