kaltimkece.id Cuplikan film Ketika Adzan Sudah Tidak Lagi Berkumandang sudah ditayangkan sepekan terakhir. Thriller film karya anak-anak Kaltim tersebut telah dilihat 16.000 kali pada Jumat, 15 Maret 2024. Video pendek itu menjadi yang terpopuler di kanal YouTube East Borneo Film selaku tim produksinya.
Film bergenre horor ini berdurasi 45 menit. Menceritakan dua wartawan yang bertugas ke sebuah desa. Mereka adalah Wawan (diperankan Daniel Inran) dan Manto (diperankan Achmad Muslih Navis). Kedua jurnalis itu diminta membuat sebuah film dokumenter.
Rupanya, di desa yang mereka datangi, ada keluarga yang disebut-sebut pemuja setan. Kedua wartawan itu lantas mengumpulkan data dengan merekam setiap kegiatan di desa. Sejumlah kejadian aneh muncul tatkala seorang pendatang mengumandangkan azan di desa tersebut.
Kepada kaltimkece.id, produser sekaligus sutradara film, David Richard, mengungkapkan bahwa film ini merupakan fiksi yang terinspirasi kisah nyata. David dulunya adalah seorang jurnalis yang bekerja untuk sebuah media di Kaltim. Ia pernah ditugaskan ke sebuah desa di Kukar untuk meliput khitanan massal.
Ide membuat film ini muncul dari pengalaman tersebut. David waktu itu liputan pada Jumat. Ia salat Jumat di masjid desa. Ceramah hari itu diisi oleh Ustaz Untung. Ustaz bercerita bahwa ia pernah ditelepon seorang lelaki yang meminta tolong untuk datang ke desanya. Laki-laki tersebut difitnah sebagai pemuja setan.
"Warga desa juga mengeluhkan karena istri laki-laki itu sering menggentayangi warga setempat," tutur David, melanjutkan cerita Ustaz Untung tadi.
Rupanya, di desa tempat laki-laki itu tinggal, azan hanya terdengar sekali sehari. Masjid di daerah tersebut juga jarang dipakai beribadah. Dari kisah itu, Ustaz Untung berpesan kepada jamaah salat Jumat supaya masjid harus sering digunakan. Jangan sampai tidak ada azan dari masjid tersebut.
"Saya merinding mendengar kisah tersebut. Itu pula yang membuat saya terinspirasi membuat film ini," jelasnya.
Karya Komunitas Tanpa Dibayar
Film Ketika Ketika Adzan Sudah Tidak Lagi Berkumandang digarap selama sepuluh hari. Lokasi syuting mengambil sejumlah tempat di Kabupaten Kukar. Mulai Waduk Panji Sukarame di Tenggarong, Desa Kedang Ipil di Kecamatan Kota Bangun Darat, serta beberapa lokasi di Kecamatan Tenggarong Seberang.
"Waduk Panji Sukarame di Tenggarong jarang terjamah. Kalau masuk ke sana dan ke belakang, cukup tidak terawat. Ini juga menjadi singgungan sedikit dari saya buat pemerintah. Tempat ini sampai bisa saya jadikan syuting film horor karena tidak dirawat," jelas David.
Kru yang terlibat dalam pembuatan film ini sebanyak 100 orang. Aktor dari sejumlah festival film di Kaltim menjadi pemerannya. Ada pula aktor senior Samarinda dan para pelakon teater di Kaltim. Penulis naskahnya Sifa Sultanika. David Richard berperan penting dalam editing naskah karena alur cerita film terinspirasi dari pengalamannya.
Alur film ini sebenarnya sudah rampung pada 2020. Akan tetapi, David sadar, biaya produksi film bergenre horor cukup mahal. Banyak pengambilan gambar pada malam hari yang memerlukan pencahayaan yang cukup.
Suatu hari, ia bertemu dengan beberapa juniornya yang kuliah di Institut Seni Budaya Indonesia Yogyakarta. Para juniornya itu sedang mengerjakan tugas akhir yaitu membuat film. Setelah berkolaborasi sana-sini, film kemudian digarap untuk keperluan akademik tersebut. David menerangkan, sinema ini murni karya seniman lokal.
"Jadi yang membuat film ini adalah komunitas. Kami bareng-bareng. Murni dari teman-teman yang pengin buat karya," tuturnya.
David menjelaskan biaya produksi film. "Kami tidak meminta bantuan dari pemerintah. Pikap saja kami pinjam," sambungnya, mengenang masa-masa produksi film tersebut.
David dan kolega kemudian mencari jalan keluar. Mereka meminta dukungan dari sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kaltim. Sebanyak 30 UMKM, jelasnya, mendukung pembuatan film ini. Kolaborasi tersebut berupa UMKM menjadi sponsor. David mengatakan, besaran dana sponsor seikhlasnya. Dari kolaborasi tersebut, sekitar 70 persen biaya pembuatan film bisa tertutupi.
Balutan Khas Kutai Kartanegara
David Richard, produser dan sutradara film, akan berusia genap 30 tahun pada Mei 2024. Lelaki ini lahir dan besar di Kecamatan Tenggarong, Kukar. Ia lulusan SMA 2 Tenggarong kemudian kuliah di Institut Seni Budaya Indonesia, Yogyakarta, jurusan film dan televisi.
Beberapa karyanya di dunia perfilman dapat ditengok di kanal YouTube East Borneo Film. Satu dari karyanya adalah film pendek berjudul Ranam-Looking for Land. Film tersebut merupakan tugas akhirnya saat kuliah dan ditonton 23 ribu orang. Ada pula film La Tukad'djib. Karya David tersebut meraih penghargaan The Best Cinematography dan The Best Film kedua di Festival Film Kaltim 2022.
Ketika Adzan Sudah Tidak Lagi Berkumandang adalah karya kesekian David. Film ini terinspirasi balutan budaya khas Kutai Kartanegara. Contohnya adalah busau atau ritual adat kematian di Desa Kedang Ipil. Sementara itu, bahasa yang digunakan di film ini tetap menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Kutai.
"Seperti di film Agak Laen, gak pakai Bahasa Batak tapi logatnya yang ditonjolkan," paparnya.
Bagian paling sulit dalam pembuatan film ini adalah ketika syuting. Tak jarang, kata David, kru harus mengambil adegan hingga jauh malam. Lokasinya di hutan bambu di Desa Kedang Ipil. Pencahayaan yang kurang pada malam hari membuat mereka kesulitan menyesuaikan jarak antara pemain dan mengatur teknis kamera.
Film Ketika Adzan Sudah Tidak Lagi Berkumandang dapat dinikmati secara utuh di layar lebar CGV Samarinda. David mengatakan, belum mengetahui waktu penayangan karena film tersebut masih digunakan untuk kepentingan akademik juniornya. Kemungkinan besar, film ini masuk CGV Samarinda setelah Idulfitri.
Di samping itu, film ini rencananya digarap ulang secara profesional. David mengaku, masih bertemu beberapa investor supaya film tersebut bisa dikomersialkan. Investor dari Kaltim juga diharapkan terlibat dalam film ini. Jika berhasil di-remake, film ini bisa naik layar di seluruh bioskop di Indonesia. Apabila tidak ada investor, David mengatakan, karya tersebut akan dibawa ke festival film dan dirilis di YouTube kira-kira dua atau tiga tahun lagi. (*)
Penulis: Verlinda Kharismahani