kaltimkece.id Potensi penghilangan hutan di Area Penggunaan Lain (APL) selalu besar. Masyarakat atau pihak lainnya sering tergoda untuk mengonversi hutan karena memandang bahwa hutan tidak memiliki nilai ekonomi, atau nilai ekonominya hanya ada pada kayu dan lahannya. Demikian Nursalim, Direktur Yayasan BIKAL, memulai cerita tentang pembelajaran pemberdayaan masyarakat di desa dampingannya.
Keberadaan hutan di APL juga sering dipandang tidak bermanfaat untuk masyarakat luas. Distribusi nilai ekonominya timpang. Bahkan meskipun masyarakat menikmati jasa ekologisnya seperti air bersih, mereka tidak selalu menyadari bahwa itu berasal dari jasa hutan.
"Padahal, kelestarian hutan di APL salah satu faktor utamanya adalah keinginan masyarakat untuk menyelamatkan, menjaga, dan melestarikannya. Maka, masyarakat perlu diberdayakan agar kemudian secara sukarela aktif dan berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan," ucap Salim.
Kegiatan ini harus dilakukan melalui pendampingan karena masyarakat perlu secara intensif didorong untuk memiliki kesadaran dan memberi persetujuan. Dengan menyatakan persetujuan, masyarakat juga bersepakat untuk turut serta dan menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan dan menjaga hutan.
Persetujuan, komitmen partisipasi, dan kesadaran akan pentingnya hutan kemudian dilembagakan dengan pembentukan kelompok atau organisasi atau lembaga untuk mengelola hutan. Kelompok berbasis masyarakat ini kemudian dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melestarikan hutan.
Termasuk salah satunya adalah kemampuan menilai dan mengenali potensi hutan beserta peluang dan tantangannya untuk kemudian dimasukkan dalam rencana pengelolaan hutan.
"Rencana pengelolaan hutan, termasuk di dalamnya rencana pemanfaatan hutan dan hasil hutan, harus disesuaikan dengan fungsi kawasan hutannya," lanjut Salim.
Hutan di APL pada umumnya ditujukan untuk hutan konservasi, yang mengawetkan keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna agar dapat menghasilkan jasa ekosistem yang bernilai untuk masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, rencana pengembangan usaha di dalam hutan APL, selain untuk pengembangan agrofestry, silvopastura, ekowisata, wisata olahraga, dan wisata pendidikan, adalah pemanfaatan hasil hutan non-kayu.
Dalam pendampingan untuk penyelamatan hutan di APL terkait rencana dan pengelolaannya, perlu diperhatikan kearifan tradisional masyarakat setempat serta nilai-nilai termasuk nilai religi yang bisa menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilannya.
Pembelajaran Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan
Model bisnis masyarakat umumnya kurang memperhatikan efisiensi sumber daya dan diversifikasi pendapatan. Produk masyarakat sering bersifat tunggal, sehingga rawan kehilangan pendapatan jika gagal.
Pendampingan untuk pengembangan bisnis komunitas pada dasarnya merupakan transformasi pengetahuan, keterampilan, dan semangat dari pekerja menjadi pengusaha. Seorang pengusaha akan mencari peluang sekecil apa pun untuk dijadikan pendapatan, sehingga pintu pendapatannya berasal dari berbagai arah, meskipun yang diusahakan hanya satu.
Iman Ardiyatno, Kepala Desa Mata Air, mencontohkan bahwa seorang peternak sapi sebagai pengusaha tidak akan menunggu sapinya gemuk lalu dijual. Sapi akan menghasilkan kotoran, maka mentalitas seorang pengusaha akan mengolah kotoran sapi menjadi pupuk. Pupuk bisa dijual, selain itu tenaga sapi bisa digunakan untuk membajak sawah atau menarik gerobak.
"Sapi juga butuh pangan. Pengusaha sapi bisa menanam pakan yang selain untuk pakan sapinya sendiri juga bisa dijual. Atau membuat pakan kering yang juga bisa dijual selain untuk memberi pakan sapinya sendiri," tutur Iman.
Dengan demikian, seorang pendamping mesti mempunyai perspektif model bisnis untuk masing-masing potensi yang akan dikembangkan, digeluti, atau dikelola secara terus-menerus, baik oleh kelompok maupun perorangan.
Dalam pengembangan usaha, masyarakat perlu diberi pelatihan untuk meningkatkan kualitas produknya, termasuk memenuhi berbagai standar yang dituntut oleh perkembangan pasar dan kesadaran konsumen.
Karena pengembangan ekonomi dilakukan dalam konteks penyelamatan dan pelestarian hutan, maka pendamping mesti mempunyai kemampuan untuk menghubungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan kesadaran untuk melestarikan hutan dan pengenalan pada jasa ekosistem atau layanan ekologi hutan terhadap usahanya.
Untuk jenis-jenis usaha baru namun punya potensi besar untuk menjadi usaha masyarakat luas, kegiatan pendampingan perlu mengembangkan fasilitas inkubasi dalam berbagai bentuk sehingga bisnis yang dikembangkan bisa menjadi inspirasi atau berdampak baik bagi masyarakat lainnya. Dengan demikian, mereka akan tertarik atau terpancing untuk ikut berusaha.
Pembelajaran Integrasi Pengelolaan Hutan dalam Perencanaan Desa
Pengelola atau pelestari hutan dan pemerintah desa perlu didorong untuk membangun gagasan pelestarian hutan dan pembangunan desa secara sinergi. Kedua belah pihak harus dibekali dengan wawasan perencanaan yang inklusif, sehingga hutan yang terjaga dan lestari tidak lepas dari sasaran pembangunan desa.
Kabupaten Kutai Timur memiliki mitra pembangunan yang cukup banyak, salah satunya Yayasan BIKAL. Hal tersebut diungkapkan Sugiyono, Focal Point KalFor. Menurutnya, untuk menjaga dan melestarikan hutan di luar kawasan hutan jelas memerlukan biaya. Sementara pemberdayaan ekonomi untuk pengelola atau pelestari hutan tidak bisa instan. Maka, penguatan kapasitas dan penguatan kelembagaan pengelola atau pelestari hutan bisa difasilitasi oleh pemerintah desa dengan dimasukkan sebagai bagian dari rencana pembangunan desa. Peluang untuk menggunakan dana desa kemudian menjadi dimungkinkan.
Dengan demikian, rencana pengelolaan hutan, baik dalam jangka panjang maupun pendek, diupayakan untuk masuk dalam rencana prioritas desa dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Pemerintah Desa dan Pengelola atau Pelestari Hutan perlu didorong untuk mencari alternatif pembiayaan lainnya dan dibukakan akses pada jaringan yang berpotensi untuk membantu pemerintah desa dan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutannya.
Pembelajaran Kerja Sama Multipihak
Lebih lanjut, Nursalim menambahkan bahwa lahan dan hutan di APL selalu menjadi ruang 'perebutan' dari berbagai pihak dengan kepentingannya masing-masing.
Maka, tidak ada satu pun upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan di APL yang tidak bersentuhan dengan pihak-pihak lainnya.
Inisiatif untuk menyelamatkan hutan yang tersisa harus melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya di APL, seperti perusahaan atau pemegang izin pemanfaatan.
Pendamping mesti mengedepankan prinsip dasar kolaboratif atau kerjasama, terbuka, lentur, dan mengutamakan jalan keluar yang terpercaya.
Pada prinsipnya, pemerintah dalam berbagai tingkatan mulai dari nasional, provinsi, dan kabupaten sudah mempunyai regulasi untuk mendukung penyelamatan hutan di APL demi kepentingan konservasi atau perlindungan keanekaragaman hayati dan jasa ekologinya.
Sementara perusahaan juga mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang secara sukarela dijadikan standar untuk tata kelola perusahaan yang baik dan berkelanjutan.
Dua landasan ini harus dijadikan dasar untuk berkomunikasi dan membangun kolaborasi secara setara dengan menghargai perbedaan masing-masing untuk mencapai tujuan bersama, memperkuat pencapaian program pemerintah, dan membantu perusahaan menjadi usaha yang bonafide karena tidak semata hanya mencari keuntungan, melainkan juga peduli pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Di desa juga ada kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh pihak lainnya, seperti pendamping desa yang berasal dari Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) atau pendamping desa dari perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa yang menjadi lokasi operasinya.
Pendamping untuk kegiatan penyelamatan dan pelestarian hutan di APL juga perlu bekerja sama dengan pendamping lainnya untuk menyelaraskan kegiatan pemberdayaan masyarakat sehingga tidak bertentangan dengan rencana pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Para pendamping bisa berbagi peran sehingga mobilisasi sumber daya menjadi semakin efektif dan tujuan dari masing-masing pendamping bisa dicapai lebih cepat.(*)