Ditulis oleh: Nanda Puspita Sheilla dan Muhammad Sarip
WAKTU itu hari ke-23 bulan pertama di kalender 2024. Pukul sembilan pagi, kami tiba di Kampus Universitas Mulawarman. Kami masuk ke sebuah bangunan baru yang terbilang cukup megah di kawasan Gunung Kelua, Samarinda. Bangunan itu dikenal dengan nama Unmul Hub atau Gedung Masjaya. Ada forum sejarah lokal yang digelar di gedung pertemuan tersebut
Forum yang kami hadiri adalah launching dan diskusi buku Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara. Buku ini merupakan karya kolaborasi kami yang edisi perdana. Sebelumnya, kami beberapa kali menjadi pembicara dalam forum publik. Penerbitan buku menjadi output pamungkas dari proses dialektika, perdebatan, diskusi, dan kompromi di antara kami.
Pada opening ceremony, tampil Rektor Unmul Prof Abdunnur dan Wakil Wali Kota Samarinda Dr Rusmadi Wongso. Saat sesi presentasi, narasumbernya selain kami adalah Deputi Lingkungan Hidup dan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Dr Myrna A Safitri. Unsur pimpinan tinggi madya OIKN ini merupakan penulis prolog untuk buku kami.
Durasi presentasi kami sangat terbatas. Kami sepakat berbagi konten supaya lebih efektif mengekspos materi yang belum banyak diketahui publik. Setelah itu, moderator dari Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Unmul, Muhammad Azmi, membuka sesi tanya jawab.
Dari beberapa pertanyaan audiens, kami ingin meng-highlight satu hal yang saat itu kurang tuntas jawabannya. Ada peserta yang mengungkapkan bahwa asal-usul nama Samarinda itu berasal dari kata sama dan renda. Lafal e kata renda seperti e pada kata beta. Sang peserta berargumen bahwa dia pernah membaca koran era 1980-an yang menginformasikan hal tersebut. Ungkapannya ini meng-counter presentasi salah seorang di antara kami (Nanda) ketika menarasikan secara ringkas konten buku, yang satu di antara subbabnya membahas "Asal-Usul Nama Samarinda."
Pada konten buku ditulis, asal-usul toponimi Samarinda itu dari kata sama-rendah. Sumber informasi ini adalah Oemar Dachlan, seorang tokoh wartawan Kaltim yang bekerja di bidang pers sejak era kolonial. Sama-rendah yang dimaksud adalah kondisi permukaan daratan di Samarinda yang sama rendahnya--atau mirip ukuran tingginya--dengan permukaan Sungai Mahakam. Asul-usul versi Oemar ini berbeda dengan versi lain, misalnya asumsi perumahan rakit yang sama rendah di tepi Sungai Mahakam.
Oemar Dachlan yang kelahiran 1913 itu menjelaskan, sampai awal dasawarsa tahun 1950-an, setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Istilah sama-rendah merujuk permukaan tanah yang tidak bergerak dan tetap rendah, bukan ukuran permukaan sungai yang airnya naik-turun. Karena itu, menurut Oemar, istilah yang dipergunakan bukan sama-tinggi, melainkan sama-randah.
Secara khusus, Oemar meng-highlight kata randah dari bahasa Banjar. Lama-kelamaan nama tersebut berkembang menjadi diksi yang terdengar agak melodius, yaitu Samarinda. Oemar mendeskripsikannya dalam artikel Asal-Usul Nama Samarinda yang terbit di majalah bulanan Prima, April 1978.
Sementara itu, informasi yang disampaikan peserta tentang kata sama-renda juga mengacu kepada bahasa Banjar. Dia bilang, di kawasan Samarinda Seberang di sisi bantaran sungai tampak penenun sarung yang menjemur sarung, dijajarkan berbaris seperti renda. Renda ialah ornamen hiasan pada ujung gorden, yang bentuknya bergelombang. Kemudian, orang-orang yang lalu-lalang dan hulu-hilir melintas Sungai Mahakam melihat pemandangan jemuran sarung itu mengatakan, "Mereka sama-sama merenda."
Dari frasa "sama-sama merenda" itulah muncul term ringkas sama-renda. Akhirnya, pengaruh dari lingua franca (bahasa pergaulan) bahasa Banjar di Samarinda, vokal e pada renda terkonversi i, sehingga menjadi Samarinda.
Audiens yang bilang toponimi Samarinda dari sama-renda ini adalah seorang guru di sebuah sekolah ibu kota Kaltim. Dengan meyakinkan, dia menyebut nama korannya adalah Meranti. Problemnya sekarang, sulit menemukan arsip korannya. Koleksi surat kabar lawas di Perpustakaan dan Kearsipan tingkat provinsi dan tingkat kota sangat minim. Korannya juga tidak terbit lagi. Kantor redaksi dan percetakan korannya juga pernah dilanda banjir besar pada Juli 1998 sehingga merusak banyak arsip koran.
Memverifikasi sumber autentiknya sulit. Namun, anggap saja misalnya koran Meranti memang pernah menulis artikel tentang sama-renda. Konsekuensinya, publik akan dihadapkan kepada pertanyaan, manakah versi asal-usul nama Samarinda yang lebih valid?
Kami akan memverifikasinya dari aspek etimologi, historis, dan kredibilitas informan. Pertama, kata "renda" sebenarnya juga termasuk kosakata bahasa Indonesia. Dengan makna yang sama, yakni kain ornamen hiasan, kata renda juga digunakan oleh orang Banjar, Kutai, dan sub-Melayu lainnya di Kaltim. Perbuatan membuat renda disebut merenda. Namun, penggunaan kata "merenda" relatif terbatas untuk aktivitas yang literally berkaitan dengan kain, benang, dan jarum. Orang Banjar dan Indonesia secara umum tidak lazim menyebut merenda untuk analogi aktivitas menjemur kain atau sarung. Menjemur dalam bahasa Banjar adalah mendadai, dari kata "dadai."
Kedua, dari aspek historis, nama Samarinda sudah terlebih dulu ada sebelum adanya aktivitas penenunan sarung di Samarinda Seberang. Bahkan sebelum lokasi itu dijadikan permukiman oleh komunitas dari pulau seberang. Fakta ini diperoleh dari manuskrip Salasila Bugis di Kutai yang diteliti oleh Solco Walle Tromp pada 1887. Riset ilmuwan Belanda ini berjudul Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai. Ketika Kesultanan Kutai memindahkan ibu kota dari Kutai Lama ke Jembayan, saat itulah Samarinda difungsikan oleh Sultan Kutai sebagai kota pelabuhan. Topinimi Samarinda tidak berkaitan dengan kegiatan penduduk.
Berikutnya yang ketiga, dari aspek kredibilitas informan. Menurut peserta, dia membaca tulisan di koran tahun 1980-an saat masih SD. Dia sama sekali tidak ingat siapa informan atau penulisnya. Namun, ia mengaku mendengar lagi informasinya dari seseorang yang populer dengan nama panggung Si Karut. Ia adalah seniman bernama asli Masdari Ahmad, kelahiran 1939.
Julukan Si Karut terkenal karena ia memandu siaran radio berjudul Titian Muhibah di RRI Samarinda dengan banyolan atau humor dan menggunakan bahasa Banjar. Membanyol, melawak atau mengarang kisah lucu dalam bahasa Banjar bisa disebut mengarut. Kata dasar mengarut adalah karut. Jadilah Masdari Ahmad bergelar Si Karut.
Berbasis perbedaan profesi atau atribusi yang melekat kepada Oemar Dachlan dan Masdari Ahmad, antara jurnalis dan pengarang komedi, tentu bisa diputuskan mana yang lebih bisa diterima referensinya. Oemar Dachlan terbiasa menulis hal-hal yang serius dan faktual sesuai pengalaman hidupnya sejak era kolonial. Sementara Si Karut lebih banyak berkreasi dalam mengarang naskah sandiwara radio dan penggubah/pencipta lagu berbahasa daerah.
Dengan demikian, tingkat validasi toponimi Samarinda tetap lebih kuat berasal dari sama-randah atau sama-rendah. (*)
*) Penulis adalah Tim Penulis Historipedia Kalimantan Timur