Ditulis Oleh: M JARIS ALMAZANI*
SAAT berbicara tentang sejarah perjuangan kemerdekaan di Kalimantan Timur, nama-nama kota seperti Samarinda dan Balikpapan selalu disebut-sebut. Kota-kota tersebut mendapat porsi terbesar di antara kota-kota lain di dalam narasi. Wajar, keduanya memang menjadi pusat perjuangan di Benua Etam pada masa lalu. Kota-kota lain seperti Tarakan dan Tanjung Selor (keduanya kini wilayah Kalimantan Utara) mendapat porsi yang lebih sedikit. Tetapi, ada satu kota yang sama sekali tidak mendapatkan porsi dalam narasi: Bontang.
Bukan tanpa alasan kota yang dikenal karena industri gas bumi ini selalu tidak hadir. Minimnya sumber sejarah mengenai kota ini, khususnya yang berbentuk dokumen, membuat penelitian sejarah menjadi sulit. Buku-buku sejarah yang membahas tentang Bontang pun bisa dihitung jari seperti buku Kota Bontang: Sejarah Sosial Ekonomi karya Nina H Lubis atau Sejarah Perkembangan Pelabuhan Tanjung Laut di Bontang Provinsi Kalimantan Timur karya Juniar Purba dan Sri Murlianti. Semuanya tidak ada yang menyinggung Bontang semasa Perang Kemerdekaan.
Namun demikian, bukan berarti Bontang sama sekali tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih sangat minim, terdapat bukti-bukti yang menyimpulkan bahwa Bontang memainkan peran dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, terutama pada masa revolusi.
Dermaga Persembunyian Senjata "Gelap" dari Filipina
Peran utama Bontang dalam perjuangan bersenjata adalah sebagai tempat penyembunyian senjata ilegal yang kemungkinan diperoleh dari para penyelundup Filipina. Laporan Overzicht en ontwikkeling van de toestand (selanjutnya disebut laporan OOT) tanggal 21 Agustus-4 September 1947 yang dibuat Komando Teritorium dan Tentara Borneo Selatan dan Timur (Territoriaal Troepencommando Zuid Oost-Borneo) menyebut tentang kecurigaan Belanda mengenai keberadaan senjata ilegal di Bontang. Laporan itu menyebut bahwa jika ditemukan bukti lebih lanjut, mereka akan mengirimkan polisi militer (Militaire Politie) dan polisi sipil (Algemene Politie) untuk menyita senjata-senjata tersebut.
Kemungkinan bahwa senjata-senjata tersebut diperoleh dari para penyelundup Filipina menjadi makin besar jika membaca laporan OOT tanggal 16-30 Oktober 1947. Selama kurang lebih dua pekan, patroli polisi Belanda (militer dan sipil) di sepanjang utara delta Sungai Mahakam berhasil menahan beberapa perahu Filipina dan menyita 1.487 kardus berisi rokok, tiap-tiap kardus berisi 200 buah, dan sejumlah kopra. Perahu-perahu tersebut kemudian ditahan di Samarinda.
Sebagian dari nama-nama perahu tersebut mencerminkan asal mereka seperti Philippine Republic, Sitangkai, Miss Ligayen, dan Camal. Ketiga nama terakhir diambil dari nama-nama daerah di Filipina (Sitangkai, Lingayen, dan Camaal). Laporan itu juga menyebut Biduk-Biduk (di Kabupaten Berau) sebagai pangkalan para penyelundup. Artinya, para penyelundup memiliki akses yang mudah membawa barang-barang mereka ke berbagai pelabuhan di Kalimantan Timur, termasuk Bontang.
Tak hanya letak pangkalan yang membantu mereka. Laporan OOT tanggal 30 Oktober-13 November 1947 menyebut sebuah armada penyelundup sebanyak 36 perahu. Tiga di antaranya membawa senjata dan amunisi yang baru saja berangkat dari Filipina. Berdasarkan keterangan dari para penyelundup yang ditahan, mereka mempunyai koneksi dengan orang-orang Tionghoa yang tinggal di sepanjang pesisir Kalimantan Timur.
Salah seorang dari mereka diyakini mempunyai sebuah perahu motor yang sangat membantu para penyelundup. Orang-orang Tionghoa seringkali membantu para penyelundup membawa barangnya pada malam hari. Berkaitan dengan hal ini, seorang Tionghoa dari Bontang dilaporkan kepada polisi Belanda. Ia diketahui mempunyai hubungan dengan Said, seorang pemilik restoran bernama Liberty di Samarinda.
Keterlibatan pemilik restoran maupun penggunaannya sebagai tempat transaksi pembelian senjata dengan para penyelundup bukanlah hal yang asing. M Djunaid Sanusie dalam bukunya Secercah Perjuangan BPRI Bn VIII Brig "S" Div VI (Narotama) di Samarinda mengisahkan tentang sebuah pertemuan antara perwakilan BPRI di Samarinda dengan para penyelundup di Hotel Nam Yang. Pertemuan diadakan di hotel untuk menghindari kecurigaan Belanda. Selain itu, mereka seringkali berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel yang lain atau juga di restoran, salah satunya adalah Lukman Cafe milik Sjarifah Fatimah Baraqbah yang juga seorang anggota BPRI (Sanusie, 1986, hlm. 55 & 58).
Bontang Dalam Perjuangan Politik
Bontang tidak hanya menunjang perjuangan bersenjata. Ia juga aktif dalam perjuangan politik. Majalah Soeara FONI edisi 10 Mei 1947 mencatat sumbangan dana dari berbagai pihak. Salah satu nama yang tercantum sebagai donatur adalah "INI Bontang" dengan uang sebesar 28,8 gulden. INI Tarakan menjadi donatur terbesar dengan sumbangan uang sebesar 450 gulden, disusul INI Tanjung Redeb yang berdonasi sebanyak tiga kali. Jika dijumlah, mereka menyumbangkan uang sebesar 76,75 gulden.
Informasi ini, sekalipun kecil, memberikan bukti bahwa di Bontang terdapat cabang dari Ikatan Nasional Indonesia (INI). Perlu diketahui bahwa INI menjadi organisasi politik yang paling dominan semasa revolusi di Kalimantan Timur. Sayang sekali, belum dapat diketahui nama-nama pengurus atau perkembangan cabang tersebut. Meski demikian, dari jumlah uang yang disumbangkan, dapat diketahui bahwa INI di Bontang bukanlah cabang yang besar dan tidak memiliki keuangan yang sebaik cabang-cabang lain seperti Tarakan dan Tanjung Redeb.
Selain itu, Bontang terlibat dalam politik federal melalui Dewan Kutai. Dalam rapat pemilihan anggota Dewan Kutai pada 2 Mei 1947, terdapat 80 pemilih yang ikut serta. Berdasarkan keterangan harian Nieuwe Courant pada 6 Mei 1947, para pemilih berasal dari berbagai distrik seperti Samarinda, Samarinda Seberang, Sanga-Sanga Dalam, Sangkulirang, dan Bontang. Dalam pemilihan tersebut, terpilih lima calon dari total 11 calon yakni Mohamad Djamdjam (kelak menjadi Bupati Paser), Abdullah (jaksa Kerapatan Besar Samarinda), Mohamad Sidik (ketua persekutuan dagang Perorim), Ali Bone (juru tulis BPM), dan Mohamad Hasan (mantan jaksa Kerapatan Besar).
Pada pemilihan tahun berikutnya, Bontang juga terlibat namun tidak hanya sebagai pemilih. Menurut laporan OOT pada 29 April-13 Mei 1948, pemilihan anggota Dewan Kutai berlangsung pada 24 April 1948 di gedung Dewan Kutai (berada di Hotel Mahakam, kini menjadi Bank BRI) di Samarinda. Dalam pemilihan kali ini, Bontang mengajukan seorang bakal calon namun sayang tidak diketahui siapa bakal calon tersebut.
Sebanyak 29 bakal calon yang mengikuti seleksi kandidat dengan perincian sebagai berikut: Samarinda (14 bakal calon, satu tidak sah), Samarinda Seberang (7 bakal calon, dua tidak sah), Sanga-Sanga (delapan bakal calon), Bontang (satu bakal calon), dan Sangkulirang (dua bakal calon). Dari ke-29 bakal calon tadi, empat orang gugur sehingga tersisa 25 orang sebagai kandidat yang dapat mengikuti pemilihan.
Dari total 25 calon, hanya terpilih empat orang dengan suara terbesar. Mereka adalah Abdoel Moeis Hassan (79 persen; kelak menjadi Gubernur Kalimantan Timur yang kedua), Abdussjukur (75 persen), Hadji Arifrachim (57 persen), dan Dasuki (53 persen). Yang menarik perhatian ialah bahwa semua calon yang terpilih adalah anggota INI. Hal ini mencerminkan taktik INI menggunakan Dewan Kutai sebagai sarana perjuangan meraih kemerdekaan, alih-alih tunduk patuh kepada pemerintah kolonial.
Tidak diketahui bagaimana nasib bakal calon dari Bontang. Apakah ia lolos menjadi kandidat atau tidak? Tidak diketahui pula apakah ia berasal dari INI atau bukan. Akan tetapi, keberadaan bakal calon dari Bontang membuktikan bahwa kota tersebut tidak pasif dalam menanggapi dinamika perpolitikan di wilayah Kutai saat itu. Begitu pula dengan keberadaan INI di Bontang. Sekalipun belum bisa diketahui keaktifan cabang tersebut, kehadirannya membuktikan bahwa di Bontang, yang saat itu masih berupa kampung yang kecil, sentimen pro-kemerdekaan juga membara di sana.
Tulisan ini, sekalipun masih sangat minim, diharapkan mampu menjadi titik awal bagi siapapun (terutama Pemerintah Kota Bontang) yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai peran Bontang pada masa revolusi. Sebab, seperti yang telah dipaparkan, Bontang memang terlibat di dalamnya, terlepas dari besar atau kecilnya pengaruh yang dihasilkan. (*)
*) Penulis adalah mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penulis lahir dan besar di Samarinda dan menaruh minat besar terhadap sejarah Kalimantan Timur.
Senarai Kepustakaan
"Verkiezing leden Dewan Koetai," Nieuwe Courant, 6 Mei 1947.
NIMH. 509-Dekolonisatie van Nederlands-Indie (1945-1950), No. 737, Verslagen getiteld 'Overzicht en ontwikkeling van de toestand (OOT)' afkomstig van het Territoriaal tevens Troepencommando Zuidoost-Borneo onder leiding van majoor der Infanterie H.A. van Renesse betreffende de politieke en militaire situatie.
Sanusi, M. Djunaid. 1985. Secercah Perjuangan BPRI Bn. VIII Brig. "S" Div. VI (Narotama) di Samarinda. Samarinda: Unit Percetakan Pemda Kaltim.
Soeara Foni, 10 Mei 1947.