kaltimkece.id Hulu Sungai Mahakam diperkirakan telah dihuni empat ribu hingga enam ribu tahun lalu. Sebagaimana di penjuru Kalimantan, nenek moyang suku Dayak di hulu Sungai Mahakam disebut berasal dari utara.
Teori Mikhail Coomans, dalam bukunya berjudul Manusia Daya, Sekarang dan Masa Depan (1999), adalah yang paling sering dijadikan rujukan. Coomans, uskup pertama di Samarinda, menyatakan bahwa orang Dayak datang dari daratan Asia yaitu Provinsi Yunan di selatan Tiongkok. Namun, beberapa teori lain bahwa nenek moyang suku Dayak telah hidup di Kalimantan sejak zaman es, juga sering dibahas.
Masyarakat hulu Sungai Mahakam merupakan bagian dari suku Dayak di Kalimantan. Antropolog JU Lontaan, dalam bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat (1975), membagi suku Dayak menjadi enam rumpun besar dengan 405 subsuku. Rumpun yang banyak mendiami hulu Sungai Mahakam adalah Apokayan atau Kenyah-Kayan-Bahau. Sebagian kecil subsuku dari rumpun yang lain diketahui turut mendiami kawasan yang kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Mahakam Ulu.
Masyarakat Dayak sebagian besar tinggal di hulu sungai dan hidup berpindah-pindah. Mereka diketahui hidup berdampingan dengan berbagai kerajaan sejak zaman Kutai kuno. Kerajaan itu ialah Kutai Martadipura yang berdiri sejak abad kedua ketika Hindu-Buddha masuk Nusantara. Kerajaan tertua di Indonesia tersebut pertama kali dipimpin Kudungga. Masa keemasannya di bawah pemerintahan Raja Mulawarman.
Pada masa itu, relasi antara orang-orang Dayak dan kerajaan terus dirajut hingga Kutai Kartanegara menaklukkan Kutai Martadipura pada abad ke-14. Sampai menjadi kesultanan setelah Islam datang, orang Kutai dan Dayak memiliki hubungan yang sangat erat (Awang Faroek Ishak di Mata Sahabat, 2013).
Sebutan Dayak bagi orang-orang yang hidup di hulu sungai dan pedalaman hutan Kalimantan mulai digunakan pada masa kolonial Hindia Belanda. Seorang ilmuwan Belanda, Doktor August Kaderland, adalah orang yang pertama kali memakai istilah Dayak pada 1895. Setelah banyak perdebatan mengenai arti Dayak, Coomans menyimpulkan, Dayak adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai.
Pada masa kolonial, wilayah hulu Mahakam juga mulai disebut. Belanda mulai menata wilayah administratif Kesultanan Kutai menyusul berlakunya Decentralisatie Wet, Undang-Undang Desentralisasi pada 1903. Kesultanan Kutai dibagi dalam dua wilayah administratif. Wilayah pertama adalah Hulu Mahakam dengan pusat pemerintahan di Long Iram. Wilayah kedua disebut Vierkante Pall yang berpusat di Samarinda (Situs Resmi Pemkab Mahulu: Sejarah Mahakam Ulu, 2018).
Wilayah Kesultanan Kutai dipecah kembali menjadi empat onderafdeeling atau bagian pada 1930. Zuid Kutai berkedudukan di Balikpapan, Oost Kutai berkedudukan di Samarinda, West Kutai berkedudukan di Tenggarong, dan Boven Mahakam berkedudukan di Long Iram. Secara harfiah, Boven Mahakam dapat diartikan sebagai "utara Sungai Mahakam."
Masa Kemerdekaan
Memasuki masa kemerdekaan pada 1946, wilayah Kesultanan Kutai dibagi dalam dua kepatihan yaitu Kutai Barat dan Kutai Tengah. Kalimantan Timur masih berbentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Kutai ketika itu. Setelah Undang-Undang 27/1959 berlaku, Provinsi Kalimantan Timur terbentuk. Kaltim pada mulanya hanya terdiri dari Kotapraja Balikpapan, Kabupaten Tingkat II Kutai, dan Kotapraja Samarinda (Sejarah Kota Samarinda, 1986). Wilayah hulu Mahakam yang terdiri dari dua kecamatan yaitu Long Iram dan Long Pahangai masuk Kabupaten Kutai.
Sepanjang Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, kondisi hulu Sungai Mahakam sangat tertinggal. Wilayah administrasi yang hanya terdiri dari dua kecamatan tadi membuat pelayanan pemerintah sangat jauh dari masyarakat. Untuk mencapai ibu kota kabupaten di Tenggarong, warga hulu Mahakam harus menempuh perjalanan hingga tiga hari tiga malam. Warga menyusuri sungai sejauh 500 kilometer, sebanding Jakarta-Semarang yang hanya memerlukan 6 jam berkendara lewat jalan tol.
Pintu perhatian pemerintah baru terbuka memasuki era reformasi. Ketika Undang-Undang 22/1999 diberlakukan, Kabupaten Tingkat II Kutai dimekarkan menjadi empat wilayah administratif. Kutai Kartanegara sebagai kabupaten induk dipecah menjadi Kutai Timur, Kutai Barat, dan Bontang. Hulu Mahakam atau Boven Mahakam masuk Kabupaten Kutai Barat. Jumlah kecamatan yang sebelumnya hanya dua dimekarkan menjadi lima, yakni Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai, dan Long Apari.
Kendati sudah dimekarkan, pembangunan yang bisa dinikmati masyarakat belumlah banyak. Dari lima kecamatan di hulu Sungai Mahakam, tidak satu pun jalan darat yang terhubung ke ibu kota kabupaten di Sendawar. Warga di lima kecamatan yang terpinggirkan hanya mengandalkan sungai sebagai jalur transportasi, sama seperti ratusan tahun sebelumnya.
Atas ketertinggalan itu, sejumlah tokoh masyarakat hulu Mahakam memperjuangkan pemekaran. Tidak sia-sia, dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di Jakarta, Kabupaten Mahakam Ulu disahkan sebagai daerah otonomi baru hasil pemekaran Kutai Barat. Ketetapan itu dicatat dalam Undang-Undang 2/2013. Hari jadi Kabupaten Mahulu ditetapkan pada 20 Mei 2013 dan beribu kota di Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun.
Dalam pilkada serentak 2015, Bonifasius Belawan Geh terpilih sebagai bupati definitif pertama di Mahulu. Bupati Bonifasius yang mengetahui benar latar belakang berdirinya Mahulu memiliki satu tekad kuat. Dia tidak ingin Mahulu terus terpinggirkan. Mahulu harus mengejar ketertinggalan dengan membangun infrastruktur yang layak. "Pemerintah harus hadir di setiap rumah warga. Itu sebabnya, saya mencanangkan program Gerbangmas," tegasnya. (*)