kaltimkece.id Malam semakin larut ketika puluhan remaja berkumpul di belakang Masjid Baitul Muttaqin, Islamic Center, Samarinda. Setelah setengah jam berhimpun, mereka menuju badan jalan raya. Jalur kendaraan menyempit saat dua orang di antara kawula muda itu menuju zebra cross yang dianggap sebagai garis start.
Selasa, 15 September 2020, dua remaja tadi berlari sekencang-kencangnya selepas seseorang yang bertopi memberikan aba-aba. Kedua sprinter liar itu tidak mengenakan alas kaki. Mereka melaju untuk nomor pendek yakni 100 meter. Para penonton yang sebagian besar juga berusia belia berbaris di ‘tepi lintasan” dengan kerumunan sepanjang 20 meter. Banyak di antara mereka yang tidak menerapkan protokol kesehatan sebagaimana video amatir yang diterima kaltimkece.id.
Fenomena balap lari liar yang biasanya melibatkan taruhan sedang ramai di Indonesia. Kepolisian di beberapa provinsi bahkan menyiapkan sanksi pidana buat peserta dan penonton. Di Jakarta, contohnya, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Sambodo Purnomo, mengatakan bahwa sanksi peserta dan penonton balap lari liar karena menutup jalan. Hal itu dilarang dalam Pasal 12 Undang-Undang 38/2004 tentang Jalan. Hukuman penjara tiga sampai 18 bulan atau denda Rp 200 juta sampai Rp 1,5 miliar.
Kepolisian Samarinda masih mengkaji pasal tersebut. Kepala Satuan Lalu Lintas, Polresta Samarinda, Komisaris Polisi Ramadhanil, mengatakan sanksi pidana itu sedang dikoordinasikan dengan Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Kaltim. Menurut Kompol Ramadhanil, pasal itu sebenarnya tidak berdiri sendiri karena digunakan bila terjadi kecelakaan. Pasal itu dipakai untuk junto dari pasal 310 (tentang Lalu Lintas).
Selama bukan di jalan raya, kepolisian sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan. Lagi pula, fenomena ini baru muncul beberapa hari terakhir. Kepolisian hanya berpatroli untuk memastikan balap lari itu tidak mengganggu lalu lintas.
“Memang benar, pada Rabu malam (16 September 2020), kami sempat membubarkan (balap lari liar) di beberapa titik. Dua orang diamankan dan diberikan pembinaan dengan memanggil orangtua mereka,” jelas Kompol Ramadhanil. Ia menambahkan, kedua remaja tersebut kemungkinan pelajar di bawah umur. Keduanya mengaku menjadi kontestan balap lari liar karena mengikuti tren di Pulau Jawa.
“Kami terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) dan relawan untuk patroli. Mencegah kegiatan-kegiatan seperti itu mengganggu lalu lintas apalagi menyebabkan kecelakaan," terangnya.
Jangan Terburu-buru Pidana
Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai bahwa balap lari liar tidak mesti buru-buru diancam pidana. Pendapat Herdiansyah mendukung yang dikemukakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
"Pertama, fenomena balap lari seharusnya ditangkap sebagai bentuk ekspresi publik yang gandrung hiburan. Jadi semestinya difasilitasi, bukan diancam pidana. Pengenaan Pasal 12 UU 38/2004 tentang Jalan terhadap peserta balap lari liar adalah tindakan yang tidak bijak,” terang Castro, panggilan pendeknya.
Castro mengatakan, balap lari liar boleh jadi wujud protes kolektif publik. Akar perkaranya adalah ruang-ruang publik yang tersedia masih minim dan cenderung terbatas selama pandemi. Sepanjang ketersediaan ruang publik ini tidak bisa dijawab dengan memadai, fenomena semacam ini tidak berhenti dan terus muncul dengan beragam jenis.
Pendapat seragam juga disampaikan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Samarinda, Violeta. Lomba balap lari liar memang memiliki sisi negatif ketika dijadikan arena judi. Sementara dari sisi keamanan, kegiatan ini bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain serta mengganggu keamanan.
"Namun demikian, orangtua maupun penegak hukum juga harus bijak menyikapi masalah ini. Anak-anak yang menjadi peserta balap lari masih labil. Mereka perlu peran orangtua maupun guru pembimbing untuk mengarahkan anak-anak akan bahayanya kegiatan itu,” katanya. Violeta setuju bila Pemkot Samarinda bisa menyiapkan area atau arena sebagai bentuk fasilitas. Anak-anak tersebut bisa mengembangkan hobi dan bakat. Ketika arena resmi dan fasilitas yang memadai tersedia, anak tidak akan lagi menggunakan jalan raya.
“Menurut saya, balap lari liar tidak boleh sembarangan. Selain mengganggu pengguna jalan, sekalipun pada malam hari, balap lari berpotensi menyebabkan cedera bagi pelari yang tidak terlatih,” jelasnya.
Meskipun demikian, UPT PPA Samarinda tidak menyingkirkan dampak positif dari kegiatan ini. Balap lari liar bisa jadi fenomena unik pada masa pandemi. Olah tubuh seperti ini dapat mengurangi kekhawatiran remaja terjerumus ke dunia narkoba atau terus-menerus bermain telepon pintar.
“Sisi positif ini bisa dipantau PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) untuk diberdayakan di jalur yang benar sebagai pelari andal,” sarannya.
Dikonfirmasi fenomena ini, Sekretaris Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin, memberi tanggapan pendek. Pemkot, sayangnya, justru meminta kepolisian menindak tegas para pelari liar tersebut.
Kejenuhan Psikologis
Sudut pandang yang lain disampaikan Ayunda Ramadhani, psikolog dari Samarinda. Menurutnya, balap lari liar sebagaimana fenomena bersepeda di jalan adalah kompensasi dari stres dan kejenuhan selama pandemi. Para remaja memerlukan banyak arena untuk mengekspresikan dirinya setelah lebih banyak berdiam di rumah. Mereka yang tidak lagi ke sekolah karena belajar di rumah kurang bersosialisasi dengan teman sebaya.
“Bisa jadi, mereka jenuh kemudian mencari cara yang baru. Sebenarnya, dari sisi psikologi, ini bergantung banyak hal karena fenomena balap lari liar baru-baru ini muncul," kata Ayunda.
Fenomena seperti ini harus menjadi pelajaran. Orang-orang memerlukan pelampiasan aktivitas maupun kegiatan pengganti selama pandemi. Sepanjang tidak berisiko, balap lari adalah sesuatu yang normal dan menyehatkan seperti halnya orang-orang yang menggemari bersepeda. Di kalangan ibu-ibu sekarang pun, sedang tren menanam bunga.
Kesimpulannya adalah banyak kegiatan untuk mengusir jenuh pada masa pandemi. Bedanya, kelompok usia remaja yang masih labil ini memerlukan ruang mengaktualisasikan diri. Kegiatan mereka untuk mengusir jenuh sepatutnya diarahkan ketika berpotensi melanggar aturan. Ayunda menekankan, bukan balap lari yang salah tapi tempatnya yang keliru.
"Tapi yang tidak bisa dilupakan, balap lari liar ini tidak melulu berhubungan dengan pandemi. Sebelum pandemi pun, balap motor sudah ada dengan mekanisme yang sama. Bisa saja balap lari ini sekadar cara mengaktualisasi diri untuk menunjukkan mereka hebat,” ingat Ayunda.
Untuk meredam pemikiran remaja seperti itu, Ayunda menyarankan adanya pengakuan di rumah. Pada masa pandemi ini, anak-anak memerlukan lebih banyak perhatian karena mereka dibatasi secara sosial. Kebutuhan psikologis dan biologis remaja yang terpenuhi menyebabkan mereka tidak keluar rumah untuk sejenak.
"Orangtua bisa memuji mereka sebagai anak hebat, anak pintar, dan berterima kasih karena bisa melalui pandemi dengan belajar di rumah. Harusnya begitu. Jika perhatian ini kurang, anak-anak mungkin akan mencari pujian di luar,” jelasnya.
Pada akhirnya anak-anak memilih kegiatan seperti balap lari liar di jalan. Ayunda mengingatkan ada banyak hal negatif dari kegiatan yang seharusnya bisa menjadi positif. Balap liar bisa menyebabkan kecelakaan lalu lintas, menjadi arena bertaruh, hingga rentan terinfeksi Covid-19.
“Masyarakat juga jangan abai dengan lingkungan sekitar. Harus terus saling mengingatkan,” tutup Ayunda. (*)
Editor: Fel GM
Temui kami di Instagram!