• Berita Hari Ini
  • Warta
  • Historia
  • Rupa
  • Arena
  • Pariwara
  • Citra
Kaltim Kece
  • PARIWARA
  • Betapa Pentingnya Keberadaan Ekosistem Lahan Basah untuk Kaltim

Betapa Pentingnya Keberadaan Ekosistem Lahan Basah untuk Kaltim

Ekosistem lahan basah berperan penting menjaga lingkungan hidup, juga mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. 
Oleh Giarti Ibnu Lestari
24 September 2022 02:19
ยท
6 menit baca.
Dewan Daerah Perubahan Iklim Kaltim mengadakan coffee morning di Hotel Mercure di Samarinda Kota.
Dewan Daerah Perubahan Iklim Kaltim mengadakan coffee morning di Hotel Mercure di Samarinda Kota.

kaltimkece.id Demi mempercepat terwujudnya Kalimantan Timur Hijau, pemerintah provinsi dan para pemangku kepentingan terkait mengembangkan aksi kolaborasi yang dikenal dengan  Green Growth Compact (GGC). Kesepakatan yang dibentuk pada 2016 ini merupakan upaya untuk merangkul semua pihak, baik pemerintah, swasta, lembaga non-pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat adat, hingga masyarakat sipil, untuk menciptakan Kaltim Hijau.

Pemprov Kaltim menyadari bahwa pembangunan hijau merupakan tanggung jawab bersama. Sejumlah pihak bahkan telah menyusun rencana aksi, mengumpulkan sumber daya, dan berkomitmen mencapai pembangunan hijau. Jika hanya mengandalkan segelintir orang, Kaltim Hijau diyakini sukar terwujud.

Sejak dideklarasikan, GGC telah berkembang secara operasional. Ini dapat dilihat dari telah ditandatanganinya model-model inisiatif yang akan mendorong percepatan tercapainya Kaltim Hijau. Hingga saat ini (2022), terdapat 11 inisiatif model yang telah disepakati. Kesebelas inisiatif model itu yakni program karbon hutan Berau, kemitraan pengelolaan kawasan Delta Mahakam, forest carbon partnership programme, kesatuan pengelolaan hutan, percepatan perhutanan sosial, perkebunan berkelanjutan, kemitraan kelompok tani peduli api, aksi inspiratif warga untuk perubahan, pengelolaan kawasan ekosistem esensial bentang awal orangutan Wehea-Kelay, kampung iklim; serta aksi mitigasi dan adaptasi Balikpapan.

Kamis, 22 September 2022, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim mengadakan coffee morning di Hotel Mercure di Samarinda Kota. Penyelenggaraannya mendapat dukungan penuh dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Coffee morning merupakan salah satu upaya untuk memperkuat proses komunikasi dan koordinasi antara representasi pemangku kepentingan dalam program GGC mengenai pengembangan inisiatif model di lapangan serta dukungan yang diperlukan. Kegiatan  ini membahas dua hal yaitu menggali perkembangan inisiatif model GGC dari hasil monev serta membahas inisiatif model potensial yang akan dibangun dalam kerangka kesepakatan pembangunan hijau di Kaltim.

Kawasan ekosistem lahan basah di Kecamatan Long Mesangat, Kutai Kartanegara.

Inisiatif model potensial yang akan dibangun dan dikembangkan adalah ekosistem gambut di Desa Muara Siran, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Selain itu, ekosistem lahan basah di Danau Mesangat, Kecamatan Long Mesangat; dan Danau Kenohan Suwi di Muara Ancalong, Kutai Timur.

Ketua Yayasan Biosfer Manusia (Bioma), Akhmad Wijaya, membuka coffee morning dengan memaparkan ekosistem gambut Muara Siran, termasuk model atau prototipe untuk membangun pertumbuhan hijau di Kaltim dengan kasus ekosistem gambut di Desa Muara Siran. Bioma disebut tidak melakukan pendampingan secara rutin di desa tersebut tetapi mereka konsisten ke desa tersebut sejak pertama kali pendampingan dilakukan pada 2012.

Di Desa Muara Siran, Bioma mendorong masyarakat mengoptimalkan perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut. Apalagi, budi daya sarang burung walet banyak di desa ini. “Adanya budi daya sarang burung walet membuat masyarakat jadi lebih peduli terhadap ekosistem gambut,” ucap Akhmad Wijaya.

Yayasan Bioma juga mendorong ekosistem gambut di Desa Muara Siran menjadi insiatif model GGC. Ada tiga alasannya. Pertama, untuk menghilangkan stigma bahwa masyarakat yang hidup di sekitar hutan miskin. Mengingat, tidak semua orang yang tinggal di sekitar hutan miskin. Kedua, mendorong Desa Muara Siran menjadi rujukan tempat pembelajaran pengelolaan gambut. Alasan yang terakhir adalah mengembangkan restorasi berbasis masyarakat dengan skema timbal balik. Contohnya, Bioma membangunkan sarang burung walet untuk masyarakat. Sebagai gantinya, masyarakat diharuskan menanam di sekitar bangunan sarang burung walet itu tanpa bantuan dari Bioma.

Setelah pemaparan Akhmad Wijaya selesai, Ketua Yayasan Ulin, Suimah, melanjutkan jalannya acara. Ia memaparkan tentang pengelolaan kawasan ekosistem esensial (KEE) lahan basah Mesangat-Suwi. Suimah mengatakan, mengelola KEE lahan basah Mesangat-Suwi sangat penting karena sedimentasi di lahan basah selalu terjadi setiap 10 tahun. Untuk meminimalkan laju sedimentasi, perlu ada gerakan bersama. Misalnya, perusahaan di hulu tidak melakukan praktik-praktik yang dapat merugikan lingkungan hidup. Jika sudah mengantongi izin perkebunan, maka harus menanam dengan baik sesuai ketentuan. Cara-cara seperti ini diyakini dapat meminimalisasi laju sedimentasi.

“Pengelolaannya juga harus berkolaborasi karena sesuatu yang dilakukan sendiri itu agak sulit,” ujarnya.

Kondisi Danau Kenohan Suwi di Muara Ancalong, Kutai Timur.

Ia pun memberkan alasan timnya menangani KEE Mesangat-Suwi. Yakni untuk melindungi Danau Mesangat yang menjadi haibtat buaya air tawar, termasuk satwa-satwa langka lainnya. “Di sana ada rusa, beruang madu, hingga orangutan. Burung-burung air yang dilindungi juga banyak di sana, bahkan ada burung migran,” beber Suimah yang menjabat sebagai Sekretaris 1 Forum Pengelola KEE Mesangat-Suwi.

Tantangan pengelolaan lahan basah, sambung dia, salah satunya yaitu lokasi yang jauh dari pusat kota. Dari Samarinda, waktu tempuhnya mencapai 5 hingga 6 jam. Perjalanan ke lahan basah kemudian dilanjutkan menggunakan perahu. Penggunaan perahu ini juga terbatas.

Suimah menambahkan, lahan basah tidak seperti danau yang terbuka. Di sana juga ada hutan rawa sehingga perjalanannya semakin sulit. Mesangat-Suwi merupakan dua areal yang berbeda tipologinya. Di Mesangat terdapat hutan rawa, rawa, dan riparian. Sedangkan di Suwi, ada riparian dan rawa. Posisi Mesangat juga berada agak di ketinggian. Rasa air di sana pun agak asam.

“Lahan basah itu untuk menjaga keseimbangan lingkungan, tempat parkirnya air. Kalau lahan basah tidak ada, maka akan terjadi kekeringan di suatu daerah sehingga dapat menimbulkan bahaya,” urai Suimah.

Infografik ekosistem lahan basah punya banyak manfaat untuk Kaltim.
DESAIN GRAFIS: MUHAMMAD IMTIAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID

 

Dampak Ekosistem Lahan Basah

Ekosistem lahan basah disebut memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan sosial, ekonomi, maupun ekologi. Ekosistem ini semakin strategis keberadaannya karena Pemprov Kaltim sedang menjalankan program Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF). Pasalnya, ekosistem lahan basah menyimpan banyak stok karbon yang jumlahnya, beberapa kali lipat lebih besar daripada yang dimiliki ekosistem terestrial (seperti hutan).

Oleh sebab itu, Ketua Harian DDPI Kaltim, Profesor Daddy Ruhiyat, meminta semua masyarakat menjaga keberadaan ekosistem lahan basah. Jika ekosistem ini sampai terbakar, kata dia, maka akan menghasilkan polusi yang dapat diprotes banyak negara.

“Penting bagi Kaltim, dan Indonesia pada umumnya, untuk sama-sama menjaga serta memelihara keamanan ekosistem lahan basah. Salah satunya adalah mangrove,” ujar. Menjaga ekosistem lahan basah, sambungnya, juga tidak ada ruginya karena memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan menjaga lingkungan hidup.

Untuk mempercepat terwujudnya Kaltim Hijau, diperlukan andil banyak pihak. Program green growth compact memfasilitasi keperluan itu. Mengingat, program ini bertujuan membangun kolaborasi para pihak untuk menangani berbagai isu lingkungan hidup di Kaltim.

 

Ketua Harian DDPI Kaltim, Profesor Daddy Ruhiyat.

Mengenai ekosistem gambut Muara Siran dan Pengelolaan KEE Lahan Basah Mesangat-Suwi akan menjadi inisiatif model ke-12, Prof Daddy Ruhiyat tak menjawabnya secara gamblang. Hanya saja, ia mengatakan, pengelolaan gambut di Desa Muara Siran dan lahan basah di Mesangat-Suwi telah memberikan warna baru bagi insiatif-inisatif model yang sudah ada dalam program GGC. Kedua pengelolaan tersebut akan melengkapi tujuan Kaltim untuk melindungi ekosistem-ekosistem yang ada supaya manfaatnya dapat dirasakan semua pihak.

Prof Daddy Ruhiyat menyebut, Kaltim memiliki ekosistem gambut seluas 342 ribu hektare. Sebagian besarnya ada di Mahakam Tengah, meliputi Kutai Kartanegara, Kutai Barat, dan Kutai Timur. Sisanya di Berau dan Kabupaten. Keberadaan gambut di Mahakam Tengah ini sangat penting bagi Kaltim karena lahan gambutnya telah banyak terbakar.

“Banyak masyarakat, terutama yang tinggal di Mahakam Tengah, menggantungkan hidup dari ekosistem gambut. Sehingga, kalau kita melestarikan ekosistem gambut, itu berarti kita juga membantu mereka untuk dapat terus memanfaatkan potensi yang ada di gambut,” pungkas Prof Daddy Ruhiyat. (*)

Editor : Surya Aditya
Iklan Above-Footer

Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi kaltimkece.id

Gabung Channel WhatsApp
  • Alamat
    :
    Jalan KH Wahid Hasyim II Nomor 16, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara.
  • Email
    :
    [email protected]
  • Phone
    :
    08115550888

Warta

  • Ragam
  • Pendidikan
  • Lingkungan
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Humaniora
  • Nusantara
  • Samarinda
  • Kutai Kartanegara
  • Balikpapan
  • Bontang
  • Paser
  • Penajam Paser Utara
  • Mahakam Ulu
  • Kutai Timur

Pariwara

  • Pariwara
  • Pariwara Pemkab Kukar
  • Pariwara Pemkot Bontang
  • Pariwara DPRD Bontang
  • Pariwara DPRD Kukar
  • Pariwara Kutai Timur
  • Pariwara Mahakam Ulu
  • Pariwara Pemkab Berau
  • Pariwara DPMD Kutai Kartanegara

Rupa

  • Gaya Hidup
  • Kesehatan
  • Musik
  • Risalah
  • Sosok

Historia

  • Peristiwa
  • Wawancara
  • Tokoh
  • Mereka

Informasi

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
© 2018 - 2025 Copyright by Kaltim Kece. All rights reserved.