kaltimkece.id Penajam Paser Utara punya luas daratan 3 060,82 kilometer persegi. Sampai akhir 2021, berdasarkan data Badan Pusat Statistik PPU, kabupaten ini dihuni 180.657 jiwa. Beberapa tahun lalu, Pemkab PPU membentuk Tim Penyusun Pokok Pikiran Kebudayaan PPU. Tim beranggotakan sejumlah instansi pemkab, Lembaga Adat Paser, seniman, budayawan, serta masyarakat adat. Dimotori Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PPU, mereka mendata kebudayaan dan adat istiadat di kabupaten ini.
Hasil pendataan tersebut dimuat dalam dokumen berjudul Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) PPU 2018. PPU merupakan daerah yang memiliki kamajemukan suku, budaya, dan adat istiadat. Mereka hidup berdampingan di daerah ini.
Suku asli PPU yakni Paser Kaharingan, Dayak Bentian, dan Dayak Wahau. Ada juga Suku Paser yang paling dominan. Suku ini terbagi menjadi 12 subsuku (informasi selengkapnya lihat di infografis).
Kepala Bidang Kesenian dan Produk Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PPU, Christian Nur Selamat, adalah orang yang terlibat dalam penyusunan PPKD PPU 2018. Kepada kaltimkece.id, Christian menjelaskan, suku-suku tersebut mendiami kawasan tersebut jauh sebelum PPU dimekarkan dari Kabupaten Paser pada 2002.
“Ada lima masyarakat adat di Sepaku yakni Paser Balik, Paser Telake, Paser Adang, Paser Pematang, dan Paser Semunte,” sebut Christian di kantornya di Kecamatan Penajam.
Ia mengatakan bahwa Suku Paser Balik masuk tiga besar dari 15 suku yang terancam punah di Indonesia. Penutur bahasa Paser Balik kurang dari 500 jiwa. Sebuah suku disebut bisa dikategorikan tidak terancam punah jika jumlah penutur bahasa sukunya di atas 500 jiwa.
“Penduduk Suku Paser Balik bisa saja lebih dari 500 jiwa. Tetapi, belum tentu semuanya bisa menuturkan bahasa Paser Balik,” jelas Christian.
Menyikapi masalah tersebut, pemerintah provinsi dan kabupaten menjalankan program revitalisasi bahasa. Lewat program ini, pemerintah menggiatkan pelatihan berbahasa Paser Balik baik di kelompok-kelompok masyarakat adatnya maupun sekolah-sekolah.
PPKD juga memuat 20 kesenian di PPU. Empat di antaranya yakni ronggeng Paser, seni sastra tutur, seni musik, dan seni bergambus. Ada pula 18 tradisi ritus atau ritual di kabupaten ini (selengkapnya di infografis).
Christian mengatakan, ronggeng Paser sudah sejak lama terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pemkab Paser yang mengajukannya sebagai warisan harta tak benda milik masyarakat adat Suku Paser. Ada dua kelompok ronggeng Paser yang disebut masih eksis di Sepaku. Keduanya yakni Bungo Mekar dan Uwat Bolum.
Ronggeng sebenarnya juga ditemukan di daerah lain. Christian menjelaskan, itu hanya soal sebutan. Dalam KBBI, definisi ronggeng adalah tari tradisional dengan penari utamanya perempuan dan dilengkapi selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari. Dengan demikian, semua tarian yang menerapkan ciri-ciri serupa bisa disebut ronggeng.
Yang membedakannya, sambung dia, dilihat dari gerakan tarian, sejarah, dan musiknya. Semua tarian dari Paser disebut berjanjak dari tradisi seperti tradisi pengobatan dan atau memenuhi nazar dari seseorang yang mendambakan sesuatu. Apa-apa yang dilakukan dalam tradisi tersebut kemudian diejawantahkan menjadi sebuah tarian.
“Seiring berjalannya waktu, ronggeng Paser berkolaborasi dengan musik melayu sehingga pakaiannya terlihat lebih sopan dan menggunakan syair-syair melayu,” beber Christian.
Masa depan kebudayaan-kebudayaan di PPU termasuk ronggeng Paser disebut memasuki masa suram. Christian menyebut, kehadiran IKN Nusantara di Sepaku akan mendatangkan banyak orang dari peradaban modern. Budaya modern juga akan dibawa. Tarian eksotis hingga tari-tarian ala Korea disebut sebagai kesenian modern yang akan menjadi saingan tarian tradisional di lingkungan IKN. Jika persaingan itu terjadi, tarian tradisional diyakini yang akan kalah.
“Itu sudah menjadi konsekuensi dari sebuah peradaban baru. Di mana-mana seperti itu. Budaya lokal pasti tergerus budaya modern,” ucapnya.
Walau demikian, pemerintah disebut belum menyerah. Sejumlah upaya melestarikan kebudayaan lokal tengah ditingkatkan. Christian mengatakan, belakangan ini, pelaku kesenian lokal di PPU kerap dilibatkan dalam berbagai pertunjukan. Mereka juga akan dilibatkan dalam Festival Harmoni Nusantara di titik nol IKN di Sepaku. Festival tersebut diperkirakan berlangsung pada Agustus 2023.
“Ini adalah acara nasional yang akan melibatkan suku-suku di lingkungan IKN seperti Suku Paser, Suku Paser Balik, Suku Kutai, termasuk Suku Dayak Kenyah,” bebernya.
Usaha pemerintah melestarikan budaya lokal akan sia-sia bila tak didukung oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Christian menyebut, sesungguhnya masyarakat yang punya andil besar menjaga kebudayaannya. Jika masyarakat adat terutama generasinya bisa terus mempertahankan tradisi dan kebudayaannya, kepunahan kebudayaan lokal bisa diminimalisasi.
“Paling tidak, kebudayaan lokal tidak benar-benar punah. Seperti bahasa “lu-gue” dan jajanan kerak telor dari Suku Betawai, itu ‘kan sampai sekarang tetap ada,” ujar Christian.
Bagaimana Kebudayaan Lokal Bisa Punah?
Ketua Dewan Kesenian Kaltim, Syafril Teha Noer, membenarkan bahwa ronggeng Paser merupakan khazanah seni tradisi Kaltim. Pandangannya pun seragam bahwa kehancuran kesenian lokal sulit dielakkan. Sebelum ada IKN Nusantara pun, kebudayaan lokal sudah dipengaruhi budaya-budaya dari luar. Kehadiran IKN di Kaltim disebut akan mempercepat kehancuran tersebut.
“Lihatlah, bagaimana budaya Barat, Korea, atau Jepang, membentuk orientasi selera anak-anak muda masa kini,” kata Syafril. “Dengan adanya IKN di Kaltim, pengaruh-memengaruhi itu boleh jadi akan lebih laju mengingat migrasi penduduk kelak semakin masif.”
Dewan Kesenian Kaltim dipastikan di lini terdepan dalam menjaga kesenian dan kebudayaan Kaltim. Salah satu ikhtiarnya adalah terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah Kaltim 10/2022 tentang Pemajuan Kebudayaan. Peraturan ini disebut menjadi kunci utama melestarikan tradisi-tradisi lokal. Perda tersebut mengatur landasan pemeliharaan, perlindungan, dan pemajuan khazanah seni tradisi yang lahir dan hidup turun-temurun di Bumi Etam.
“Dengan perda ini, kegiatan-kegiatan kebudayaan lokal memiliki alas hukum yang memadai, yang selama ini hampir tak pernah ada,” tutur Syafril.
Akademikus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Nasrullah Mappatang, memberikan pandangannya. Berdasarkan ilmu kebudayaan, kata dia, punahnya suatu tradisi budaya adalah sebuah keniscayaan. Kebudayaan bersifat dinamis alias berubah-ubah. Akan tetapi, Nasrullah menggarisbawahi penyebab kepunahan budaya. Kehadiran IKN di Kaltim tidak bisa dituding sebagai satu-satunya penyebab musnahnya tradisi lokal. Eksistensi budaya lokal harus dilihat dari sebelum adanya IKN. Tidak sedikit aktivitas tradisi lokal di Indonesia yang meredup sejak lama.
“Kalau masyarakatnya tidak mau melestarikan kebudayaannya, walau tidak ada budaya modern, budaya lokal tetap akan hilang dengan sendirinya,” kata Nasrullah. Meski demikian, ia tak menampik kehadiran IKN akan mempercepat matinya budaya lokal. “Kalau ada IKN, pasti ada serbuan masyarakat datang ke sini dengan membawa modernisasi,” imbuhnya.
Mengingat kebudayaan bersifat dinamis, ujar Nasrullah, harus dipilah-pilih kebudayaan yang patut dilestarikan dan tidak. Kebudayaan yang memiliki efek terhadap keberlangsungan hidup manusia seperti pengobatan dan tradisi menanam, harus dijaga eksistensinya. Nasrullah menganjurkan agar lingkungan hidup Kaltim dilestarikan. Sebagian besar kebudayaan di provinsi ini disebut memiliki hubungan erat dengan alam.
Pakaian adat Suku Dayak, misalnya, masih ada yang menggunakan bulu burung enggang. Ukir-ukiran yang dibuat masyarakat adat di Kaltim terinspirasi dari tumbuh-tumbuhan di hutan.
“Kalau alamnya rusak, sama saja menghilangkan kebudayaan-kebudayaan lokal,” ucapnya.
Pernyataan Otorita IKN
kaltimkece.id mendatangi Kantor Otorita Ibu Kota Nusantara di Balikpapan pada 20 dan 23 Maret 2023 untuk mengonfirmasi ihwal kesenian di lingkungan IKN Nusantara. Namun kantor yang beralamat di kompleks Pantai Mentari Compound, Manggar, Balikpapan Timur, itu selalu sepi. Tak seorang pun pegawai Otorita IKN di dalamnya. Seorang petugas keamanan mengatakan, begitulah keadaan kantor itu sehari-hari.
Sebelumnya, pada Senin, 6 Maret 2023, Kepala Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantono, bertemu mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di Kantor Otorita IKN Nusantara di Jakarta. Pertemuan tersebut membahas perkembangan pembangunan dan pengembangan IKN Nusantara. Beberapa di antaranya yakni lingkungan hidup, pendidikan, keseninan, dan kebudayaan.
Mengutip siaran pers berjudul Kepala OIKN Bahas Fokus Pengembangan IKN Bersama Tony Blair di ikn.go.id, Bambang mengatakan, pembangunan IKN pastinya memerhatikan dan menjaga lingkungan hidup. Hal ini untuk mewujudkan konsep kota yang nyaman dihuni dan dicintai. IKN memiliki peta jalan untuk reforestasi.
“Kami juga menjalankan amanat Presiden untuk membangun dengan tetap menjaga lingkungan secara ketat. Menebang pohon hanya seperlunya saja. Termasuk menjaga keharmonisan dengan komunitas dan biodiversitas di sana,” kata Bambang. (*)