kaltimkece.id Sejarah sebagai sebuah rekonstruksi masa lalu adalah disiplin ilmu yang dinamis. Ia dapat berkembang seiring penemuan benda arkeologi, sumber literasi kuno, maupun telaah lewat pendekatan yang berbeda. Atas dasar tersebut, sejarawan publik asal Samarinda, Muhammad Sarip, mengusulkan perlunya sejarah Samarinda ditulis ulang.
Senin, 20 Februari 2023, Sarip mengungkapkan wacana tersebut dalam talk show bertajuk Sejarah Lokal Samarinda di Mata Publik. Berlangsung di Perpustakaan Kota Samarinda, acara itu dipandu penulis bernama Rusdianto. Tampil pula sebagai narasumber yakni jurnalis TVRI Kaltim Nur Suci Sirana. Pesertanya ialah puluhan mahasiswa Politani Samarinda yang tergabung dalam tiga organisasi mahasiswa: FKMPI Kalimantan, Hima Teknologi Perkebunan, dan GenBI Kaltim.
Sarip mengemukakan bahwa ia telah meneliti naskah Kroniek der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo. Naskah karya J Eisenberger itu merupakan satu dari antara sumber primer yang menjadi rujukan sejarah Kalimantan Timur.
Hasil telaah Sarip, ada ketidaksinkronan antara Kroniek der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo dengan buku yang diterbitkan Pemkot Samarinda pada 2004. “Dalam Kroniek der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo, nama Daeng Mangkona tidak disebutkan sama sekali,” jelas Sarip.
Sementara itu, menurut buku Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda terbitan pemkot, La Mohang Daeng Mangkona disebut pendiri Kota Samarinda. Sarip mengaku, sudah berusaha mencari sumber primer yang lain sehubungan nama Daeng Mangkona. Ia belum menemukannya sampai sekarang.
Yang menjadi persoalan kemudian, kedatangan Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai pada 21 Januari 1668 dianggap sebagai hari jadi kota. Padahal, baik figur maupun ketepatan tanggal tersebut masih disangsikan. Uniknya lagi, tanggal 21 Januari tersebut sama persis dengan HUT Pemkot Samarinda. Sebuah kebetulan yang dianggap Sarip sebagai kejadian langka sehingga perlu ditelusuri keakurasiannya.
“Dalam naskah kuno yang lain yakni Salasilah Kutai, Samarinda sebelum 1668 adalah wilayah yang sudah berpenghuni. Ada enam wilayah yaitu Pulau Atas, Karangasan (Karang Asam), Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan), dan Mangkupelas (Mangkupalas),” urai peraih sertifikat kompetensi di bidang sejarah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Manuskrip Arab Melayu Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara bisa dianggap sebagai sumber primer sejarah. Naskahnya ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang juru tulis Kesultanan Kutai Kertanegara. Menurut Salasilah Kutai, Samarinda yang kala itu masih berupa perkampungan tradisional telah didiami sejak abad ke-13. Hal itu diperkuat oleh Constantinus Alting Mees, sejarawan Belanda yang meneliti Salasilah Kutai dalam bukunya yang berjudul De Kroniek van Koetai.
Sarip menilai bahwa kepingan sejarah Samarinda harus ditulis dengan valid. Ia mengutip pendapat Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995). Bahwasanya, satu di antara syarat penting dalam pemilihan topik untuk penulisan sejarah adalah kedekatan emosional.
Seorang peserta gelar wicara lantas mengajukan pertanyaan. Ia mempertanyakan sumber sejarah lisan. Kisah Daeng Mangkona, bagaimanapun, telah diceritakan turun-temurun.
Sarip memaparkan beberapa pendapat mengenai sumber sejarah lisan. Ada yang menganggap sumber tersebut bisa dijadikan rujukan sejarah, ada pula yang menolak. Mereka yang menilai sumber lisan tidak valid berpandangan, sejarah sebelum ditemukan tulisan adalah zaman pra-sejarah.
“Saya memilih kompromi,” terang Sarip. Ia tidak menafikan sumber lisan sebagai rujukan sejarah. Akan tetapi, sumber lisan itu pun perlu diverifikasi secara mendalam.
Dalam sumber lisan turun-temurun, sambungnya, seringkali ditemukan kontradiksi. Begitu pula sejarah Daeng Mangkona. Ia menyoroti La Maddukelleng, pemimpin Wajo yang kerap disebut memberi perintah kepada Daeng Mangkona untuk berangkat ke Kerajaan Kutai. Padahal, menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs, La Maddukelleng lahir pada 1700. Adapun Daeng Mangkona, disebut mendarat di Samarinda pada 1668.
Sarip menambahkan, hal yang sama berlaku untuk mitos. Penulisan mitos kerap diiringi bahasa hiperbolis. Maka dari itu, perlu penafsiran ulang atas mitos-mitos tersebut. Dalam metodologi sejarah, proses itu disebut sebagai proses interpretasi.
“Kemunculan permaisuri Kutai dari sungai, misalnya, dalam kisah Putri Junjung Buih,” jelas Sarip. Mitos tersebut bercerita mengenai kemunculan Putri Karang Melenu dari sungai. Kisah itu bisa dimaknai bahwa Putri Karang Melenu merupakan keturunan penduduk setempat. Begitu pula penggambaran suaminya, Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang disebut turun dari langit. Kiasan itu punya makna yang lain.
Sarip menegaskan, pendapat sejarah darinya tidak memiliki kecenderungan terhadap etnis manapun. Samarinda adalah kota heterogen. Bandar ini berdiri secara kolektif atas peran banyak suku, etnis, maupun pemeluk agama. Oleh karena itu, sudah waktunya bagi Samarinda menulis kembali sejarah yang valid lewat metode yang diakui dalam ilmu sejarah. (*)