kaltimkece.id Di bawah kaki bukit yang penuh pepohonan, rumah-rumah kayu ulin dan beratap sirap berdiri di tengah kesunyian hutan. Sebuah sungai membelah permukiman menjadi dua. Hanya jembatan kecil bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin yang menjadi satu-satunya jalur penghubung darat kedua wilayah.
Jembatan gantung dengan panjang sekitar 40 meter itu berdiri di Desa Tepian Langsat Ilir dan Tepian Langsat Ulu, Kecamatan Bengalon. Wilayah yang disebut-sebut sebagai desa tertua di Kabupaten Kutai Timur itu dipisahkan oleh Sungai Telayus, anak Sungai Bengalon. Jembatan berusia hampir 40 tahun itu hanya selebar 1 meter sehingga cukup dilewati satu sepeda motor. Sementara bagi kendaraan roda empat, harus memutar 22 kilometer demi “menyeberangi” 40 meter tadi.
Tepian Langsat adalah dua desa kecil yang dihuni 3 ribu kepala keluarga atau 10 ribu jiwa. Selain berkebun dan bertani, sebagian penduduk bekerja untuk 11 perusahaan perkebunan di sekitar desa. Tepian Langsat berdiri 98 kilometer dari ibu kabupaten, Sangatta. Akses darat masih terbatas. Untuk mencapainya, kendaraan harus menyusuri jalan tanah sepanjang 32 kilometer dari pusat Kecamatan Bengalon. Adapun waktu tempuh dari Sangatta ke Tepian Langsat paling cepat empat jam. Jika hujan, bisa bertambah dua jam lagi.
Pada pekan pertama September 2018, kaltimkece.id mengikuti safari dinas Bupati Kutai Timur Ismunandar di desa tersebut. Sejak pertama kali menjabat pada 17 Februari 2016 lalu, Ismunandar telah mengetahui kesulitan di kedua desa. Sebelum menjadi bupati, lelaki kelahiran Samarinda, 7 Agustus 1960 ini adalah sekretaris kabupaten Kutai Timur.
Mendengar dan menyaksikan kesulitan warga, Bupati telah menggagas pembangunan jembatan baru. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah memasukkan pembangunan jembatan ke tahap perencanaan pada 2018. Ismunandar memastikan, pembangunan fisik jembatan dimulai pada 2019 dengan pendanaan alokasi khusus atau DAK.
“Dianggarkan Rp 60 miliar dengan pekerjaan fisik selama dua tahun,” urai bupati yang menghabiskan masa kecilnya di Sangkulirang, Kutai Timur. Lewat pembangunan jembatan, Ismunandar berharap, denyut perekonomian kedua desa berdenyut lebih kencang.
Desa Tua
Desa Tepian Langsat diperkirakan telah berdiri jauh sebelum 1917 atau lebih seabad silam. Sebuah makam tua adalah salah satu petunjuknya. Di permukaan nisan tertulis bahwa ahli kubur meninggal pada 1917. “Sebelum tahun itulah, desa ini diperkirakan sudah berdiri,” jelas Kepala Adat Desa Tepian Langsat, Haji Akim, kepada kaltimkece.id.
Akim menceritakan asal-usul Tepian Langsat. Pada mulanya, menurut kisah para tetua, penduduk berdiam di Muara Ma’au. Kawasan itu berdiri di tengah rimba raya Kalimantan di sekitar pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Para penghuni adalah warga dari Suku Dayak Basap.
Pada zaman Belanda, Muara Ma’au adalah pusat pengumpulan hasil hutan. Komoditas seperti damar dan rotan dijual kepada orang-orang Tiongkok dan Belanda. “Termasuk kepada pejabat Kesultanan Kutai Kartanegara di Sepaso di muara Sungai Bengalon,” tutur Akim, kepala adat setempat yang bersuku Kutai. Pada masa yang sama, terjadilah persaingan hasil hutan antara Muara Ma’au dengan Wahau (kini Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur).
Sejumlah perselisihan akhirnya menimbulkan peperangan. Menurut hikayat, peperangan itu nampaknya membuat penduduk Muara Ma’au bermigrasi ke hilir. Mereka hijrah ke Benua Tunu, sebuah tempat yang tak jauh dari Tepian Langsat. Di situ, warga Basap hidup tenteram bersama orang-orang Kutai.
Ada pula versi yang lain. Dalam jurnal laporan berjudul Pengelolaan Integratif Cagar Budaya di Kawasan Karst Sangkukirang-Mangkalihat, Kutai Timur (2014), Muara Ma’au disebutkan sebagai wilayah Suku Basap. Penduduk setempat terikat perjanjian politik dan ekonomi dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Perjanjian itu ditandai melalui pembagian wilayah antara Muara Ma’au dengan Kutai. Batas keduanya dinamakan Batu Aji.
Kedua pihak saling menghormati wilayah, namun, hasil hutan harus dijual kepada kesultanan. Perdagangan berjalan lancar sampai kedatangan Belanda. Pada masa kolonial, transaksi tersendat sehingga orang -orang Muara Ma’au kehilangan mata pencaharian. Mereka akhirnya meninggalkan kampung dan menuju Tepian Langsat. Sebuah permukiman yang terpisah Sungai Telayus. Desa tua itulah yang sekarang merindukan jembatan yang lebih besar. (*)
Editor: Fel GM