kaltimkece.id Sebagaimana Sabtu yang sudah-sudah, Muhammad Iskandar, 34 tahun, tak pernah absen membawa keluarga kecilnya berakhir pekan di Samarinda. Hari prei itu mereka lewatkan dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan di Kota Tepian. Menjelang petang, barulah mereka pulang ke Tenggarong.
Demikianlah Sabtu sore itu. Iskandar dan istrinya, Ema Imelda, 36 tahun, bersiap kembali ke rumah. Berboncengan di atas sepeda motor, putri tunggal mereka yaitu Cinta, 5 tahun, turut serta. Ketiganya lalu menyusuri jalur Samarinda-Tenggarong.
Setengah jam kemudian atau hampir pukul 16.20 Wita, keluarga kecil Iskandar tiba di mulut Jembatan Kartanegara. Lalu lintas rupanya sedikit tersendat. Sudah beberapa hari, pekerjaan perbaikan jembatan membuat satu jalur ditutup sementara.
Di ujung jembatan yang lain, dari arah berlawanan, satu keluarga juga baru tiba. Budi Yulianto, 35 tahun, bersama istrinya yang bernama Rusmini, 34 tahun, sedang dalam perjalanan ke Samarinda. Budi berangkat dari rumahnya di Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Ia mengendarai Daihatsu Xenia hijau muda. Dua anaknya bernama Aldi dan Alisa, masing-masing berusia 12 tahun dan 10 tahun, duduk di kursi belakang. Sementara di kursi depan di samping kemudi, Rusmini menggendong anak bungsunya bernama Alisia yang baru berumur 6 bulan.
Tidak seperti keluarga Iskandar yang baru pulang berlibur, Budi sekeluarga sedang buru-buru ke Samarinda. Bayi mereka sedang sakit dan hendak diperiksa. Budi dan keluarga akhirnya melintasi jembatan tepat pukul 16.20 Wita (Kisah Suami-Istri dengan Tiga Anak, Korban Tewas Tragedi Kartanegara, artikel JPNN, 2011).
Keluarga Iskandar dan keluarga Budi memang tidak saling kenal. Tetapi, tepat pukul 16.20 Wita itu, kedua keluarga muda tersebut berpapasan di atas jembatan. Sepeda motor Iskandar mulai mendekati sisi Tenggarong. Sedangkan mobil Budi di tengah-tengah Sungai Mahakam ketika tiba-tiba terdengar suara letusan. “Cetas, cetas, cetas!”
Runtuhnya Jembatan
Hanya dalam 20 detik, bentang Jembatan Kartanegara yang panjangnya 270 meter itu terempas ke permukaan sungai. Sabtu, 26 November 2011, tepat hari ini delapan tahun silam, Iskandar bersama istri dan putrinya terjatuh ke sungai. Di antara seluruh kekacauan itu, Iskandar masih sigap. Lelaki yang bekerja di sebuah perusahaan surat kabar di Tenggarong itu segera membawa istrinya ke permukaan. Beruntung sebuah perahu kecil sedang di dekat jembatan dan mendekat. Iskandar menaikkan tubuh Ema ke sampan itu.
Tinggallah Cinta, putri tunggal mereka, meronta-ronta di permukaan sungai. Ayah mana yang sampai hati melihat anaknya tengah berjuang di antara hidup dan mati. Iskandar adalah ayah yang sangat mencintai putrinya, makanya ia menamakan anaknya Cinta. Tanpa berpikir panjang, Iskandar menerkam derasnya aliran Sungai Mahakam. Lelaki penyuka warna oranye itu berenang ke arah Cinta (Kisah Korban Ambruknya Jembatan Kutai, artikel Tempo, 2011).
Begitulah terakhir kali Ema melihat suami dan putrinya. Upaya Iskandar menyelamatkan sang buah hati gagal. Jenazahnya ditemukan beberapa saat kemudian. Tubuh Iskandar dikenali dari cincin dan baju oranye yang ia kenakan. Baju dengan warna kesukaannya.
Masih pada detik-detik yang seragam, keluarga Budi di dalam mobil juga terempas ke dalam sungai. Mereka hanya beberapa puluh meter dari keluarga Iskandar. Namun, nasib Budi sekeluarga lebih kelam. Bersama istri dan ketiga anaknya, Budi tidak terselamatkan. Seluruh jenazah keluarga itu, ketika ditemukan, sudah di luar kendaraan. Jenazah Budi adalah yang terakhir didapati. Seluruh anggota keluarga dimakamkan berdekatan di kuburan muslimin di Loa Kulu (Kisah Suami-Istri dengan Tiga Anak, Korban Tewas Tragedi Kartanegara, artikel JPNN, 2011).
Ambruknya Jembatan Kartanegara pada 26 November 2011 merenggut 26 nyawa. Korban terakhir baru ditemukan sebulan selepas kejadian. Tragedi memilukan ini menarik mata dari seluruh negeri, bahkan dunia. Runtuhnya jembatan yang baru berusia 10 tahun itu disebut sebagai salah satu kegagalan struktur terburuk di dunia.
Berbagai pertanyaan terselip di mana-mana. Bagaimana bisa jembatan yang baru berusia 10 tahun ambruk dalam hitungan detik? Perbaikan apa yang berjalan sebelum kejadian di jembatan ikonik yang sebangun dengan Golden Gate di Teluk San Francisco itu? Adakah yang keliru ketika ia dibangun?
Pengusutan Runtuhnya Jembatan
Tim investigasi yang dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum segera bekerja. Dalam laporan awalnya, empat hari lewat dari kejadian, tim mendapati beberapa fakta.
Pertama, enam orang dari PT Bukaka diketahui sedang bekerja untuk persiapan perbaikan jembatan. Karena baru persiapan, kegiatan itu tidak menutup penuh lalu lintas di jembatan.
Saat pekerja sedang mengencangkan baut, tiba-tiba alat sambung kabel penggantung di bentang tengah lepas dari kabel utamanya. Hal itu membuat seluruh penyambung kabel vertikal rontok seketika dalam 30 detik. Laporan ini juga memuat dugaan adanya ketidakberesan pemeliharaan jembatan maupun rancang bangunnya (Laporan Investigasi Runtuhnya Jembatan Mahakam II Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, 2011, hlm 18).
Dua bulan kemudian, pada Januari 2012, laporan investigasi yang lebih mendalam disampaikan Kementerian PU di hadapan DPR RI. Penyelidikan mengungkapkan tiga dugaan penyebab runtuhnya jembatan.
Penyebab Pertama
Pekerjaan persiapan yang sedianya berjalan 21 hari ternyata telah memasuki kegiatan pendongkrakan. Para pekerja yang memakai dongkrak manual berusaha mengangkat bentang jembatan. Pendongkrakan ini ditempuh karena bentang tengah jembatan sepanjang 270 meter itu mengalami penurunan atau disebut deformasi. Jika jalan di jembatan semestinya rata atau cembung ke atas, ia malah melengkung ke bawah.
Pada awalnya, pendongkrakan atau jacking dilakukan di sisi hilir jembatan. Dongkrak berjalan tiga tahap yakni setiap naik 5 sentimeter. Setelah lantai jembatan naik 15 sentimeter, diketahui dari memendeknya kabel penggantung, pekerjaan berlanjut ke sisi hulu atau sisi yang dekat dengan Pulau Kumala.
Pada saat sisi hulu ini didongkrak, sambungan antara batang penggantung (kabel vertikal) dengan kabel utama (dua kabel paling atas jembatan yang membentang horizontal) tiba-tiba putus. Bagian yang putus itu pada sambungan nomor 13 atau tepat di tengah-tengah karena seluruh sambungan jembatan berjumlah 26 (Evaluasi Penyebab Runtuhnya Jembatan Kukar, dokumen bentuk PDF, 2012).
Hal itu memicu beban yang diterima 25 sambungan yang lain melimpah secara tiba-tiba. Yang terjadi selanjutnya adalah satu per satu sambungan putus dengan cepat. Secara total, keruntuhan jembatan hanya berlangsung 20 detik dari putusnya kabel penggantung pertama.
Penyebab Kedua
Penyebab kedua adalah lemahnya pemeliharaan jembatan. Inilah yang memunculkan penyebab pertama. Jika pemeliharaan jembatan berjalan sebagaimana mestinya, penyebab pertama atau pendongkrakan barangkali tidak diperlukan.
Menurut laporan investigasi Kementerian PU, kegagalan sistem sambungan antara batang penggantung dengan kabel utama pada dasarnya terjadi karena akumulasi masalah. Sejak jembatan direncanakan, pemeliharaan disebut tidak terjadwal dengan baik.
Tidak andalnya perawatan jembatan terlihat dari lantai jembatan yang turun sampai 15 sentimeter. Penurunan bentang tengah diduga kuat karena bergesernya angkur jembatan. Adapun angkur, adalah sebuah blok yang terletak di kedua ujung jembatan. Fungsinya seperti jangkar. Blok angkur menjadi tempat bertambat kabel-kabel utama jembatan (lihat gambar). Jika angkur bergeser sedikit saja, kabel utama akan kendur. Posisi struktur secara keseluruhan bisa berubah. Termasuk bentang tengah yang turun tadi.
Penyebab Ketiga
Tidak terjadwalnya pemeliharaan jembatan lahir dari penyebab ketiga yaitu kurangnya pengetahuan pihak terkait. Jembatan Kartanegara yang bertipe jembatan gantung masih langka di Indonesia. Jembatan gantung atau suspension bridge ini berbeda dengan jembatan kabel tarik alias cable-stayed bridge.
Pada jembatan gantung, kekuatan pokok terletak di sistem kabel utama, menara, dan dua blok angkur (Surat Edaran Menteri PU, 2010). Berbeda dengan jembatan kabel tarik, kekuatan utama struktur ini ialah pilar jembatan dan lengkungan baja di atas lantai jembatan. Contoh jembatan kabel tarik di Kaltim adalah Jembatan Mahulu di Samarinda dan pengganti Jembatan Kartanegara sekarang.
Namun demikian, secara estetika memang jembatan gantung lebih indah dipandang mata. Akan tetapi, struktur ini bekerja lebih rumit dan rentan. Makanya, pemeliharaan jembatan gantung biasanya lebih banyak dibanding jembatan kabel tarik.
Faktanya, pengetahuan mengenai pemeliharaan jembatan gantung disebut masih kurang. Dalam kesimpulan investigasinya, Kementerian PU menulis, “terdapat kondisi lack of knowledge (kurangnya pengetahuan) dari para pihak terkait.”
Tanpa pemahaman yang cukup, langkah yang diambil ketika terjadi masalah dianggap kurang tepat. Pihak-pihak terkait disebut tidak meminta masukan dan saran dari praktisi pakar dan ahli ketika blok angkur bergeser dan lantai jembatan turun. Perencana pembangun jembatan memang telah meminta rekomendasi dari para ahli Jepang. Namun, rekomendasi yang diterima diduga menyalahi code of practice saat itu.
Temuan yang Berbeda
Investigasi sebelumnya merujuk kepada pekerjaan pendongkrakan, yang didahului ketidak-andalan pemeliharaan dan kurangnya pengetahuan, sebagai penyebab runtuhnya jembatan. Tidak demikian hasil analisis Sindur P Mangkoesoebroto dari Institut Teknologi Bandung yang dimuat dalam Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil (2012).
Mangkoesoebroto menggunakan analisis tegangan untuk menyimpulkan bahwa penyebab keruntuhan jembatan adalah kegagalan struktur itu sendiri. Struktur Jembatan Kartanegara, terutama blok angkur, mulai bermasalah sejak selesai dibangun. Setiap blok angkur harus memikul gaya horisontal dari kedua kabel utama dengan total beban 3.400-4.400 ton. Sementara itu, blok angkur yang didukung 80 fondasi tiang pancang diperkirakan hanya memiliki kekuatan total 2.000 ton. Ketidakmampuan blok angkur di sisi Tenggarong dalam memikul beban membuatnya bergeser 15 sentimeter. Sampai di sini, kegagalan fondasi telah didapati.
Kekukuhan jembatan makin berkurang dengan adanya komponen yang disebut tower strap. Komponen ini berfungsi menggantung rangka jembatan ke pilon (menara). Dalam hipotesisnya, Mangkoesoebroto menyebut bahwa keberadaan tower strap malah mengunci kemampuan bentang jembatan dalam mendistribusikan beban. Tower strap mengacaukan distribusi gaya-gaya-dalam di komponen-komponen struktur rangka jembatan.
Beban yang tak mampu dipikul angkur blok akhirnya terperangkap di rangka jembatan. Seturut itu, fungsi rangka berubah menjadi batang tekan sehingga tidak mampu memikul gaya tambahan tadi. Yang terjadi berikutnya adalah, tulis Mangkoesoebroto, “hanya persoalan waktu Jembatan Kartanegara akan runtuh dan kegagalan fondasi menjadi salah satu penyebab utama.” (hlm 218)
Mangkoesoebroto hendak membuktikan hipotesis itu. Dia membuat simulasi tegangan jembatan tanpa tower strap. Hasilnya, beban yang diterima rangka jembatan justru lebih kecil. Keadaan ini disebut mengurangi kemungkinan kegagalan struktur.
Fakta di lapangan jelas berbeda dengan simulasi. Rangka jembatan yang memanggul beban berlebih karena terkunci tower strap, ditambah desain klem (penyambung kabel) yang rumit dan selip di sistem sambungan, menghasilkan keruntuhan jembatan. Simpulan penting yang ditarik dalam penelitian Mangkoesoebroto adalah tidak ditemukan hubungan langsung antara keruntuhan jembatan dengan aktivitas pendongkrakan (hlm 220).
Meskipun berbeda dari hasil investigasi, setidaknya penyebab yang diajukan dalam penelitian Mangkoesoebroto memiliki kesamaan. Jika saja beban yang terperangkap itu --sebagaimana sebab-sebab yang terdahulu-- diketahui lebih awal, tragedi 26 November 2011 tidak akan pernah terjadi. (*)
Artikel ini telah terbit pada 26 November 2018 dan diperbarui di beberapa bagian.