kaltimkece.id Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) merupakan salah satu organisasi gerakan kaum muda anti-otoritarian, yang merupakan salah satu gerakan penentang rezim Orde Baru pada awal 1990-an. Kemunculan ALDERA pada awal 1993 menarik perhatian publik melalui sebuah aksi yang menuntut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) agar tidak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.
Meskipun sejarah mencatat bahwa PDI waktu itu dalam kendali politik Orde Baru, tetap saja mereka mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden, dan acuh tak acuh terhadap berbagai kritik. ALDERA melakukan hal yang berani pada masanya.
Pada Selasa, 28 Februari 2023, diadakan Kuliah Umum dan Bedah Buku ALDERA 'Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999', yang bertempat di GOR 27 September Universitas Mulawarman. Dr Pius Lustrilanang, Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, yang merupakan penggagas buku ALDERA, hadir sebagai pembicara utama, didampingi oleh Kepala BPK Perwakilan Kaltim, Agus Priyono.
Bupati Kutai Timur, Bupati Kutai Kartanegara, Wali Kota Bontang, Wali Kota Samarinda, Ketua DPRD Kutai Timur, Ketua DPRD Bontang, Ketua DPRD Berau, serta jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kaltim juga hadir. Selain itu, jajaran Rektorat Unmul, para dekan, dosen, tenaga kependidikan, staf, dan mahasiswa Unmul turut hadir."
Suasana saat Dr Pius Lustrilanang bercerita kisahnya pada 1998 di GOR 27 September Unmul. FOTO: GIARTI IBNU LESTARI-KALTIMKECE.ID.
Rektor Unmul, Dr Abdunnur, mengatakan bahwa kuliah umum dan bedah buku ALDERA yang dilaksanakan di Unmul merupakan kebanggaan tersendiri. Para mahasiswa dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan salah satu pejuang reformasi Indonesia pada 1998, yakni Dr Pius Lustrilanang.
"Mahasiswa adalah kader bangsa yang harus memperkuat rasa kebangsaan. Oleh karena itu, mereka perlu memahami sejarah reformasi Indonesia," tutur Dr Abdunnur.
Dr Pius Lustrilanang adalah aktivis dan politisi Indonesia. Pius adalah anak ketiga dari enam bersaudara dan lahir di Palembang pada 10 Oktober 1968. Ayahnya bernama Profesor Djamilus Zainuddin dan ibunya bernama Fransiska Sri Haryatni.
Pius menghabiskan masa mudanya untuk membangun jaringan perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru. Hal ini berujung pada penculikan oleh satuan khusus militer. Meskipun diancam akan dibunuh, Pius tetap memberikan kesaksian di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 27 April 1998. Setelahnya, ia berangkat ke Belanda untuk menggalang dukungan dunia internasional terhadap pelanggaran HAM di Indonesia.
Dalam pidato dihadapan mahasiswa Unmul, Dr Pius Lustrilanang mengatakan bahwa ALDERA memainkan peran penting dalam melawan rezim, dengan bergabung bersama rakyat dalam membangun gerakan perlawanan atas perampasan tanah di Jawa Barat. Itulah awal mula bangkitnya ALDERA.
"Gerakan tersebut membangun solidaritas dan menjelma menjadi gerakan politik adiluhung. Sebagai pengontrol sekaligus penentang langsung kebijakan Soeharto," ucap Pius.
Setelah Soeharto jatuh, Pius masuk ke dunia politik, bergabung dengan PAN, lalu PDIP. Karena sikap kritisnya, Pius dipecat dari PDIP pada 2005. Sempat beberapa saat bergabung dengan PDP, sebelum berupaya membangun partai sendiri, PPN, Pius akhirnya bergabung dengan Gerindra. Dalam perjalanan itu, ia terus berkomitmen membangun jaringan kaum muda, khususnya mahasiswa, untuk menjadi kritis dan membela rakyat.
Pius Lustrilanang menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Katolik Parahyangan (1987-1995); pendidikan S2 di jurusan Studi Kepolisian (2004-2006), Universitas Indonesia; dan pendidikan S3 doktor di jurusan Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya (2016-2018).
Pius Lustrilanang memiliki sederet pengalaman kerja, yaitu pada 1996-1997 di Yayasan Akar Rumput Bandung; 1997-2000 sebagai staf di Institut Studi Arus Reformasi, Jakarta; 2000-sekarang sebagai Presiden Direktur PT Brigas Lustrilanang Security, Bogor; 2009-2012 sebagai Wakil Ketua BURT DPR RI; 2014-2019 sebagai Wakil Ketua Komisi IX DPR RI; 2019-2022 sebagai Anggota II BPK RI; dan sejak 2022 hingga saat ini menjabat sebagai Anggota VI BPK RI.
"Gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Agar didengar dan efektif, harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan, tokoh partai yang vokal dan kritis, serta berkolaborasi dengan pers agar tuntutan kita didengar," tutup Pius.
Dalam bedah buku, dua dosen Unmul menjadi narasumber, yaitu Dosen Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul, Sri Murlianti.
Dalam pandangan Herdiansyah Hamzah, buku ALDERA setebal 328 halaman bagi sebagian orang hanya mengandung romantisme belaka. Buku ini menceritakan gerakan yang dilakukan pada 1998. Namun, Pius Lustrilanang dan kawan-kawannya ingin menjembatani generasi yang melakukan gerakan pada 1998 dengan generasi saat ini karena mungkin tidak banyak generasi muda saat ini yang mengenal pergerakan 1998.
Menurut Herdiansyah Hamzah, terdapat semacam strategi gerakan yang bisa diadopsi oleh mahasiswa dan kaum muda saat ini dari gerakan ALDERA. Yaitu, tugas dan tanggung jawab mahasiswa di kampus tidak hanya sebatas belajar, tetapi juga mencoba bertransformasi menjadi intelektual publik yang membela kepentingan publik.
“Ada 2 pesan yang ingin disampaikan oleh Pius dalam buku ini. Pertama, kebiasaan mahasiswa bukan hanya di kampus untuk belajar, tetapi juga bagaimana mentransformasikan apa yang dipelajari agar bisa dibagikan kepada masyarakat di luar sana. Kedua, menulis. Menulis adalah salah satu senjata kaum muda untuk menyampaikan gagasan,” jelas Castro, sapaan akrab Herdiansyah Hamzah.
Bedah buku ALDERA oleh Herdiansyah Hamzah dan Sri Murlianti. FOTO: GIARTI IBNU LESTARI-KALTIMKECE.ID.
Sementara itu, Sri Murlianti, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul, menceritakan kisah ayahnya yang dianggap sebagai anggota PKI oleh rezim saat itu. Hanya karena berjenis kelamin laki-laki dan telah berusia 14 tahun. Tanpa mencari tahu, apakah orang yang ditangkap dan dipenjara selama 6 bulan tersebut mengerti politik atau tidak. Ayahnya diberi kertas kuning yang bercap PKI setelah dibebaskan.
Sri Murlianti mengatakan bahwa kertas kuning tersebut hampir saja membuatnya tidak dapat melanjutkan keperguruan tinggi karena sang ayah memiliki kertas kuning tersebut. Namun, tanpa kendala, ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan menyelesaikannya. Hal tersebut salah satunya dikatakan karena gerakan 1998.
“Kita tidak bisa menafikan ada capaian reformasi yang dinikmati hari ini. Pertama adalah kelembagaan pemilu yang saat ini sudah cukup kuat. Kedua, tidak hanya ada Technical Structural KPU, ada Pemilunya rutin, dan yang dipilih juga ada. Tidak seperti dulu,” ucap Sri Murlianti.(*)