kaltimkece.id Dua belas tahun silam, sejumlah pejabat pemerintah daerah di Kaltim bersama akademikus perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan kalangan swasta mendeklarasikan ‘Kalimantan Timur Hijau’. Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh sejumlah kesadaran. Salah satunya menyadari kondisi ekosistem Kaltim telah mengalami degradasi sehingga diperlukan upaya-upaya nyata untuk memperbaikinya. Dalam upaya ini diperlukan perangkat kebijakan, tata kelola pemerintah, serta program-program pembangunan yang mendukung perlindungan sosial dan ekologis bagi masyarakat, termasuk keberlangsungan lingkungan hidup.
Hal lainnya adalah menyadari terjadinya pemanasan global yang menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim global. Deforestasi dan degradasi hutan dan lahan disebut menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, pencegahan perusakan hutan, termasuk memperbaiki kualitas hutan melalui restorasi, reboisasi, serta rehabilitasi hutan dan lahan, perlu dilakukan.
Secara garis besar, ada lima hal yang menjadi tujuan dari semua upaya ini. Pertama, meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kaltim secara menyeluruh dan seimbang, baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan hidup. Kedua, mengurangi ancaman bencana ekologi dan dampak perubahan iklim seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lahan di Kaltim. Ketiga, mengurangi terjadinya pencemaran dan pengerusakan kualitas ekosistem darat, air, dan udara di Kaltim.
Adapun tujuan yang keempat, yaitu meningkatkan pengetahuan dan menumbuhkembangkan kesadaran seluruh masyarakat Kaltim akan pentingnya pelestarian sumber daya alam (SDA) terbarukan dan pemanfaatan SDA tidak terbarukan secara bijak. Tujuan yang terakhir yakni berkontribusi dalam rencana pembangunan nasional dalam penurunan emisi sebanyak 29 persen sampai 2030 secara nasional.
Semua penjelasan tersebut tertuang dalam buku Final Report Evaluasi dan Analisis Dampak Perkembangan Program Green Growth Compact, Kaltim (2021), yang penerbitannya didukung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Kondisi hutan di Kalimantan Timur.
Pada 28 Maret 2011, Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, menerbitkan Peraturan Gubernur 22/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau. Pasal 3 dalam peraturan mengatur soal tujuan Kaltim Hijau. Latar belakang munculnya kesadaran yang mendasari lahirnya deklarasi Kaltim Hijau terekam dalam dua dokumen yang terbit pada 2010. Salah satu dokumen bertajuk Sumbang Pemikiran dari Dewan Kehutanan Daerah Kaltim. Dalam dokumen ini disampaikan beberapa dasar pemikiran. Pertama, bahwa pola pemanfaatan SDA, baik yang renewable maupun non-renewable sebagai basis pembangunan di Bumi Etam masih harus dikawal, diawasi, dan dikendalikan. Dalam hal ini, peran dan intervensi pemda sebagai regulator, fasilitator, dan inovator pembangunan sangat diperlukan. Ini agar pembangunan yang multisektor dapat diwujudkan.
Dasar kedua yaitu soal degradasi SDA yang telah masuk fase mengkhawatirkan. Laju deforestasi disebut mencapai sekitar 350 ribu hektare per tahun, 32,4 persen di antaranya yang berupa kawasan hutan DAS tergolong sangat kritis. Ada pula penjelasan terjadi 20 peristiwa bencana alam pada 2007, enam di antaranya adalah tanah longsor.
Dasar ketiga yaitu soal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim yang sebagian besar disumbang dari sektor pertambangan. Adapun industri pengolahan menempati posisi kedua sebagai penyumbang PDRB.
Keempat, perlu adanya kebijakan yang mengatur investasi dan re-investasi dalam pemanfaatan SDA sebagai mesin pembangunan. Kebijakan ini agar SDA mendapat perhatian mendasar bagi keberlanjutan pembangunan, terutama SDA yang renewable.
Dokumen kedua mengenai dasar deklarasi Kaltim Hijau bertajuk Strategi Pembangunan Kalimantan Timur yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan. Dokumen ini mengemukakan beberapa hal. Satu di antaranya merespons perkembangan global dan nasional terkait perubahan iklim dan penurunan gas rumah kaca atau GRK. Pemprov Kaltim berencana mempelopori jalur pembangunan baru yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan emisi gas rumah kaca.
Sebelum era 2000, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen yang didominasi sektor minyak dan gas. Setelahnya, pertumbuhan ekonomi menurun. Di bawah skenario pertumbuhan bisnis seperti biasa (business as usual/BAU), proyeksi perekonomian Kaltim hanya akan tumbuh di tingkat sedang yaitu tiga persen per tahun. Mengingat, sumber pertumbuhan baru seperti pertambangan batu bara, kelapa sawit dan jasa sebagian akan terimbangi dengan penurunan minyak dan gas.
Pembangunan ekonomi masih menjadi hal yang sangat penting bagi Kaltim karena pengangguran berada di tingkat 11 persen pada 2008. Rata-rata belanja penduduk untuk keperluan rumah, makan dan kebutuhan dasar pun hanya Rp 420.000 per bulan. Sektor-sektor yang hanya menyumbang sepersepuluh PDRB Kaltim berkontribusi terhadap 68 persen emisi Kaltim. Sektor-sektor tersebut, di antaranya, pertanian, kehutanan dan perkebunan kelapa sawit, juga menghasilkan emisi Kaltim melalui deforestasi, perusakan hutan, pembakaran dan pengeringan lahan gambut yang kaya karbon. Kaltim dapat menurunkan presentasi karbon hingga 50 persen dari lintasan bisnis seperti biasanya (business as usual) hingga 2030. Lima sektor utamanya yaitu kelapa sawit, kehutanan, pertanian, tambang batu bara, dan minyak dan gas.
Selain dibutuhkan program dan biaya, melaksanakan komitmen Kaltim Hijau juga dibutuhkan kejelasan kelembagaan yang akan mengelola bagaimana skenario tersebut dilaksanakan karena menyangkut tugas dan tanggung jawab serta sistem tata kelolanya. Pasal 5 dalam Pergub 22/2011 menyebutkan bahwa kelembagaan Kaltim Hijau terdiri dari berbagai unsur pemangku kepentingan yang dikoordinasikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi. Struktur organisasi dan tata hubungan kerja akan diatur melalui keputusan gubernur.
Lembaga yang kini didapuk sebagai koordinasi untuk pembangunan hijau Kalimantan Timur adalah Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI). DDPI tidak hanya berperan dalam mengoordinasikan kegiatan-kegiatan yang tidak terbatas dalam pelaksanaan pengendalian perubahan iklim, melainkan dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pencapaian Kaltim Hijau pula.
Gagasan Kaltim Hijau menjadi komitmen sejumlah pihak untuk mewujudkan Kaltim yang memiliki perangkat kebijakan, tata kelola pemerintahan, serta program-program pembangunan yang memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat. Selain itu, memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan hidup yang relevan hingga saat ini.
Tentang Green Growth Compact
Agar Kaltim Hijau cepat tercapai, maka pada 2016 lahirlah sebuah gerakan untuk mengonsolidasikan para pihak dalam berbagai inisiatif model yang disebut sebagai Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC). GGC dideklarasikan pada 29 Mei 2016. Penandatanganan deklarasi tersebut dilaksanakan di Samarinda dan dihadiri sejumlah pejabat dari Pemprov Kaltim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, enam pemerintah kabupaten/kota, perwakilan dari empat perguruan tinggi, empat perusahaan swasta pengelola sumber daya alam, satu organisasi masyarakat, dua lembaga internasional non-pemerintah, serta donatur.
Untuk memperluas dukungan, deklarasi tersebut dilanjutkan di tingkat nasional pada 26 September 2016 di Jakarta. Deklarasi tingkat nasional ini dihadiri KLHK, Bappenas dan lembaga pemerintah lain di tingkat pusat. Ada pula perusahaan dan korporasi besar dari sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan batu bara maupun migas yang beroperasi di Kaltim. Selain itu akademikus dan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat.
Deklarasi juga dihadiri perwakilan dari negara-negara sahabat yang menjalin kerja sama bilateral dan multilateral. Tiga di antaranya adalah Amerika Serikat, Norwegia, dan Australia.
GGC juga mendorong terjadinya kerja sama dengan sejumlah pihak, baik yang melakukan inisiatif maupun yang belum melakukan inisiatif dalam menciptakan Kaltim Hijau. Deklarasi kesepakatan yang ditandatangani di Samarinda dan Jakarta tersebut merupakan sebuah kesepakatan induk yang mendorong dibentuknya kesepakatan-kesepakatan berikutnya di tingkat operasional. Ini untuk mendorong implementasi Kaltim Hijau.
Deklarasi tersebut kembali diperkuat oleh para pihak dalam acara pertemuan tahunan bertajuk The Governor’s Climate and Forest Task Force di Balikpapan pada 27 September 2017. Dalam acara tersebut, ditandatangani nota kesepahaman atas inisiatif-inisiatif model yang akan dikembangkan di Kaltim.
Salah satu kawasan yang menjadi bagian dari gerakan Kaltim Hijau.
Tim DDPI Kaltim dan Tim Pengarah GGC pada 2017 menyusun peta jalan kesepakatan pembangunan hijau (green growth compact) Kaltim yang berisi gambaran, arah, dan panduan pelaksanaan GGC Kaltim, termasuk panduan dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya.
Pada 2022, Kesepakatan Pembangunan Hijau sudah memiliki 11 inisiatif model. Serangkaian kebijakan berbasis pembanguan hijau pun sudah disusun antara lain Master Plan Perubahan Iklim, Peraturan Daerah Perkebunan Berkelanjutan, Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Area Bernilai Konservasi tinggi dan sederet aturan pendukung lainnya (*)