kaltimkece.id Hujan baru saja turun ketika Pandi, 52 tahun, duduk sembari menyesap secangkir teh hangat di teras rumah panggung. Matanya jauh memandang ke arah permukiman Suku Balik. Dari dalam rumah, istrinya yang bernama Syamsiah, 48 tahun, menangkap kegelisahan Pandi. Mereka pun berbincang-bincang di antara desau air hujan.
“Saya terkadang meneteskan air mata. Bagaimana kalau rumah saya ini tergusur? Saya tidak bisa ngumpul begini lagi,” tutur Pandi ketika ditemui pada Ahad, 5 Maret 2023.
Pandi dan Syamsiah adalah pasangan suami istri dari Suku Balik yang tinggal di Jalan Datu Nodol, Sepaku Lama, Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Kampungnya itu lebih dikenal dengan nama Logdam. Rumah kayu yang sudah puluhan tahun mereka tempati berdiri sekitar 14 meter dari Sungai Sepaku.
Pandi mengaku risau karena pembangunan infrastruktur ibu kota negara (IKN) Nusantara. Ia khawatir, kampungnya ikut terkena proyek. Ayah enam anak itu mengaku, punya banyak kenangan di kampung Logdam. Dahulu kala, penduduk Suku Balik memiliki tradisi gotong-royong yang dalam bahasa Balik disebut sempolo naso. Sudah lama sekali mereka tidak bergotong-royong. Pandi ingat, sempolo naso terakhir diadakan 23 tahun silam. Sesuatu hal menyebabkan kegiatan turun-temurun itu tak bisa lagi dilaksanakan.
Sempolo naso biasanya diadakan ketika penduduk mulai membuka ladang untuk menanam padi. Pada hari yang ditentukan, seluruh warga berkumpul di desa. Mereka berjalan kaki bersama-sama menuju ladang. Ladang yang dibuka antara 1 hektare sampai 2 hektare. Caranya dengan memangkas rumput, sebagian yang lain dibakar.
Seharian penuh mereka bekerja termasuk makan siang bersama di kebun. Apabila satu lokasi telah selesai dibuka, gotong-royong mereka pindah ke lahan warga yang lain. Sempolo naso biasanya diadakan sepekan sekali. Bukan hanya membuka ladang, kegiatan ini diadakan sewaktu menugal dan panen padi.
“Terakhir kali gotong-royong pada 2000 di lahan adik saya. Sejak ada larangan membakar lahan, kami tidak bergotong royong lagi. Ladang itu akhirnya dijual,” terang Pandi.
Ia menjelaskan bahwa warga Suku Balik tidak membuka ladang yang luas. Mereka hanya perlu 1-2 hektare lahan. Membuka lahan dengan cara membakar juga tidak sembarangan. Warga harus membaca arah angin. Api terus dijaga supaya tidak menyeberang ke lokasi lain. Membuka ladang dengan dibakar merupakan cara yang turun-temurun dilakukan Suku Balik.
“Pemerintah tidak mengakui sistem berladang warga Balik. Kami disosialisasikan untuk tidak boleh membakar hutan ladang,” jelasnya.
Sang istri, Syamsiah, menambahkan kisahnya. Bagi warga Suku Balik, gotong-royong merupakan kegiatan yang menyenangkan. Meskipun tak semua memiliki kebun, warga tetap bersemangat bergotong royong karena perasaan tolong-menolong.
“Ayo, kita sempolo (ayo, kita gotong-royong). Bilo sempolo (kapan gotong-royong)? Sempolonya ngapain? Naso (menanam padi)," tutur Syamsiah dalam Bahasa Balik. Ia menirukan percakapan warga setiap membahas gotong royong.
Menurut Syamsiah, tugas laki-laki dan perempuan saat sempolo naso tidak dibedakan. Mereka menebang pohon, merintis semak, mencabut rumput, membakar, menanam padi, hingga manduk (membakar sampah). Menjelang makan siang, seluruh warga masak bersama-sama. Setelah itu adalah santap siang.
“Sekarang, warga Balik resah. Sempolo naso hanya sebagian hal. Eksistensi kami di tanah leluhur kini terancam. Kami sudah tidak punya hutan dan sekarang bisa terkena proyek IKN,” tutur Syamsiah yang merupakan ketua komunitas Perempuan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sepaku Lama.
Ia menegaskan bahwa apapun yang terjadi, tetap tinggal di Sepaku Lama. Tak peduli warga yang lain pindah, Syamsiah bersikeras dengan tekadnya. “Biar sendirian di tengah kota dan gedung-gedung, biar rumah saya ecek-ecek di situ, tidak apa-apa. Sampai mati pun, yang penting bagi saya tetap mempertahankan tanah ini,” tegasnya.
Ketua AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk, membenarkan bahwa keberadaan masyarakat adat yang bergantung hidup dari berladang kian terancam. Padahal, hampir semua masyarakat adat di Kaltim memiliki kebiasaan ladang gilir-balik atau berpindah-pindah. Menanam padi gunung secara gotong-royong, sebutnya, ditemukan di berbagai komunitas Dayak, Kutai, maupun Paser.
“Termasuk suku balik di IKN. Kehidupan berladang sudah menjadi bagian dari sistem masyarakat adat. Seharusnya, ada kebijakan atau regulasi pemerintah yang menjamin hak berladang sesuai tradisi mereka,” jelas Saiduani.
Ia menyelipkan pesan penting dari fenomena ini. Tidak pernah ada catatan bahwa pertanian gilir balik masyarakat adat sampai menyebabkan penggundulan hutan besar-besaran. Sistem pertanian seperti ini malah menjaga kesuburan tanah karena ada siklus perpindahan lahan yang digarap. Faktanya, kata Saiduani, industri perkayuan, perkebunan besar, dan pertambangan yang izinnya diterbitkan pemerintah-lah yang merusak hutan Kaltim secara masif. (*)
Laporan ini merupakan kontribusi Salsabila, aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim