Humaniora

Aisyah, Guru Anak-Anak Tak Mampu

person access_time 3 months ago
Aisyah, Guru Anak-Anak Tak Mampu

Anak-anak mengikuti kelas Bahasa Inggris gratis di dekat Islamic Center. Anggota komunitas Muda Mengajar yang menjadi gurunya. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Perempuan jebolan Unmul dan universitas di Amerika Serikat ini mendirikan Muda Mengajar. Komunitas yang membuka kelas Bahasa Inggris gratis bagi anak tak mampu di Balikpapan dan Samarinda. 

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Jum'at, 24 Februari 2023

kaltimkece.id Segelas teh hangat yang dipesan Aisyah telah dingin. Perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan minyak di Balikpapan itu rupanya kelewat asyik mengobrol. Kepada sahabatnya yang bernama Nisa, ia mencurahkan pikiran mengenai rasa bosan karena rutinitas bekerja.  

“Pergi kerja jam sembilan pagi, pulang jam lima sore. Monoton sekali, ya,” tutur Aisyah sembari melihat buku yang dipegang sahabatnya. Suatu hari pada 2015, sahabatnya yang mendengarkan keresahan Aisyah lantas menyodorkan buku di tangannya. Hidup Sekali, Berarti, lalu Mati, demikian judul buku karya Ahmad Rifa’i Rifan tersebut. Aisyah tercenung membaca tulisan di sampulnya. 

“Bagaimana kalau kita berbuat hal kecil tetapi bermanfaat untuk orang sekitar?” Nisa urun pendapat sekaligus memecah keheningan. Entah bagaimana, ucapan tersebut menggetarkan hati Aisyah. 

Nama lengkapnya adalah Siti Aisyah Sutoro. Usianya 31 tahun sekarang. Ia lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, pada 2013. Dari gelar akademiknya, perempuan yang tinggal di Samarinda ini tentu menguasai keterampilan sebagai guru Bahasa Inggris. 

Tepat ketika ia lulus kuliah, mata pelajaran Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta Teknologi Informasi dan Komunikasi dikeluarkan dari sekolah dasar negeri. Ketiganya dialihkan menjadi kegiatan ekstrakurikuler dan muatan lokal menurut Kurikulum 2013. 

Aisyah waktu itu berpikir bahwa semua anak sebenarnya berhak belajar Bahasa Inggris. Mereka yang dari keluarga mampu tentu bisa mengikuti les dan privat. Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang kurang beruntung? Apakah itu berarti mereka tidak punya kesempatan mempelajari bahasa internasional tersebut?

Pertanyaan itu terngiang di kepala Aisyah ketika memikirkan perbuatan kecil seperti apa yang bisa ia lakukan. Perbuatan yang bisa berarti bagi banyak orang. Maka, pada 28 Februari 2015, Aisyah memutuskan untuk mendirikan komunitas Muda Mengajar di Balikpapan. Komunitas ini bertujuan memberikan kesempatan bagi anak-anak yang tidak memiliki akses mempelajari Bahasa Inggris.

"Muda Mengajar ingin mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah,” tutur Aisyah kepada kaltimkece.id.

Siti Aisyah Sutoro, pendiri komunitas Muda Mengajar. Komunitas ini membuka kelas Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak tak mampu di Balikpapan dan Samarinda. FOTO: DOKUMEN PRIBADI 
 

Aisyah kemudian mengajak teman-temannya mengajar di komunitas ini. Hanya dalam sebulan, Muda Mengajar sudah punya 30 relawan. Komunitas ini membuka kelas gratis Bahasa Inggris di Kelurahan Gunung Bahagia dan Kelurahan Sepinggan di Balikpapan. Waktu belajar adalah setiap Ahad pagi dan tidak dipungut biaya alias gratis. 

Berkolaborasi dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Aisyah dibantu untuk mendapatkan peserta didik. Anak-anak berusia 7-12 tahun yang jadi targetnya. 

Komunitas ini juga bergerak di Samarinda. Relawan di Kota Tepian kebanyakan adalah mahasiswa dan lulusan FKIP Unmul. Kelas-kelas gratis itu berdiri di dekat Islamic Center, Jalan DI Pandjaitan, dan Jalan Juanda. Total peserta didik Muda Mengajar saat ini sudah lebih dari seratus anak di Samarinda maupun Balikpapan. 

Pelajaran dari Amerika

Aisyah berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di Amerika Serikat pada 2016. Ia memperoleh beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Perempuan yang masih lajang itu diterima di Warner School of Education, University of Rochester. Aisyah mengambil jurusan Education Leadership. Komunitas Muda Mandiri di Balikpapan dan Samarinda, ia percayakan kepada para relawan. 

Di Negeri Paman Sam, Aisyah terkesima dengan sistem pendidikannya. Anak-anak belajar dengan konsep learning by doing. Setiap murid diarahkan untuk belajar mandiri. Anak-anak membuka wawasan lewat buku-buku referensi. Bahan bacaan tersebut kemudian menjadi landasan teori dan temuan mereka. Posisi guru dan dosen setara dengan murid dan mahasiswa. Para pengajar hanya fasilitator, bukan orang yang tahu segalanya.

Aisyah meraih gelar master pada 2018 dan kembali ke Indonesia. Ia bekerja untuk sebuah perusahaan teknologi Amerika Serikat yang berkantor di Jakarta. Tugasnya adalah mengembangkan matriks pelatihan profesional secara daring. Lewat medium tersebut, Aisyah telah melatih ratusan ribu karyawan pabrik di seluruh Indonesia. 

Bekerja dengan sistem work from home, Aisyah berdomisili di Samarinda. Kerinduannya mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak bisa ditebus. Di tengah kesibukannya sejak 2018 hingga sekarang, Aisyah masih sesekali mengajar di Jalan DI Pandjaitan.

Kegiatan belajar-mengajar dari komunitas Muda Mengajar di Samarinda. Peserta didiknya anak-anak tidak mampu. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID
 

Ia juga lega karena mata pelajaran bahasa Inggris rencananya diajarkan lagi di sekolah dasar negeri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akan menghidupkan mata pelajaran itu lewat Kurikulum Merdeka Belajar. Walaupun belum diterapkan di semua sekolah, Aisyah mengatakan, Merdeka Belajar menerapkan metode seperti yang ia lihat di Amerika Serikat.

“Siswa diarahkan jadi lebih aktif. Guru bertindak sebagai fasilitator,” tuturnya. 

Hari mendatang nampak cerah bagi Aisyah. Komunitas Muda Mengajar berkembang pesat. Komunitas itu tak hanya mengajar anak-anak sekolah dari ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang tak bisa bersekolah pun jadi peserta didiknya. Mata pelajaran yang diberikan bukan Bahasa Inggris saja. Hampir semua subjek ilmu tersedia.

Di dekat Islamic Center misalnya, peserta didik Muda Mengajar adalah anak pedagang pasar yang tak sekolah. Anak itu sehari-hari membantu orang tuanya bekerja. “Setiap anak harus memiliki kesempatan dan exposure belajar yang sama, terlepas dari status ekonomi dan sosial mereka,” terang Aisyah yang kini menjadi pembina Muda Mengajar. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar