kaltimkece.id Prof Esti Handayani Hardi memulai riset jamu ikan pada 2012. Berangkat dari keresahan mengenai praktik budidaya ikan yang masih akrab dengan produk-produk untuk manusia. Terkendala mahalnya pengiriman obat khusus ikan dari luar pulau.
“Dari situ saya mikir, tanaman Kalimantan ada banyak kenapa enggak Kalimantan bikin obat untuk perikanan?” sebut Prof Esti kepada kaltimkece.id, awal Oktober lalu. Dari ragam tanaman di Kalimantan, terutama Kaltim, dengan manfaatnya yang bermacam-macam, akhirnya diuji coba kombinasi ideal menjadi jamu ikan. Hasilnya adalah yang kini diproduksi secara masif. Diperuntukkan ikan air tawar hingga ikan laut dan udang .
Jamu ikan hasil riset Esti sudah tahap industrialisasi. Turut dimodali pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang tak mudah didapatkan. “Pengajuannya agak ribet. Satu project saja bisa sampai Rp 2 miliar. Saya dapat Rp 1,9 miliar untuk menjadikan hasil riset ini produk yang siap dikomersialisasikan,” terangnya.
Ketika memulai riset tersebut pada 2012, Esti juga mendapat pendanaan Kemenristekdikti selama 6-7 tahun yang kalau diakumulasikan nilainya mencapai Rp 4 miliar. Penelitian pun dimulai. Mencari tanaman awal yang berpotensi. Diutamakan tanaman yang tak bersinggungan produk untuk manusia. Sehingga lebih murah dan mudah didapatkan. Terutama dalam hal budidaya.
Dari riset awal, ditemukan 32 jenis tanaman potensial yang memiliki kemampuan antibakterial, immunosimultan, prebiotik dan adjuvant. Hingga setelah berbagai pendalaman, mengerucut ke tiga jenis tanaman. Yakni Temu Kunci (Boesenbergia pandurata), Terung asam (Solanum ferox), dan Lempuyang (Zingiber zerumbet).
Untuk mendapatkan bahan baku tersebut, doktor ilmu akuakultur jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut bekerja sama dengan dua petani dari Desa Giri Agung, Sebulu, dan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Dibeli dengan harga relatif tinggi. Antara Rp 12-15 ribu per kilogram. Dalam produksi jamu ikan sepekan, bisa menghabiskan hingga 100 kilogram tanaman.
Di sinilah kemudahan bahan baku memiliki peranan penting. Terung asam biasanya panen setelah 6-7 bulan penanaman. Sedangkan lempuyan bisa lebih cepat yakni 4-5 bulan. Demi menjaga kualitas dan rasa, jamu ikan mesti diolah dengan bahan baku dari sumber yang sama.
Esti membedakan jamu ikan buatannya dalam lima produk. Yakni Bioimun, Biopremix, Biostesi, Biofeed, dan Fitoimun. Masing-masing dibuat dengan bahan baku seragam namun dalam komposisi berbeda. Sesuai peruntukan dan kebutuhan pembudidaya.
Secara umum, produk tersebut berguna meningkatkan nafsu makan ikan. Membuat ikan tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Termasuk perubahan suhu dan bahan organik. Pertumbuhan ikan pun dapat lebih cepat. Juga tahan terhadap penyakit, luka, mata menonjol, nafsu makan menurun, warna tubuh pucat, dan kematian dalam jumlah besar yang disebabkan bakterial golongan Aeromonas serta Pseudomonas.
Jamu tersebut juga membuat hasil panen ikan memiliki daging yang kenyal dan lebih tahan busuk. Yang terpenting juga ramah lingkungan. Mudah hancur dan terurai. Tak menyebabkan residu ikan serta manusia.
Dari pendanaan LPDP, jamu ikan yang dikembangkan terdiri dari dua produk. Yakni Bio Imun dan 3 in 1 Bio Imun. Nama terakhir sedang diuji coba terhadap udang di Lampung serta Malang. Esti juga menjalin kerja sama dengan Balai Riset Perikanan Air Tawar untuk penggunaan produk di Suka Bumi, Maros, dan Jawa Tengah.
Berbagai respons positif didapatkan namun bukan berarti tanpa cela. Satu-satunya keluhan adalah harga yang dianggap kemahalan. Esti mematok satu botol jamu ikan ukuran 100 mililiter sebesar Rp 30-35 ribu. Ia memaklumi jika anggapan produknya kemahalan mencuat di kalangan pembudidaya.
Menurutnya, selama ini pembudidaya ikan bisa mendapatkan obat ikan ukuran 250 mililiter dari Tiongkok hanya dengan membayar Rp 15 ribu. Perbedaan harga yang mencolok disebabkan bahan baku yang digunakan. Produk asal Tiongkok tersebut dibuat dengan berbagai bahan kimia. Sedangkan jamu ikan murni bahan alami.
Umumnya, obat ikan dari bahan kimia memiliki keefektifan yang lebih tinggi. Namun demikian, rentan memberi berbagai efek samping. Bisa terasa dengan cepat atau jangka panjang. “Dihitung secara ekonomi dengan yang kimia, jamu ini memang lebih mahal. Tapi perlu diperhatikan sisi keberlanjutannya dengan memakai bahan alami. Tak meninggalkan residu, tidak menyebabkan resisten, dan mencegah ikan kebal terhadap obat. Kalau menggunakan antibiotik kemungkinan mengalami resisten tinggi,” urai Esti.
Secara jangka panjang, penggunaan jamu ikan juga bakal lebih bermanfaat terhadap manusia. Memungkinkan masyarakat mengonsumsi ikan yang jauh dari paparan zat kimia. Hal ini sudah umum di luar negeri namun tidak dengan Indonesia. Di Tanah Air, masih sulit menemukan obat ikan menggunakan 100 persen bahan alami. Produk serupa dari negeri inipun sulit menembus pasar internasional yang umumnya menolak produk mengandung antibiotik.
Esti pun turut mengincar pasar ekspor kelak. Namun kini ia fokus terhadap tahap industrialisasi yang tengah berlangsung. Untuk dapat dikomersialisasikan, izin edar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI tengah berproses. Hasil laboratorium telah didapat dan dinyatakan sesuai kriteria. Tersisa pengurusan berkas sebagai tanda resmi produk tersebut mendapat izin edar.
Ketika pengesahan izin edar dari KKP telah dikantongi, jamu ikan buatan Esti menjadi produk pertama dalam daftar obat KKP yang terbuat dari 100 persen bahan alami. Dan untuk mendapat izin edar bukanlah mudah. Produk jamu ikan mesti melewati berbagai tahapan. Terutama di level kestabilan yang begitu menantang untuk produk berbahan alami.
“Keberagaman bahan baku, teknik pembuatan, dan packaging memengaruhi keefektifannya karena bahan yang labil. Maka kami mencoba memroses dengan memenuhi SOP sehingga memiliki standar yang sama. Siapapun yang memakai memiliki efek yang sama,” urai Esti.
“Sehingga, bahan baku jamu ikan harus dari satu sumber. Dan prosesnya juga harus memenuhi persyaratan. Dari pemotongan, pengeringan, hingga filling atau pencampuran,” sambungnya.
Dalam seminggu, jamu ikan diproduksi sebanyak seribu botol. Esti dibantu dua staf yang pengerjaannya dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Industri Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Disalurkan kepada pembudidaya ikan yang mayoritas berasal dari Jawa Barat, Lampung, Pekalongan, Jawa Timur, dan Gorontalo. Sedangkan dari Kaltim meliputi Sangatta, Kutai Timur; hingga Muara Kaman, Kukar. Distributor produk jamu ikan ini juga terdapat di Jawa Barat dan Jakarta. Bisa pula didapatkan di situs e-commerce Tokopedia. “Di Loa Kulu juga ada petani besar yang sekaligus menjadi distributor untuk daerah Loa Kulu,” terang Esti.
Hasil riset Esti pada 2012, tak hanya melahirkan produk jamu ikan yang punya manfaat hebat. Berbagai dana riset kompetisi berhasil diperoleh dalam rangka hilirisasi produk obat ikan alami. Untuk kedua produk Bioimun dan 3 in 1 Bioimun mendapatkan pendanaan dari LPDP melalui program RISPO kompetitif untuk industrialisasi dengan menggandeng mitra Industri CV Bioiperkasa dan PT Nutritek Pratama Indonesia, serta Minapoli sebagai mitra distributor dan pemasaran.
Tidak hanya produk, riset itu juga bagian dari lebih 30 publikasi ilmiah skala nasional maupun internasional terindeks scopus buatannya. Menjadi salah satu parameter penilaian Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengganjar Esti gelar profesor atau guru besar dalam bidang ilmu parasit dan ilmu ikan pada Oktober 2019. Kala itu, perempuan kelahiran Lampung 1980 tersebut baru berusia 39 tahun. Bersama sembilan guru besar lainnya, ia dikukuhkan sebagai guru besar di ruang pertemuan lantai 4 Rektorat Unmul pada 25 Februari 2020. (*)
Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: