kaltimkece.id Belum genap dua tahun bergabung dengan partai politik. Tapi Muhammad Luthfi sudah menyukai politik sejak lama. Bahkan saat masih duduk di bangku SMP.
Sebenarnya tak ada darah politikus mengalir dalam tubuhnya. Tak satupun orang politik dalam keluarganya. Luthfi mendapat ketertarikan tersebut secara natural. Kebetulan, sejak masih sekolah ia gemar membaca. Terutama bacaan media cetak. Dari situlah minat dalam dunia politik mengemuka.
Selepas menuntaskan pendidikan menengah atas di SMA 3 Samarinda, Luthfi melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Tapi setelah resmi menyandang gelar sarjana, tak serta-merta memutuskan terjun ke dunia politik.
Ia mendalami perannya di bidang wiraswasta. Membangun peruntungan di dunia bisnis. Menjajaki langkah ke dunia politik, belum begitu dipikirkan. Tapi semua berubah setelah kemunculan Partai Solidaritas Indonesia alias PSI. Partai politik tersebut resmi berdiri lima tahun lalu. Tepatnya selepas Pemilihan Umum atau Pemilu 2014.
Jelang Pemilu 2019, nama PSI semakin melejit. Luthfi salah satu yang ikut tersedot perhatiannya. Pemuda yang kini berusia 26 tahun tersebut, mulai penasaran dan pelan-pelan mendalami keberadaan partai tersebut.
Dari pendalamannya itu, didapati bahwa PSI memberi ide hingga gagasan baru dalam perpolitikan Tanah Air. Dengan cara dan orang-orang yang baru pula. Dengan demikian, PSI sebagai partai baru tak tersandera kepentingan politik lama. Tanpa rekam jejak buruk, beban sejarah, serta citra buruk dari partai politik sebelumnya.
“Pas ada PSI, saya merasa cocok. Sempat kepo-kepo dulu melihat orangnya kayak gimana, ternyata sesuai dugaan. Enggak ada dinasti, lebih enak ngobrol, diskusi, dan pastinya tanpa mahar,” sebut Luthfi kepada kaltimkece.id dalam bincang ringan di sebuah kedai kopi Samarinda, Rabu, 27 November 2019.
Awalnya, langkah Luthfi ke kancah politik tak berjalan mulus. Niatannya tak lepas dari celaan sekitar. Bahkan dari orang terdekatnya. Mulai teman hingga keluarga. Baik yang disampaikan secara langsung, maupun via media sosial.
Tapi Luthfi tak goyah. Yang penting kedua orangtuanya mendukung. Terlebih ia sudah yakin benar dengan langkahnya. Ditandai dengan pencalonan dalam pemilihan legislatif lalu. Maju lewat PSI, Luthfi mencalonkan diri untuk DPRD Samarinda daerah pemilihan Samarinda Ulu.
Meskipun happy ending belum memihak kepadanya dalam kontestasi tersebut, Luthfi mengaku mendapat banyak pelajaran politik dari keikutsertaannya itu. Pengalaman penting dari dunia yang baru digeluti. Mengasah mental untuk semakin kuat dalam dunia perpolitikan.
“Pengalaman yang seru. Banyak belajar dari ketemu warga dan berdiskusi. Meskipun ada yang welcome, ada yang tak acuh. Bahkan sampai meminta mahar,” ungkap Luthfi.
Budaya politik mahar adalah persoalan yang kerap ditemukan Luthfi saat banyak turun lapangan melakukan sosialisasi. Momen ini sekaligus dimanfaatkannya untuk memberi edukasi. Soal bahaya dan risiko budaya politik mahar.
“Realitanya, masyarakat merasakan sendiri tak mengetahui wakilnya di DPRD setelah periode pemilihan usai. Itu yang banyak saya temui saat turun ke lapangan,” sebutnya.
Setelah pemilu berakhir, Luthfi tetap aktif dengan kegiatan diskusi politiknya. Baik dengan sesama kader PSI maupun lintas partai. Berbagi ilmu politik sekaligus permasalahan daerah maupun negara. Silaturahmi begini, rutin dilakukannya sejak sebelum pemilu. Bahkan, tali pertemanan terbentuk secara alami dengan beberapa orang yang notabene kompetitor di pentas politik tempo hari.
Inilah keuntungan Luthfi bergabung ke parpol pada usia muda. Banyak waktu dapat diluangkan untuk sharing dan mendalami politik. Usia yang masih haus akan ilmu dan belajar. Masih sangat leluasa untuk berbuat dan berkarya. “Karena waktu nyaleg pun, setelah bekerja saya banyak di luar, lebih banyak di lapangan,” tutur Luthfi.
Jauh sebelum ini, aktivitas ngobrol-ngobrol memang sudah akrab dengan kesehariannya. Dua tahun terakhir, ia adalah ketua Bubuhan Kopi Samarinda. Komunitas pecinta kopi tersebut rutin sharing dan diskusi dari kedai ke kedai kopi. Dan di sini, tak sedikit orang-orang politik dijumpai. Memulai silaturahmi di meja kedai dengan segelas kopi. Obrolan demi obrolan yang membawa Luthfi semakin mengetahui persoalan Samarinda.
“Karena yang aktual, selain di dapat langsung dari lapangan, ya, dari obrolan di warung kopi,” kelakarnya. (*)