kaltimkece.id Nenek Belanda, begitulah Muhammad Lutfi mengingatnya. Bernama asli Atje Voorstad, Aminah Syukur yang lahir di Palembang pada 20 Januari 1901 memang berdarah Belanda yang diturunkan dari ayahnya. Sementara ibunya merupakan orang asli Palembang.
"Kalau beliau tinggal di Belanda dan punya anak, keturunannya mungkin sudah jadi pemain naturalisasi," kelakar ketua Yayasan Pendidikan Islam Al-Khairiyah Samarinda tersebut. Ia tak lain adalah keturunan Aminah Syukur.
Bukannya menikah dan tinggal di Belanda, Aminah Syukur justru berjodoh dengan Raden Rawan yang memiliki ibu keturunan Banjar. Kurun waktu 1920-an, suami pertamanya itu kemudian membawanya ke Samarinda. Nama "Aminah" pun ia sematkan setelah memutuskan menjadi mualaf.
Di tengah jalan, pernikahan Aminah Syukur kandas. Ia kemudian menikah dengan Mohammad Jacob, tokoh masyarakat Samarinda saat itu. Dari pernikahan kedua, ia dikaruniai dua anak. Seorang putra bernama Hermas dan seorang putri bernama Hariati. "Ibu saya Hariati, lahir pada 1926," ungkap Lutfi.
Hanya dua tahun berselang, Aminah Syukur bersama suaminya mendirikan Meisje School atau sekolah keputrian di Samarinda. Lokasinya di kawasan Yacob Steg yang sekarang dikenal sebagai Jalan Mutiara. Sekolah ini diprioritaskan agar perempuan pribumi dapat menempuh pendidikan. Meskipun terdapat juga beberapa murid laki-laki yang turut bersekolah.
Aminah Syukur merasa bahwa perempuan saat itu kerap dinomorduakan. Hanya ditempatkan untuk urusan-urusan domestik dengan posisi yang tak setara dengan laki-laki. Lembaga pendidikan untuk perempuan pun ia dirikan untuk menghapus ketimpangan itu.
Bertepatan dengan momen Hari Kartini yang jatuh pada 21 April, buku mengenai Aminah Syukur diluncurkan. Sejarawan Muhammad Sarip sebagai penulis. Sementara, Nurul Ulfa mendesain sampul di buku berjudul Aminah Syukur: Kiprah Perempuan di Kalimantan Timur Tempo Doeloe setebal 72 halaman tersebut.
"Awal penulisan buku ini karena saya ditanyai mengenai tokoh perempuan Kaltim untuk momen Hari Kartini, tercetuslah nama Aminah Syukur untuk dibukukan," sebut Sarip kepada kaltimkece.id. Kamis, 17 April 2025.
Diangkatnya kisah Aminah Syukur menjadi buku bukan tanpa alasan. Penulis buku Histori Kutai itu menyebutkan, kiprah Aminah Syukur di dunia pendidikan tak perlu lagi ditanyakan. Selain mendirikan sekolah, ia mengajar di sekolah lainnya, seperti SD Permandian (kini SD Negeri 001). Ia pun turut memberikan pengajaran secara privat.
"Ia konsisten mengajar bahkan setelah umurnya 60 tahun," terang Sarip.
Encik Widyani Sjaraddin mengamini hal itu. Semasa kecil, perempuan kelahiran 1951 itu kerap melihat Aminah Syukur berjalan kaki saat berangkat mengajar ke SD Pemandian. Begitu pula ketika Aminah Syukur pergi dari rumah ke rumah mengajar beberapa anak tetangganya.
"Dahulu kita memanggilnya Mevrouw Jacob, bahasa Belanda untuk Nyonya Jacob," sebutnya.
Meskipun begitu, biduk rumah tangga Aminah kembali kandas. Usai bercerai dengan Mohammad Jacob, Aminah Syukur kemudian menikah dengan seorang pria bernama Sjoekoer. Dari suami ketiganya itulah ia kemudian disebut Aminah Syukur.
Dari kegigihannya dalam mengajar, murid-murid Aminah Syukur menjadi tokoh-tokoh penting. Jumantan Hasyim, misalnya, perempuan pertama yang menjadi anggota DPRD Kaltim. Istri wali kota Samarinda Anang Hasyim periode 1980-1985, dahulu merupakan murid di Meisje School, sekolah yang Aminah Syukur dirikan.
Selain Jumantan, ada pula Lasiah Sabirin. Meski tak bersekolah di Meisje School, Lasiah dahulu diajar bahasa Belanda secara privat oleh Aminah Syukur. Di kemudian hari, Lasiah menjadi aktivis organisasi Aisyiah serta merintis Badan Kerjasama Organisasi Wanita Samarinda.
Aminah Syukur wafat pada 3 Maret 1968 di Jakarta. Namun, karena dedikasinya untuk dunia pendidikan dan perempuan, wali kota Samarinda saat itu, Kadrie Oening, memindahkan makamnya ke Samarinda.
Dua tahun setelah wafatnya Aminah Syukur, pada 21 April 1970, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Samarinda. Bertepatan dengan hari Kartini. Sebuah jalan di kawasan pelabuhan pun turut disematkan dengan namanya. Ada pula sekolah menengah pertama yang berganti nama dari SMP Ruhui Rahayu menjadi SMP Aminah Syukur.
Sudarman, pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman, Samarinda, berharap agar Aminah Syukur jangan sampai terlupa. Namanya seharusnya juga disebut di pelajaran-pelajaran sejarah lokal di Samarinda maupun Kaltim.
"Bisa melalui mata pelajaran muatan lokal," sebutnya.
Syafruddin Pernyata dari Gerakan Pembudayaan Minat Baca (GPMB) Kaltim mengungkapkan hal yang sama. Mantan Kepala Dinas Perpustakaan Kaltim itu mengaku sedih, dari hilangnya mata pelajaran sejarah secara khusus di sekolah-sekolah negeri.
"Di zaman saya ada mata pelajaran sejarah nasional hingga sejarah perjuangan. Sekarang pelajaran sejarah hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran IPS," keluhnya.
Aminah Syukur tak lekang oleh zaman. Keberadaannya jangan sampai terlupakan. Kiprahnya untuk dunia pendidikan dan berjuang untuk kesetaraan perempuan tak perlu dipertanyakan. Seorang "Kartini" dari Kaltim yang pantas untuk selalu dikenang. (*)