• Berita Hari Ini
  • Warta
  • Historia
  • Rupa
  • Arena
  • Pariwara
  • Citra
Kaltim Kece
  • RUPA
  • GAYA HIDUP
  • Mencicipi Cita Rasa Akulturasi Budaya dalam Martabak Kari Khas Loa Tebu

RUPA

Mencicipi Cita Rasa Akulturasi Budaya dalam Martabak Kari Khas Loa Tebu

Resep martabak kari ini dibawa seorang imigran dari India yang menetap di Loa Tebu, Tenggarong, Kukar. Menjadi kuliner khas lewat akulturasi dengan cita rasa lokal.
Oleh Muhammad Al Fatih
20 Maret 2024 07:00
ยท
4 menit baca.

kaltimkece.id Air Sungai Mahakam yang tenang, pantulan cahaya matahari yang memudar, dan waktu berbuka telah tiba. Petang itu, Raisa Sabrina membatalkan puasanya di sebuah kedai di Loa Tebu, Tenggarong, Kutai Kartanegara, bernama Martabak Haji Baen.

Senin, 18 Maret 2024, Raisa menyantap potongan martabak yang tersedia di hadapannya. Ia lebih dahulu menyiram kuah kari ke atas daging sapi yang empuk. Setelah meminum es teh manis, ia pun menyantap hidangan utama.

"Saya mengetahui tempat ini dari teman kantor saya," ucap Raisa kepada reporter kaltimkece.id yang juga berbuka puasa di Martabak Haji Baen.

Raisa mengatakan bahwa ia bekerja di sebuah rumah sakit di Samarinda. Untuk sampai di tempat kuliner tersebut, ia berkendara selama satu jam.

Martabak Haji Baen sudah berdiri selama 20 tahun. Usaha tersebut dijalankan Haji Arbaen bersama istrinya. Dulunya, mereka mencari nafkah dengan menjual pakaian sebelum banting setir ke usaha kuliner.

"Kami memutuskan menjual martabak kari. Menu ini sebenarnya ciri khas di daerah Loa Tebu," ucap Haji Arbaen.

Ia menuturkan bahwa martabak kari merupakan resep yang dibawa seorang imigran asal India. Namanya Maido Bin Poker. Usai berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Balikpapan, Maido pergi ke Loa Tebu. Ia menetap di sana selepas menikahi gadis setempat. Darinya resep martabak kari bermula.

Pada awal membuka usaha sekitar 2004, Arbaen menjual untuk penduduk sekitar. Orang-orang dari luar daerah mulai berdatangan ke warungnya pada 2017. Pengunjung datang dari Samarinda, Balikpapan, hingga Bontang.

"Rata-rata mereka ke sini karena (tahu) dari mulut ke mulut. Kami tidak promosi apa-apa," akunya.

Beberapa pengunjung juga disebut menggunggah warungnya ke media sosial. Hal itu membuat makin banyak yang datang terutama saat Ramadan. Bahkan, Haji Arbaen mengatakan, ada pengunjung yang membuatkan alamat warung di Google Maps. Akan tetapi, alamat yang dibuat pengunjung itu rupanya tidak begitu akurat titik koordinatnya.

"Beberapa orang sampai ada yang hampir tersasar ke Sebulu," ucap Haji Arbaen kemudian terkekeh. "Tapi sekarang sudah diperbaiki, kok," sambungnya.

Arbaen bukan satu-satunya penjual martabak kari di daerah Loa Tebu. Setidaknya, ada enam warung yang menjual menu yang sama di kawasan tersebut. Mereka semua memakai bahan yang sama yaitu bumbu kari yang dibuat oleh Hajah Dijah. Adapun Hajah Dijah adalah anak Maido yang membuat resep pertama martabak kari di Loa Tebu.

"Anaknya sekarang berjualan bumbu kari ke penjual lain. Kadang-kadang, berjualan martabak kari juga sekitar beberapa puluh meter dari sini," jelas Haji Arbaen.

Haji Arbaen, pemilik usaha Martabak Kareh Haji Baen di Loa Tebu, Tenggarong, Kutai Kartanegara. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Haji Arbaen, pemilik usaha Martabak Kareh Haji Baen di Loa Tebu, Tenggarong, Kutai Kartanegara. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Meskipun memasak dengan bahan yang sama, Arbaen tak mau kalah bersaing. Resep martabak kari ia modifikasi. Beberapa bahan ia tambahkan seperti kapulaga, bunga sisir, dan cabai hijau. Ia juga memasukkan rempah-rempah sehingga martabaknya lebih ramah di lidah.

"Saya juga menerima masukan dari pelanggan. Pernah suatu waktu, ada pelanggan rutin saya yang sampai membawakan bibit daun kari. Katanya, lebih enak dengan rebusan daun tersebut," ucapnya.

Bibit daun kari yang juga dikenal dengan daun Salam Koja itu kini ditanam di halaman depan warung. Haji Arbaen memakai daun tersebut untuk menambah cita rasa masakan.

Arbaen enggan menyebutkan keuntungan yang ia dapatkan dari usahanya. Namun, melalui usaha kuliner martabak kari, ia mampu merekrut delapan warga sekitar untuk menjadi pegawai. Ia juga menambah karyawan sementara ketika pengunjung melonjak di pertengahan Ramadan.

Arbaen mengaku, beberapa orang sempat menawarkan untuk membuka cabang. Akan tetapi, ia belum menemui kecocokan. Ia masih menimbang-nimbang. Menurutnya, usaha yang ia tekuni sekarang sudah cukup. Usaha  tersebut sudah mampu menghidupi istri, anak, bahkan cucunya.

Akulturasi Budaya dalam Cita Rasa Kuliner

Setiap perjumpaan budaya yang berbeda menghasilkan percampuran budaya. Begitu tutur Nasrullah Mappatang, dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Samarinda. Percampuran budaya tersebut, dalam dunia akademis, dikenal sebagai akulturasi.

"Martabak Kareh Haji Baen adalah pengaruh kuliner India dicampur dengan cita rasa lokal," sebut dosen yang kerap disapa Ulla tersebut.

Beragam akulturasi kuliner ditemukan di Indonesia. Salah satunya adalah kecap manis. Akulturasi ini berasal dari kecap asin yang dahulu dibawa pedagang Tiongkok dengan gula aren yang tumbuh di Nusantara. Proses akulturasi kecap manis terekam baik di buku berjudul Kecap Manis: Indonesia's National Condiment yang ditulis Bondan Winarno.

Arus informasi yang makin mudah dengan adanya internet membuat perjumpaan budaya makin masif. Ulla mengatakan, perjumpaan budaya pada masa lalu terjadi melalui arus perdagangan dan imigrasi. Pada saat ini, media sosial saja bisa menghadirkan proses tersebut.

"Contohnya, anak muda yang menggemari makanan Korea padahal belum pernah ke Korea atau bertemu orang Korea. Mereka mengetahuinya melalui dunia maya," ucapnya.

Fenomena ini memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, makin banyak percampuran budaya yang menghasilkan budaya baru. Di sisi lain, orang-orang justru melupakan budaya tempat mereka berasal. Dalam hal tersebut, yang terjadi bukan lagi akulturasi melainkan asimilasi.

"Dalam asimilasi, seseorang menyerap budaya dan menghilangkan identitas asli mereka sama sekali, berbeda dengan akulturasi," papar Ulla.

Ia berharap, konsumsi anak muda terhadap budaya luar seperti Barat dan Korea tidak membuat lupa terhadap budaya asli. Apalagi sampai merasa budaya luar lebih baik dibandingkan budaya Indonesia. (*)

Editor : Fel GM
Iklan Above-Footer

Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi kaltimkece.id

Gabung Channel WhatsApp
  • Alamat
    :
    Jalan KH Wahid Hasyim II Nomor 16, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara.
  • Email
    :
    [email protected]
  • Phone
    :
    08115550888

Warta

  • Ragam
  • Pendidikan
  • Lingkungan
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Humaniora
  • Nusantara
  • Samarinda
  • Kutai Kartanegara
  • Balikpapan
  • Bontang
  • Paser
  • Penajam Paser Utara
  • Mahakam Ulu
  • Kutai Timur

Pariwara

  • Pariwara
  • Pariwara Pemkab Kukar
  • Pariwara Pemkot Bontang
  • Pariwara DPRD Bontang
  • Pariwara DPRD Kukar
  • Pariwara Kutai Timur
  • Pariwara Mahakam Ulu
  • Pariwara Pemkab Berau
  • Pariwara DPMD Kutai Kartanegara

Rupa

  • Gaya Hidup
  • Kesehatan
  • Musik
  • Risalah
  • Sosok

Historia

  • Peristiwa
  • Wawancara
  • Tokoh
  • Mereka

Informasi

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
© 2018 - 2025 Copyright by Kaltim Kece. All rights reserved.