• Berita Hari Ini
  • Warta
  • Historia
  • Rupa
  • Arena
  • Pariwara
  • Citra
Kaltim Kece
  • HISTORIA
  • Tjwa Eng Liang, Tokoh Tionghoa Kaltim Pembela Kaum Buruh

Tjwa Eng Liang, Tokoh Tionghoa Kaltim Pembela Kaum Buruh

Pada masa lalu, etnis Tionghoa umumnya dipandang golongan menengah-atas disertai stigma acuh tak acuh terhadap nasib kaum buruh. Faktanya, ada dari mereka yang peduli dan membela nasib kaum buruh Kaltim dari penindasan kapitalisme dan imperialisme.
Oleh M Jaris Almazani
28 Januari 2025 23:00
ยท
0 menit baca.
Pawai buruh yang mengelilingi kota pada dekade 1950-an, diperkirakan di Balikpapan. FOTO: PROPINSI KALIMANTAN (1953, HLM 311)
Pawai buruh yang mengelilingi kota pada dekade 1950-an, diperkirakan di Balikpapan. FOTO: PROPINSI KALIMANTAN (1953, HLM 311)

kaltimkece.id Tidak banyak yang diketahui dari masa kecil Tjwa Eng Liang. Namun demikian, satu hal yang pasti adalah ia merupakan salah satu murid Aminah Sjukur, tokoh pendidik Samarinda yang dijuluki "Nenek Belanda." Aminah memang seorang keturunan Indo-Belanda. Adapun Tjwa Eng Liang, masuk frobelschool atau taman kanak-kanak binaannya sebagai persiapan sebelum lanjut ke jenjang pendidikan dasar (Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana, 2004, hlm 21).

Murid-murid Aminah memang terdiri dari berbagai etnis termasuk Tionghoa. Selain Tjwa Eng Liang, ada pula Sim Peng Hun dan Sim Peng Hin. Murid Aminah yang juga beken adalah Abdoel Moeis Hassan, tokoh pejuang sekaligus gubernur kedua Kaltim (hlm 21). Didikan "Nenek Belanda" barangkali menjadi bekal dasar mereka memperjuangkan kemerdekaan dan nasib kaum buruh.

Kembali ke Tjwa Eng Liang, setelah dewasa, ia memutuskan bersatu dengan murba baik kaum maupun partai yang menyandang namanya. Tjwa Eng Liang bergabung dengan Partai Murba sekitar awal 1950-an. Ia duduk sebagai pengurus Badan Kerja Sama Partai-Partai di Samarinda. Pada 1954, ia mewakili badan tersebut dalam Kongres Rakyat Seluruh Indonesia bersama Moeis Hassan selaku ketua (hlm 142).

Tjwa Eng Liang memang bukan satu-satunya orang Tionghoa yang menjadi anggota Partai Murba di Kaltim. Ada pula Kwee Hong Kwang, ketua cabang Tanjung Selor sekaligus anggota pleno Komisariat Dewan Partai (KDP) Murba Kaltim per 15 Maret 1963 (Lampiran Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963).

Sebagai informasi, istilah murba dibayangkan sebagai kelompok masyarakat miskin yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia kala itu. Kelompok ini tidak memiliki kekuatan modal selain otak dan tenaga fisik. Istilah ini digunakan sebagai padanan dari kata "proletar" yang digunakan di Eropa. Tentu saja ada perbedaan antara proletar di Barat dengan murba di Indonesia, setidaknya dalam hal kekerabatan maupun corak perjuangannya (Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Partai Murba, diakses Januari 2025).

Adapun Partai Murba, mulai melebarkan sayapnya ke Kaltim pada 1950 ketika Rasjidi Noor ditugaskan Sukarni selaku ketua partai untuk pergi ke Balikpapan. Tugasnya adalah mengadakan kontak dengan para veteran di sana. Sebagai tambahan, Sukarni memang pernah tinggal di Balikpapan pada 1939 saat melarikan diri dari kejaran polisi kolonial. Menggunakan nama samaran Maidi, ia menjadi buruh perusahaan minyak Belanda, BPM, dan bekerja sebagai bawahan seorang pemeriksa (opnemer) Jawatan Topografi (Topografische Dienst) setempat.

Sukarni kemudian dipindahkan ke Sangatta mengikuti salah seorang opnemer. Pada masa pelariannya, ia berkenalan dengan beberapa orang yang nantinya menjadi anggota Partai Murba di Kaltim. Mulai Sanusi (kelak duduk di MPRS mewakili PGRI) hingga Abdul Azis Amin. Akhirnya, partai penganut ajaran Tan Malaka ini mendirikan cabang perdananya di Balikpapan pada 16 Februari 1950 sebelum meluas ke berbagai tempat di Kaltim (Lampiran Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963, hlm 2).

Sukarni, ketua Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). FOTO: ANRI-KONSTITUANTE.NET

Sukarni, ketua Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). FOTO: ANRI-KONSTITUANTE.NET

Pada 31 Oktober 1955, badan pimpinan Sub-KDP Murba Kaltim dirombak. Tjwa Eng Liang mendapat jabatan sebagai sekretaris seksi sosial ekonomi. Jabatan sekretaris umum (ketua) tetap dipegang Rasjidi Noor. Mulai 1957, jabatan sekretaris umum berganti nama menjadi ketua. Rasjidi, yang pindah tugas ke Sumatera Barat, kemudian digantikan Husein Jusuf (hlm 5).

Semasa revolusi pula, Husein aktif dalam Ikatan Nasional Indonesia (INI). Berdasarkan hasil Konferensi Ketiga INI pada 7-8 Desember 1949, ia duduk sebagai Wakil Ketua Umum I (Ikut Mengukir Sejarah, 1994, hlm 112). Adapun Tjwa Eng Liang menjabat sebagai ketua bagian sosial ekonomi. Setahun kemudian, jabatannya berubah menjadi ketua bagian keuangan (Lampiran Hasil2 Keputusan Konperensi, hlm 5).

Di samping aktif sebagai pengurus Partai Murba daerah, Tjwa Eng Liang adalah pengurus Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) Kaltim. Organisasi tersebut merupakan vaksentral serikat buruh bentukan Partai Murba yang berkedudukan di Samarinda. Ia mewakili SOBRI dalam Panitia Gedung Nasional Samarinda yang dibentuk pada September 1954 sebagai pembantu. Panitia tersebut dibentuk untuk membangun kembali Gedung Nasional yang dibongkar pada pertengahan 1950 setelah sebelumnya didirikan gedung kayu pada 1948 (Laporan Politik Kalimantan Timur Bulan September 1954, hlm 14).

Tjwa Eng Liang juga menjadi ketua Sarekat Buruh Geo Wehry Indonesia (Sarbuwin) cabang Balikpapan yang bernaung di bawah SOBRI. Ia memelopori aksi pengambilalihan NV Geo Wehry di kota tersebut pada 10 November 1957 dari tangan direkturnya, Tuan Doorlag. Perusahaan tersebut diambil alih sebagai bagian dari aksi nasionalisasi sekaligus respons mandeknya perjuangan di PBB mengembalikan Papua ke tangan Indonesia. Pengambilalihan berjalan dengan pengawasan dan melalui suatu upacara timbang terima di hadapan Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) Kutai Selatan di Balikpapan (Tambahan Laporan Umum dalam Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963).

Situasi seperti ini sebenarnya bukan barang yang lazim pada masa itu. Etnis Tionghoa umumnya dipandang sebagai golongan menengah atas yang jauh dari kemelaratan. Muncul stigma bahwa mereka acuh tak acuh terhadap nasib kaum buruh yang ditindas kapitalisme dan imperialisme. Pembedaan masyarakat ke dalam sekat-sekat rasial oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan akar dari sentimen ini. Golongan bumiputra di posisi paling bawah, Tionghoa di posisi tengah, dan orang-orang Eropa di posisi atas.

Namun demikian, anggapan demikian menafikan realitas. Nyatanya, ada orang-orang Tionghoa yang tidak hanya peduli terhadap nasib kaum buruh tetapi juga aktif membela mereka. Bahkan, mereka berkecimpung dalam dunia serikat buruh.

Terpaksa Keluar Partai

Penetapan Presiden Republik Indonesia (Penpres) 5/1960 mengilhami pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Timur (Almanak Lembaga-Lembaga Negara dan Kepartaian, 1961, hlm 203-209).

Partai Murba menempatkan empat kadernya sebagai anggota DPRD-GR Kaltim dengan satu orang mewakili partai dan sisanya mewakili golongan karya. M Djunaid Sanusie duduk sebagai wakil partai, Husein Jusuf mewakili golongan veteran, Anang Atjil Adiwidjaja mewakili golongan wartawan, dan Tjwa Eng Liang mewakili golongan pengusaha nasional (Tambahan Laporan Umum dalam Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963, hlm. 14).

Husein Jusuf, kolega Tjwa Eng Liang di Partai Murba Kaltim. FOTO: KALIMANTAN TIMUR: APA, SIAPA DAN BAGAIMANA (2004)

Husein Jusuf, kolega Tjwa Eng Liang di Partai Murba Kaltim. FOTO: KALIMANTAN TIMUR: APA, SIAPA DAN BAGAIMANA (2004)

Akan tetapi, Tjwa Eng Liang (pada masa ini bernama TEL Hendra) terpaksa meninggalkan partai. Sudah ada peraturan bahwa seorang pimpinan perusahaan negara tidak boleh terlibat dengan partai politik tertentu. Meski tak disebutkan secara tegas, kemungkinan besar perusahaan yang dimaksud adalah PDN Budi Bhakti yang memonopoli perdagangan ikan kering. Kesimpulan ini diperoleh karena satu bagian dalam laporan konferensi berjudul Kegiatan Partai dalam Bidang Ekonomi, Pendidikan, Dll berisi gambaran umum aktivitas perusahaan tersebut di Kaltim (hlm 16-17).

Walau tak lagi duduk sebagai anggota partai, TEL Hendra tetap aktif membantu kegiatan Partai Murba. Ia menyumbangkan Rp10.000 untuk Konferensi I KDP Murba Kaltim dan menyalurkan sumbangan dari seorang Tionghoa bernama Gan Eng Thay sebesar Rp5.000. Hendra juga duduk sebagai ketua bagian kampanye dalam Badan Aksi Pemilihan Umum (Bapu) Partai Murba Kalimantan Timur. Badan ini dibentuk sebagai persiapan menghadapi pemilihan umum kedua yang baru terlaksana pada 1971, jauh setelah pemerintahan Sukarno berakhir (Hasil2 Keputusan Konperensi, 1963).

Kariernya TEL Hendra berakhir sebagai imbas dari pembekuan Partai Murba yang diperintahkan Presiden Sukarno pada 6 Januari 1965, sekalipun secara resmi ia bukan anggota partai lagi. Pembekuan tersebut terjadi sehari setelah Sukarno memerintahkan penangkapan atas Sukarni dan Sjamsuddin Tjan (Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 2020, hlm 209).

Ironisnya, yang mengakhiri karier politiknya di Kaltim adalah sesama mantan murid Aminah Sjukur: Abdoel Moeis Hassan. Menaati instruksi presiden, Hassan memberhentikan keempat anggota DPRD-GR Kalimantan Timur yang berafiliasi dengan Partai Murba. Mereka adalah Husein Jusuf, M Ussainar (pengganti Djunaid Sanusie selaku wakil partai), AA Adiwidjaja, dan Tjwa Eng Liang. Keputusan ini didukung DPRD-GR Kaltim dalam sidang paripurna yang diadakan pada 25-27 Februari 1965 (Harian Rakjat, 19 Maret 1965). Tak disangsikan lagi, TEL Hendra juga diberhentikan dari jabatannya sebagai pimpinan perusahaan negara karena terlibat dengan partai tersebut.

Namun, setelah G30S gagal dan kekuasaan Sukarno kian melemah, ia dan rekan sejawatnya di Partai Murba mendapat nasib mujur. Pada 17 Oktober 1966, melalui Keputusan Presiden No 223 Tahun 1966, Sukarno menghidupkan kembali Partai Murba. TEL Hendra dan rekan-rekannya kembali duduk di DPRD-GR Kaltim hingga 1967 (Arifin dan Priasmoro, 2011, hlm 151). Setelah itu, tidak ada keterangan yang dapat diperoleh tentang kehidupannya tetapi kemungkinan besar ia pensiun dari dunia politik.

Tionghoa yang Pro-Murba

Tak banyak yang diketahui dari kehidupan pribadinya. Masa kecil maupun kehidupan Tjwa Eng Liang setelah Partai Murba dibekukan Presiden Sukarno pada awal 1965 masih menjadi misteri. Walau begitu, sumber-sumber menyebutkan bahwa Tjwa Eng Liang adalah pembela kaum murba yang konsekuen. Tidak hanya melalui saluran partai, ia berjuang di serikat buruh. Sebagai pimpinan perusahaan, ia berikhtiar mewujudkan nilai-nilai Murbaisme dalam menjalankan usahanya demi mencapai masyarakat sosialis di Indonesia sebagaimana cita-cita partai.

Tjwa Eng Liang memang bukan satu-satunya tokoh buruh dari etnis Tionghoa di Kaltim. Ada juga Tan Siang Long yang merupakan salah satu pimpinan Perbum (serikat buruh minyak di bawah SOBSI) di Balikpapan (Sulistyo, 2013, hlm. 159). Namun, peran sertanya dalam berbagai kepanitiaan daerah seperti Badan Kerjasama Partai-Partai dan Panitia Gedung Nasional Samarinda membuatnya berbeda. Statusnya sebagai mantan murid Aminah Sjukur juga menjadi nilai lebih yang membedakannya dari tokoh-tokoh Tionghoa lain di Kalimantan Timur yang tidak dididik "Nenek Belanda". (*) 

Senarai Kepustakaan

ANRI. Arsip Tekstual Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 Jilid I, No. 1772, Berkas Mengenai Laporan Politik Kalimantan Timur Bulan September 1954 & 1955.

Almanak Lembaga-Lembaga Negara dan Kepartaian. 1961. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Harian Rakjat, 19 Maret 1965.

Hassan, Abdoel Moeis. 2004. Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.

Hassan, Abdoel Moeis. 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.

IISG. Partai Murba Archives, No. 37. 1963. Siaran: Hasil2 Keputusan Konperensi Ke-1 Partai Murba Daerah Kalimantan Timur dari tanggal 14 s/d 17 Maret di Balikpapan. Balikpapan: Komisariat Dewan Partai Murba Daerah Kalimantan Timur.

Khusyairi, Johny Alfian, Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Partai Murba, https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Pantai_Murba diakses Januari 2025.

Poeze, Harry A. 2020. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid V: 1950-2007. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sulistyo, Bambang. 2013. Menuju Nasionalisasi Pertambangan Minyak di Balikpapan (1930-1965). Dalam Erwiza Erman dan Ratna Saptari (ed.). Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, hlm. 142-175. Jakarta: KITLV-Jakarta.

Editor :
Iklan Above-Footer

Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi kaltimkece.id

Gabung Channel WhatsApp
  • Alamat
    :
    Jalan KH Wahid Hasyim II Nomor 16, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara.
  • Email
    :
    [email protected]
  • Phone
    :
    08115550888

Warta

  • Ragam
  • Pendidikan
  • Lingkungan
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Humaniora
  • Nusantara
  • Samarinda
  • Kutai Kartanegara
  • Balikpapan
  • Bontang
  • Paser
  • Penajam Paser Utara
  • Mahakam Ulu
  • Kutai Timur

Pariwara

  • Pariwara
  • Pariwara Pemkab Kukar
  • Pariwara Pemkot Bontang
  • Pariwara DPRD Bontang
  • Pariwara DPRD Kukar
  • Pariwara Kutai Timur
  • Pariwara Mahakam Ulu
  • Pariwara Pemkab Berau

Rupa

  • Gaya Hidup
  • Kesehatan
  • Musik
  • Risalah
  • Sosok

Historia

  • Peristiwa
  • Wawancara
  • Tokoh
  • Mereka

Informasi

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
© 2018 - 2025 Copyright by Kaltim Kece. All rights reserved.