kaltimkece.id Perjuangan mendirikan Kalimantan Timur sebagai sebuah provinsi sudah empat tahun bergaung ketika sejumlah partai politik masih sibuk berdebat. Sebenarnya, pada pembuka 1954 itu, hampir semua partai politik dan elite daerah setuju bahwa Kaltim harus berdiri sebagai provinsi. Akan tetapi, kesepakatan itu belumlah bulat. Masih ada perselisihan mengenai letak ibu kota.
Selisih pandangan di antara partai politik itu dimuat Surat Kabar Sin Po pada 17 Maret 1954 yang mengutip siaran Kantor Berita Antara. Menurut berita tersebut, pemerintah pusat yang condong memilih Samarinda belum juga menegaskan sikap. Perdebatan lokasi ibu kota di Kaltim pun terpantik; Samarinda atau Balikpapan?
Puncaknya pada saat perwakilan partai-partai politik Kaltim berangkat ke Jakarta pada Maret 1954 untuk membahas pembentukan provinsi. Keberangkatan tersebut memicu partai-partai politik yang berkedudukan di Balikpapan mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka menolak perwakilan tersebut karena dianggap hanya dari partai-partai politik yang berpusat di Samarinda.
Samarinda dan Balikpapan adalah dua kota terbesar di Kaltim. Akan tetapi, perkembangan kedua bandar itu amat berbeda. Samarinda lebih dahulu berkembang dengan pesat pada masa lampau. Selain kota dagang, Samarinda merupakan tempat kedudukan asisten residen Belanda sejak 1870 setelah sebelumnya bertempat di Palaran. Selanjutnya pada 1896, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah di bawah otoritas pemerintah Hindia Belanda (Sejarah Daerah Kalimantan Timur, 1992, hlm 67).
Posisi sebagai pusat administratif tersebut menyebabkan pembangunan di Samarinda cukup pesat. Contohnya adalah HIS (Hollandsch-Inlandsche School) sudah berdiri di kota ini sejak 1923 (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 1991, hlm 33).
Letak Samarinda yang dekat dengan Tenggarong sebagai pusat kerajaan juga berpengaruh terhadap pembentukan elite terdidik. Para pemuda dari golongan atas bersekolah di Samarinda sementara sebagian kecil lainnya dapat bersekolah di HIS Tenggarong yang sudah berdiri sejak 1913. Mayoritas mereka bisa menempuh studi di sekolah-sekolah dasar lain seperti sekolah guru (kweekschool) dan sekolah lanjutan (vervolg school). Mereka inilah yang kelak menjadi pegawai negeri kesultanan maupun pemerintah kolonial (hlm 34).
Balikpapan sementara itu jauh tertinggal. Meski di bawah kekuasaan langsung sultan, pihak kesultanan disebut hampir tidak pernah berupaya membangun kota tersebut. Sewaktu Samarinda dan Balikpapan sudah mempunyai sekolah-sekolah dasar, Balikpapan baru menyusul dengan sebuah sekolah dasar kejuruan pada 1928. Kemajuan industri minyak yang dimonopoli perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), juga tak berpengaruh besar bagi pembangunan kota (hlm 31).
Kebebasan berpolitik antara Samarinda dan Balikpapan sangat kontras. Samarinda yang langsung di bawah pemerintah kolonial memiliki ruang berpolitik yang lebih besar dibandingkan Balikpapan di bawah kekuasaan Kutai dan BPM. Hal ini melahirkan corak berbeda dalam pergerakan nasional di kedua kota. Kaum nasionalis di Samarinda cenderung moderat (walau tetap menentang kekuasaan feodal dan Belanda). Adapun kaum nasionalis di Balikpapan, jauh lebih radikal dan sangat kontra (hlm 32).
Balikpapan disebut baru bisa mengimbangi Samarinda pada 1950 saat kota itu menjadi markas Resimen Infanteri 22, kesatuan tentara di bawah Tentara dan Teritorium VI Kalimantan yang membawahi wilayah Kaltim. Kedudukan Balikpapan sebagai pusat militer di Kaltim sangat menguntungkan. Mayoritas pejuang di Kaltim memiliki hubungan yang dekat dengan para perwira di Balikpapan. Para veteran yang menetap di Samarinda juga memiliki ikatan yang kuat dengan para veteran di Balikpapan dan secara politik bersekutu dengan mereka (hlm 44-45).
Dengan demikian, Balikpapan bisa setara dengan Samarinda yang sudah sejak lama diuntungkan sebagai pusat administrasi bahkan sebagai ibu kota Daerah Istimewa Kutai pada 1950-1956. Walaupun demikian, pemerintah pusat melalui Undang-Undang 25/1956 menetapkan Kalimantan Timur sebagai provinsi dengan Samarinda sebagai ibu kotanya.
Perihal lain yang memicu silang pendapat adalah calon gubernur Kaltim. Beberapa nama diusulkan partai-partai politik. Pada Maret 1954, Masyumi Kaltim mencalonkan Adji Raden Afloes sedangkan PIR Kaltim mencalonkan Adji Raden Djokoprawiro sebagai jagoan mereka (Sin Po, 17 Maret 1954).
Dua tahun kemudian, Masyumi masih teguh mencalonkan Aflus sebagai gubernur. NU, yang saat itu berstatus sebagai partai politik, mencalonkan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. PNI sebagai partai pelopor aspirasi pembentukan provinsi Kaltim justru belum dapat mengajukan seorang calon (Suara Merdeka, 6 November 1956).
Pemerintah pusat akhirnya mengangkat Pranoto sebagai pejabat gubernur pertama Kaltim sejak 1 Januari 1957. Meski begitu, upacara serah terima jabatan dari Gubernur Kalimantan, Milono, ke Gubernur Pranoto baru dilaksanakan pada 9 Januari 1957 (Sejarah Daerah Kalimantan Timur, 1992, hlm 143).
Tuntutan karena Ketimpangan
"Pertimbangan dari pembentukan tiga propinsi, yang kemudian menyusul Propinsi Kalimantan Tengah yang merupakan pecahan dari Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1958, adalah semata-mata demi efisiensi serta efektivitas program pembangunan yang dilaksanakan di Pulau Kalimantan, yang ditinjau dari berbagai segi, misalnya segi sejarah, administrasi, ekonomi, perhubungan, geografi, pembangunan, pendidikan, keuangan, kepegawaian, serta pemerintahan," demikian tertulis dalam buku Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur (1992, hlm 133).
Narasi umum memang kerap menggambarkan pemekaran dan pembentukan Kalimantan Timur sebagai "hadiah" dari pusat. Nampak sekali perspektif dari atas ke bawah dalam narasi tersebut. Pembentukan Kaltim semata-mata karena pemerintah memutuskan meningkatkan efisiensi dan efektivitas program pembangunan di Pulau Kalimantan.
Keputusan pusat itu diambil setelah meninjau berbagai segi tanpa memaparkan lebih lanjut segi-segi tersebut selain menggelontorkan kata-kata. Kaltim seolah berdiri hanya karena kehendak elite politik di Jakarta. Jika memang begitu, lantas mengapa harus menunggu tujuh tahun (dari 1950) sebelum Provinsi Kalimantan dimekarkan? Kenapa tidak sedari awal?
Kaltim lahir pada 1 Januari 1957 bersama Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan melalui UU 25/1956. Pulau Kalimantan yang sebelumnya di bawah satu provinsi dengan Banjarmasin sebagai ibu kota, sebagaimana disahkan Peraturan Pemerintah 21/1950, terbagi menjadi tiga provinsi (saat ini lima).
Kelahiran provinsi-provinsi tersebut adalah buah kebijakan dari Jakarta tetapi hanya sampai batas tertentu. Aspek pokok yang dilupakan--dan ini sangat disayangkan--oleh tim penulis Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur adalah peran rakyat dan elite politik daerah menuntut pembentukan Kaltim sebagai provinsi. Berkat perjuangan mereka, elite pemerintah pusat akhirnya menjadikan Kaltim sebagai sebuah provinsi (sebelumnya karesidenan di bawah Provinsi Kalimantan).
Kenyataan bahwa Provinsi Kalimantan berpusat di Banjarmasin menyebabkan pembangunan dan penempatan aparat terpusat di kawasan Kalimantan Selatan. Wilayah-wilayah lain, termasuk Kaltim, hanya mendapat remah-remah dan jauh tertinggal dibandingkan Kalsel. Anggaran pembangunan infrastruktur seperti gedung perkantoran dan perumahan pegawai diprioritaskan di Banjarmasin dan Kalsel (Ikut Mengukir Sejarah, 1994, hlm 142). Ketimpangan pembangunan ini menjadi alasan utama rakyat Kaltim menuntut wilayah mereka menjadi provinsi yang terpisah dari Banjarmasin.
Alasan lain diserukannya pemekaran Kaltim dari Provinsi Kalimantan adalah pendapatan dari hasil minyak bumi. Pada masa kolonial, tiap-tiap kesultanan (Kutai dan Bulungan) mendapat bagi hasil (royalti) langsung dari BPM. Sejak 1950, bagi hasil BPM diserahkan kepada pemerintah pusat. Royalti tersebut, oleh pusat, dijadikan subsidi yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi Kalimantan. Banjarmasin lalu membagi-baginya kepada tiga karesidenan di bawahnya yakni Kalimantan Barat, Selatan, dan Timur. Praktis, Kaltim hanya memperoleh "sisa" karena sebagian besar dialirkan ke Banjarmasin (The Decline of a Commercial Aristocracy, 1991, hlm 45).
Lahir dari Perjuangan Rakyat
Menurut Sejarah Daerah Kalimantan Timur, tuntutan pembentukan Kaltim sebagai provinsi terpisah mulai bergaung pada 1952 (1978, hlm 79). Kesimpulan ini bisa jadi kurang akurat. Suara-suara yang menuntut Kaltim menjadi provinsi sudah ada sejak 1950 atau sejak tahun pertama wilayah itu bergabung dengan Republik Indonesia. Keterangan dari Malang Post edisi 4 Juli 1950 menyebutkan hal ini.
Surat kabar tersebut memuat berbagai berita singkat seputar Kaltim dengan judul Aneka Warna Kalimantan Timur. Satu di antaranya tentang aspirasi pembentukan Kaltim menjadi provinsi otonom. Pihak yang paling getol sekaligus menjadi pelopor adalah PNI Daerah Kaltim. Hal ini disinggung dalam laporan umum ketua KDP (Komisariat Dewan Partai) Murba Kaltim, Husein Jusuf, yang disampaikan dalam Konferensi I KDP Murba Kaltim di Balikpapan pada 14-17 Maret 1963 (Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963, hlm 12).
Laporan umum tersebut menjadi bagian dari laporan hasil konferensi yang diterbitkan dengan judul Siaran: Hasil2 Keputusan Konperensi Ke-1 Partai Murba Daerah Kalimantan Timur dari tanggal 14 s/d 17 Maret di Balikpapan. Laporan tersebut kini bagian dari koleksi Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis (IISG) di Amsterdam dan dapat diakses secara daring di situs web mereka.
PNI di Kaltim berdiri sebagai hasil fusi Ikatan Nasional Indonesia (INI) ke PNI yang disahkan dengan konferensi terakhirnya di Tenggarong pada Februari 1950 (Ikut Mengukir Sejarah, 1994, hlm 112). Perlu diingat bahwa INI menjadi partai politik tunggal yang berdiri di Kaltim semasa Revolusi Nasional dan dengan begitu memiliki pengaruh kuat di kalangan rakyat berkat konsistensinya mendukung kemerdekaan Indonesia. Ketua PNI Kaltim waktu itu (1950) adalah Abdoel Moeis Hassan (kelak Gubernur Kaltim yang kedua). PNI Kaltim sudah mempunyai 11 cabang seperti tertera dalam Resolusi Konferensi II PNI Daerah Kalimantan Timur pada 18-19 September 1950 yang disimpan di ANRI.
Adapun partai-partai politik lain di Kaltim seperti PSI, Masyumi, PKI, PSII, PIR, Parkindo, Partai Katolik, dan yang lainnya ikut mendukung aspirasi pembentukan Provinsi Kalimantan Timur. Mereka membentuk Badan Kerdja Sama Partai-Partai dengan Moeis Hassan sebagai ketuanya (Ikut Mengukir Sejarah, 1994, hlm 142).
Pada 1954, atas dukungan Residen Kaltim Achmad Arief gelar Datuk Madjo Urang, badan tersebut menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Timur di Balai Seni Budaya dengan pemberian status provinsi bagi Kalimantan Timur sebagai tuntutan utama. Tuntutan tersebut dilayangkan kepada Presiden RI, Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Kalimantan (hlm. 142).
Walau begitu, tidak semua partai politik secara tegas mendukung Kaltim menjadi provinsi. Partai Murba misalnya, mengambil sikap wait and see. Menurut laporan Husein Jusuf, Murba memandang bahwa lebih penting memperjuangkan penambahan wilayah otonom (Murba mendukung pemisahan Balikpapan dan Samarinda dari Daerah Istimewa Kutai menjadi kotapraja), penghapusan daerah-daerah swapraja, dan perluasan hak-hak otonomi di Kaltim. Meski demikian, Murba tidak menentang aspirasi Kaltim menjadi provinsi (Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963, hlm 12).
Andil Kaum Perempuan
Tak hanya kaum laki-laki yang bersuara, para perempuan aktif menggolkan pembentukan Kaltim sebagai provinsi mandiri. Pada 22 Desember 1953, bertepatan hari peringatan seperempat abad pergerakan perempuan (kini dikenal dengan nama Hari Ibu), ratusan perempuan dari berbagai organisasi pergerakan perempuan mengadakan demonstrasi di depan Kantor Residen Kaltim (kini Kantor Gubernur Kaltim).
Demonstrasi ini diorganisasi oleh Panitia Seperempat Abad Pergerakan Wanita Indonesia setempat yang diketuai Adji Sjaripah Ainah. Adapun Adji Gainah Hapan bertindak selaku ketua panitia. Organisasi-organisasi wanita yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa adalah PIR Wanita (sayap wanita PIR), Muslimat (sayap wanita Masyumi), Perwari, Kaum Ibu Masehi (organisasi wanita Kristen), Al-Ummahat, dan SPARTA.
Pada bagian awal petisi disampaikan bahwa tuntutan tidak dapat disuarakan melalui dewan perwakilan rakyat karena waktu itu, baik DPRD maupun DPD, belum dibentuk di Daerah Istimewa Kutai. Para pengunjuk rasa mengajukan empat tuntutan yang termaktub dalam petisi sebagaimana terlampir dalam Surat Wakil Perdana Menteri I kepada Menteri PP&K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) pada 19 Januari 1954.
Keempat tuntutan itu adalah pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi (Kalbar, Kalsel, dan Kaltim), permohonan agar Beasiswa Kutai periode 1953/1954 tidak dibekukan, meminta perhatian pemerintah atas kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari, dan memohon bantuan pemerintah untuk memacu kemajuan kaum perempuan Kaltim di bidang olahraga. Ada juga tuntutan kelima yang anehnya tidak disampaikan dalam petisi namun diketahui dari pemberitaan Sin Po edisi 25 Desember 1953. Tuntutan itu lazim disuarakan dalam demonstrasi-demonstrasi wanita di daerah lain pada waktu itu yakni agar UU Perkawinan segera dirancang dan PP 19/1952 dibekukan.
Lewat perjuangan berbagai komponen masyarakat tersebut, Provinsi Kaltim akhirnya terbentuk pada 1 Januari 1957. Kelahiran provinsi ini adalah buah perjuangan rakyat (dan elite daerah) Kaltim. Mereka secara konsisten membawa aspirasi tersebut sejak 1950. Suara dan perjuangan rakyatlah yang akhirnya "membujuk" Jakarta memekarkan Kaltim menjadi sebuah provinsi yang mandiri.
Kini, Kaltim telah memasuki usianya yang ke-68. Kisah perjuangan dan segala intrik yang menyertai pembentukannya sudah semestinya menjadi bahan refleksi dan inspirasi bagi warga Kaltim untuk terus mengupayakan pembangunan dan kemajuan provinsi. Sebuah daerah yang merupakan warisan dari perjuangan kakek, nenek, dan datuk kita. (*)
Senarai Kepustakaan
ANRI. Arsip Tekstual Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 Jilid I, No. 931. Resolusi dari Konferensi Front Nasional ke IV di Medan dan Resolusi Front Nasional Daerah Kalimantan Timur di Samarinda. 19-27 September 1950.
ANRI. Arsip Tekstual Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 Jilid II, No. 1054. Surat kepada Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan tentang Petisi Demonstrasi Wanita Indonesia di Samarinda. 22 Desember 1953-19 Januari 1954.
Aneka Warna Kalimantan Timur, Malang Post, 4 Juli 1950.
Demonstrasi Wanita di Kalimantan Timur, Sin Po, 25 Desember 1953.
Dimana Ibu-Kota Propinsi Kal. Timur?, Sin Po, 17 Maret 1954.
Tjalon2 Gubernur di Kalimantan, Suara Merdeka, 6 November 1956.
Hassan, Abdoel Moeis. 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
IISG. Partai Murba Archives, No. 37. 1963. Siaran: Hasil2 Keputusan Konperensi Ke-1 Partai Murba Daerah Kalimantan Timur dari tanggal 14 s/d 17 Maret di Balikpapan. Balikpapan: Komisariat Dewan Partai Murba Daerah Kalimantan Timur.
Magenda, Burhan Djabir. 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University.
Tim Penulis. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Tim Penulis. 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.