kaltimkece.id "Kerajaan Kutai itu tidak ada." Inilah judul video yang diunggah di Youtube pada 12 Agustus 2023 oleh akun Aurel Val. Dengan kalimat judul yang anti-mainstream alias melawan arus utama pikiran publik, tentu saja video tersebut cepat tersebar dan meraih penonton yang banyak. Trik judul yang clickbait berhasil menggugah perhatian publik.
Beberapa hari kemudian, dia mengganti tanda titik di akhir judul dengan tanda tanya. Judul revisinya menjadi "Kerajaan Kutai itu tidak ada?"
Aurel Val alias Aurel Valen bukan youtuber pertama dari luar Kalimantan yang membuat konten sejarah Kutai. Sebelumnya ada Bimo K.A., ASISI Channel, dan Guru Gembul yang viewers videonya tentang Kutai juga mencapai ratusan ribu. Maraknya produksi video berkonten sejarah Kerajaan Kutai merupakan hal positif. Momentum pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur merupakan satu dari faktor pemantiknya.
Pada masa kini, sejarah sebagai pengetahuan menjadi domain publik yang terbuka untuk ditulis, dikreasikan, dan diperbincangkan di ruang publik dari dan oleh publik itu sendiri. Sejarah bukan lagi barang eksklusif yang hanya terbatas untuk kalangan peneliti akademis di gedung kampus.
Dalam ilmu sejarah modern dikenal adanya terminologi "sejarah publik". Maknanya bukan sejarah sosial atau sejarah tentang masyarakat, melainkan karya sejarah yang diproses dengan partisipasi publik tanpa batasan background akademis formal ilmu sejarah. Konten sejarah boleh saja dibuat oleh individu dan komunitas yang tidak pernah kuliah di jurusan sejarah. Yang penting, kreatornya memahami dasar ilmu sejarah yang mencakup metode penelitian sejarah.
Upaya Aurel Valen membuat video sejarah Kerajaan Kutai patut diapresiasi. Youtuber yang bernama lengkap Theresia Aurelia Valencia ini punya aspek persona yang merepresentasikan kaum muda dari generasi milenial. Berikutnya, dengan portofolio sebagai aktris atau pelaku industri bidang perfilman dan televisi, dia mampu mengkreasikan konten sejarah dengan narasi yang populer, langgam komunikasi kekinian, dan visual yang dinamis.
Orientasi audiensnya menyasar kelompok lintas usia dari kaum senior hingga gen Z dan gen Alfa. Konten sejarah yang disajikan Aurel tidak berwujud materi hampa dan membosankan seperti yang pernah terjadi di sekolah-sekolah tertentu. Mempelajari histori dari karya sejarah populer tentu lebih menyenangkan ketimbang mengikuti cara konvensional pengajaran sejarah di sekolah formal. Karya konten sejarah Aurel jelas punya dampak besar bagi publik.
Pengaruh besar video Aurel ini utamanya pada pelurusan pemahaman publik mengenai nama kerajaan tertua di Nusantara yang berpusat di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Banyak komentar di video yang mengaku baru mengetahui perihal nama ini. Kerajaan yang mewariskan tujuh prasasti yupa buatan abad ke-5 Masehi namanya bukanlah Kutai, melainkan Martapura. Adapun Kutai--nama lengkapnya Kutai Kertanegara--ini adalah kerajaan lain yang berdiri sejak tahun 1300 Masehi di pesisir timur Kalimantan.
Kutai Kertanegara kemudian menganeksasi Martapura pada tahun 1635, sehingga hanya satu kerajaan yang eksis dan melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura. Monarki inilah yang berikutnya menjadi Kesultanan Kutai dan memindahkan ibu kotanya di Tenggarong.
Dalam menjelaskan penamaan Kutai dan Martapura ini, Aurel merujuk pada sebuah referensi ilmiah. Pada bagian deskripsi video, Aurel mencantumkan referensi pertamanya adalah artikel yang terbit di Jurnal Yupa: Historical Studies Volume 4 Nomor 2, Desember 2020. Artikel itu berjudul "Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur". Nama penulisnya Muhammad Sarip, alias saya sendiri.
Pada penjelasan bagian awal video, Aurel sudah benar. Namun, sebagaimana yang Aurel bilang sendiri, dia minta dikoreksi jika salah. Karena itu, demi memenuhi permintaan Aurel dan berbagi faedah bersama bagi publik, saya telah mencatat setidaknya ada delapan kekeliruan untuk dikoreksi serta dijelaskan duduk perkaranya.
Pertama, Aurel Valen bilang bahwa nama Kutai dipakai untuk menyebut nama kerajaan tertua di Nusantara karena namanya sama dengan nama lokasi penemuan prasasti yupa, yaitu Kabupaten Kutai. Yang sebenarnya, penamaan Kutai dilakukan sebelum berdirinya Kabupaten Kutai pada 21 Januari 1960. Nama Kutai yang disematkan sebagai nama kerajaan dinasti Mulawarman itu merujuk pada nama wilayah Kesultanan Kutai yang eksis pada masa penemuan prasasti yupa tahun 1879. Namun, Aurel sepakat dengan publikasi jurnal saya bahwa nama Kutai baru muncul pada abad ke-13, dicetuskan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Kedua, Aurel Valen ketika menarasikan tokoh Khatib Muhammad Thahir sebagai penulis naskah klasik Arab Melayu yang bernama Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, menampilkan gambar foto wajah seseorang secara gamblang. Faktanya, gambar tersebut bukanlah foto Khatib Muhammad Thahir, melainkan Tahir Jalaludin. Khatib Muhammad Thahir selesai menulis Salasilah Kutai tahun 1849. Sedangkan Tahir Jalaludin baru lahir pada 1869.
Ketiga, Aurel Valen ketika menceritakan naskah klasik Salasilah Kutai, menampilkan gambar sebuah naskah kuno. Jika gambar naskah Salasilah Kutai yang valid tidak ditemukan, maka ilustrasi tersebut boleh saja dimaklumi. Namun, faktanya manuskrip Salasilah Kutai yang autentik telah didigitalisasi seluruh isi dan sampulnya. Berkas digitalnya bisa dilihat dan diunduh secara gratis di website Perpustakaan Negeri Berlin.
Keempat, Aurel Valen bilang bahwa Kundungga punya gelar Anumerta Dewawarman. Yang sebenarnya, gelar bagi ayah dari Aswawarman dan kakeknya Mulawarman ini tidak berdasarkan sumber sejarah yang valid dan kredibel. Gelar tersebut hanya karangan belaka yang tidak memenuhi kualifikasi untuk bisa dikutip dalam narasi historis.
Kelima, Aurel Valen bilang bahwa Kundungga merupakan bangsawan dari Kerajaan Champa di Kamboja. Faktanya, peneliti prasasti yupa generasi awal, yaitu Profesor Johan Hendrik Caspar Kern dan Profesor Jean Philippe Vogel bersepakat bahwa Kundungga adalah orang Kalimantan-Nusantara asli, bukan imigran atau pendatang dari negeri lain semisal Kamboja atau India. Para ilmuwan dan sejarawan generasi berikutnya hingga sekarang juga membuat semacam konsensus bahwa Kundungga adalah orang Indonesia asli. Argumennya, nama Kundungga kala itu tidak terdapat di negeri dan benua lain.
Keenam, Aurel Valen bilang bahasa Sanskerta sangat sulit dipelajari dan cuma kaum tertentu seperti brahmana yang bisa menguasai bahasa ini. Perlu diklarifikasi bahwa ukuran sulit atau mudahnya belajar bahasa Sanskerta itu relatif. Alasan mengapa bahasa Sanskerta hanya dikuasai oleh kalangan terbatas seperti brahmana, itu terjadi karena sistem religi Hindu itu sendiri yang membatasinya. Sanskerta merupakan bahasa sakral religius yang hanya boleh dipelajari oleh kelompok kasta brahmana. Sementara kasta waisya dan sudra dilarang mempelajarinya.
Ketujuh, ketika Aurel Valen menyebut Mulawarman, muncul ilustrasi seseorang berkostum bangsawan dan bermahkota. Yang sebenarnya, ilustrasi tersebut bukanlah ilustrasi Mulawarman. Gambar tersebut sudah pernah digunakan pihak lain untuk mengilustrasikan raja Majapahit. Jadi, tidak pas menggunakan gambar tersebut.
Kedelapan, di antara referensi yang Aurel Valen cantumkan adalah artikel dari website Kutai.org. Artikel tersebut berisi teks propaganda tentang keberadaan pengklaim Raja Mulawarman masa kini. Foto individu pengaku raja dengan kostum kerajaan juga dipajang. Ditampilkan juga silsilah raja yang lengkap dari Kundungga sampai raja abad ke-17 hingga nasabnya bersambung kepada para keturunannya yang hidup di abad ke-21.
Faktanya, catatan silsilah tersebut tidak terverifikasi sumbernya menurut metode penelitian sejarah. Web tersebut tidak kredibel sebagai rujukan. Web Kutai.org juga yang turut menuliskan bahwa Kundungga berasal dari Champa/Kamboja. Meskipun teks web berbahasa Inggris, patut diduga bahwa kreatornya dari tim pengaku raja itu sendiri atau setidaknya berafiliasi kepada sosok pengaku raja.
Sejarah memang selalu aktual. Dan dengan sejarah publik, peristiwa masa lampau menjadi konten yang tetap populer di masa kini untuk proyeksi masa depan yang progresif. (*)