kaltimkece.id Matahari sudah condong ke barat tatkala Misman, 62 tahun, duduk di sisi kanan Jembatan Kehewanan, Samarinda Kota. Pria berambut sebahu itu menatap Sungai Karang Mumus sembari mengisap tembakau. Ketika melihat sampah-sampah yang terbawa aliran sungai, ia pun mulai menggerutu.
“Kok, masih saja ada yang membuang sampah seperti ini ke sungai,” tutur Misman kepada reporter kaltimkece.id yang menemuinya pada Senin, 22 November 2021. Misman kemudian bercerita. Nyaris semua jenis barang, katanya, pernah ditemukan di sungai ini. Bukan hanya limbah rumah tangga, ada kasur, celana dalam, popok bayi, sampai ban sepeda.
“Jadi, jangan heran jika sungai ini sering meluap dan menyebabkan banjir,” jelasnya.
Misman dan Karang Mumus adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sejak lahir hingga dewasa, ia tumbuh besar di bantaran sungai sepanjang 47,48 kilometer yang membelah kota. Waktu Misman kecil, kira-kira dekade 1970-an, air sungai masih jernih. Banyak ikan yang bisa dipancing seperti patin, lempam, baung, dan lais. Semua itu tiada sekarang. Rona sungai berubah menjadi kuning-kecokelatan. Ikan-ikan telah bersalin menjadi sampah plastik. Air sungai mengeluarkan bau tidak sedap di kala kemarau dan meluap kala hujan.
Keadaan itu menggerakkan hati Misman. Pada 2016, lewat dorongan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, didirikan komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM). Misman memang pernah menjadi wartawan sekaligus anggota PWI. Waktu itu, Ketua PWI Kaltim Endro S Effendi dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Kaltim, Intoniswan, mendorong Misman mendirikan GMSS-SKM secara kelembagaan. Seluruh pengurusan dan biaya pendirian dijamin oleh PWI.
Komunitas pada awalnya mengumpulkan sampah yang mengapung di sungai setiap sore di Jembatan Gelatik dan Jembatan Kehewanan. Setelah itu, Misman biasanya berswafoto bersama tumpukan sampah dan mengunggahnya di media sosial. Kegiatannya itu tidak selalu disambut positif. Misman mengaku, sempat dirundung warganet Kota Tepian. Ia disebut pamer, pencitraan, dan sok pahlawan. Misman bahkan sempat dituduh mengalami gangguan kejiwaan.
“Saya pernah dianggap tidak waras. Katanya, saya terlalu bangga dan cari-cari perhatian. Lucunya lagi, yang berkomentar itu pejabat. Padahal, sebagai pejabat, dia harusnya yang aktif, bukan saya,” kenang Misman.
_____________________________________________________PARIWARA
Memungut Sampah dan Penghargaan
Di luar komentar negatif, Misman terus bekerja. Dukungan pun mulai mengalir. Beberapa kelompok masyarakat ikut memungut sampah di sungai. Ada pekerja seni, budayawan, pelajar, hingga mahasiswa. Sejumlah peneliti dari perguruan tinggi Kaltim dan luar daerah sering datang. Mereka mengadakan riset di delapan kawasan zona ekologi yang dikelola GMSS-SKM. Setidaknya, sudah 40 penelitian dari berbagai disiplin ilmu di komunitas tersebut.
GMSS-SKM memiliki satu pangkalan pungut di Jalan Jalan Abdul Mutalib, Samarinda Kota. Ada pula tempat edukasi bernama Sekolah Sungai Karang Mumus (Sesukamu) di Jalan Muang Ilir, Samarinda Utara. Selain melawan pencemaran dengan memungut sampah, Misman juga mengupayakan restorasi lingkungan. GMSS-SKM menanam 10 ribu pohon yang terdiri dari 61 spesies.
Jenis pohon yang ditanam ada dua macam. Pertama, pohon buah produktif seperti nangka, jambu agung, sirsak, dan anona. Kedua, pohon endemik sungai seperti bungur, kademba, rengas, punai, dan putat.
Konsistensi Misman merawat sungai tak terbantahkan. Saat ini, GMSS-SKM memiliki 100 relawan. Walaupun demikian, Misman mengaku, tidak semua relawan bisa terlibat dan konsisten mengurus Sungai Karang Mumus. Relawan datang silih berganti. Misman tidak jarang bekerja sendirian.
“Mengabdikan diri di dunia lingkungan itu tidak bisa hitung-hitungan dan berharap gaji. Jadi, saya tidak pernah takut sendirian,” ungkapnya.
Atas dedikasi itu, GMSS-SKM meraih sederet penghargaan. Pada 2017, komunitas meraih penghargaan Komunitas Peduli Sungai Kaltim dari gubernur. GMSS-SKM juga meraih juara III nasional Lomba Komunitas Peduli Sungai Indonesia. Tahun berikutnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memberi penghargaan peringkat kedua nasional sebagai komunitas peduli sungai Indonesia.
Apresiasi juga didapatkan Misman. Pada 2016, Wali Kota Samarinda memberinya penghargaan penggiat lingkungan yang literat. Pada 2018, Gubernur Kaltim menggelarinya sebagai pemerhati lingkungan Kaltim. Terbaru, pada Juni 2021, Misman dinobatkan sebagai penerima kalpataru dalam kategori perintis lingkungan. Kalpataru adalah satu dari antara penghargaan tertinggi bagi perorangan atau kelompok atas jasa melestarikan lingkungan hidup.
Misman mengaku, tidak mengejar maupun bangga dengan capaian tersebut. Satu-satunya yang ingin ia wujudkan adalah kesadaran pemerintah dan masyarakat melestarikan Sungai Karang Mumus. “Semua bisa terlibat menjaga sungai dengan cara apa saja. Entah menanam pohon atau memungut sampah. Jika sungai ini rusak, kita sendiri yang rugi,” ingatnya.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Tak Lulus dari Empat Kampus
Misman lahir di Samarinda pada 1959. Ia lulus dari sekolah vokasi jurusan seni peran di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 1981. Beberapa karya sastra dihasilkannya. Satu di antaranya, cerita bergambar yang bersumber dari kisah rakyat Kaltim bertajuk Genting Gentas dan Kepalalading. Misman juga sempat menginisiasi komunitas Teater Satu. Ia dulunya aktif menyusun naskah drama di radio lokal dan telenovela di TVRI.
Kemampuan menulis naskah membawa Misman kepada profesi jurnalis. Ia mendirikan sebuah tabloid bernama Warta Harmoni pada pertengahan 2000. Tabloid tersebut populer di berbagai sekolah di Samarinda. Ada 40 sekolah yang berlangganan. Misman memperoleh sertifikasi wartawan madya dari Dewan Pers pada 2012 dan tercatat sebagai anggota aktif PWI Kaltim.
Dari jalur pendidikan formal, Misman empat kali menempuh pendidikan kesarjanaan atau S-1. Dari Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman; Jurusan Pendidikan Sejarah, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Kaltim, Program Studi Jurnalistik, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Mahakam; hingga Jurusan Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Kaltim. Akan tetapi, Misman tidak pernah memperoleh gelar S-1.
“Alhamdulillah, semuanya lulus tanpa ijazah. Saya kuliah di kampus cuma karena kepo. Pengin tahu orang-orang ini belajar apa, sih,” kelakarnya.
Kembali ke Sungai Karang Mumus, Misman melihat dua penyebab kondisi sungai kian mengenaskan. Aspek pertama adalah kerusakan lingkungan yang meliputi perubahan topografi sungai. Aspek kedua ialah pencemaran limbah bahan beracun berbahaya. Kedua hal tersebut berkaitan. Kerusakan lingkungan adalah hulu masalah, pencemaran sungai adalah hilirnya.
Solusinya sebenarnya sederhana. Misman mengatakan, pandangan masyarakat dan pemangku kebijakan mengenai sungai harus berubah. Sungai tidak berfungsi sebagai tempat aliran air semata. Upaya restorasi lingkungan harus diprioritaskan.
“Sungai adalah sumber kehidupan. Kalau cuma dibeton dan dikeruk tetapi kerusakan lingkungannya tidak dicegah, ya, Samarinda tetap tenggelam,” terang penggemar karya-karya Buya Hamka ini. (*)
Editor: Fel GM