PEMERINTAH menargetkan produksi perikanan tumbuh menjadi 30,37 juta ton pada 2023. Menurut Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), produksi tersebut terdiri dari perikanan tangkap sebesar 8,73 juta ton dan perikanan budi daya 21,58 juta ton. Upaya mendorong perkembangan industri perikanan tersebut, salah satunya, melalui pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan atau sustainable blue economy.
Lima kebijakan disiapkan pemerintah. Kelimanya yaitu penambahan luas konservasi laut secara tertutup, penangkapan secara terukur berbasis kuota, pembangunan budi daya laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan, pengelolaan dan pengawasan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembersihan sampah plastik laut melalui gerakan partisipasi para nelayan.
Pembangunan budi daya laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan tentu mendorong pengelolaan budi daya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan obat-obat untuk ikan yang aman untuk ikan maupun lingkungan dan manusia sebagai konsumen merupakan contohnya.
Perlu diketahui bahwa proses budi daya ini membutuhkan berbagai jenis obat ikan. Mulai vaksin, antibakteri, imunostimulan, pestisida, anastesi, feed additive, feed supplement, disinfektan, hingga bahan yang lain. Obat-obatan tersebut dapat meningkatkan produksi. Akan tetapi, saat ini tidak lebih dari 10 persen obat ikan yang memiliki izin beredar di Indonesia yang merupakan produksi dalam negeri. Kebanyakan obat ikan, baik obat jadi maupun bahan baku obat, masih produk impor.
Salah satu obat ikan yang sangat dibutuhkan adalah bahan anestesi atau pembiusan. Obat ini digunakan untuk transportasi (memindahkan ikan) maupun handling benih dan induk. Bahan anestesi juga dipakai dalam pemijahan buatan, grading size, vaksinasi, monitoring kesehatan ikan, serta meminimalisasi stres dan kematian ikan budi daya.
Anastesi kimia yang sering digunakan pembudi daya adalah MS-222. Produk tersebut terbukti dapat menurunkan tingkat kematian selama pengangkutan ikan hidup. Walaupun demikian, penggunaan MS-222 telah dilarang KKP karena meninggalkan residu dalam tubuh ikan. Obat tersebut juga termasuk obat keras yang dilarang penggunaannya dalam akuakultur.
Ketersediaan anastesi alami pengganti MS-222 belum banyak saat ini. Padahal, kebutuhan produk anastesi untuk perikanan sangat tinggi. Pembiusan ikan mampu menekan metabolisme sehingga membantu meningkatkan kepadatan ikan saat transportasi benih. Dengan demikian, benih, indukan, dan ikan bisa hidup lebih lama dan dapat dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.
Sebagai ilustrasi, pengiriman benih ikan nila dari Samarinda ke Kecamatan Melak, Kutai Barat, saat ini memerlukan waktu 15 sampai 20 jam. Benih berukuran 3-5 cm itu dipindahkan dengan kepadatan hanya 45 ekor per liter. Pengiriman benih inilah yang harus ditingkatkan kepadatannya untuk menghemat biaya sehingga diperlukan anastesi.
Pengembangan Anastesi Alami di Kaltim
Di tengah kesulitan produk anastesi untuk perikanan, obat ikan alami dari tanaman lokal terus dikembangkan. Obat alami ini harus memiliki efek kesehatan tinggi terhadap ikan. Pengembangannya memerlukan beberapa pertimbangan. Ketersediaan bahan baku, harga, tingkat efikasi, kemudahan penggunaan, hingga efek kesehatan bagi ikan, manusia, dan lingkungan patut menjadi perhatian.
KKP menyebutkan bahwa obat ikan wajib memenuhi persyaratan aman (safety) bagi ikan, manusia, dan lingkungan. Obat ikan juga harus berkhasiat (efficacy) seperti menyembuhkan, memperbaiki kondisi; dan bermutu (quality) yaitu memiliki kualitas yang dipercaya. Itu sebabnya, proses produksi obat alami untuk ikan harus memenuhi standar operasional pemilihan bahan baku, peralatan, prosedur, metode, dan tim teknisi yang menjamin mutu prototipe dan produk yang dihasilkan.
Prof Dr Esti Handayani Hardi dan tim peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda, telah berpengalaman mengembangkan tanaman lokal di Kalimantan Timur sebagai obat ikan. Tim ini telah memproduksi antibacterial dan imunostimulan untuk ikan dengan izin edar dari KKP yaitu produk Bioimun (D 2112573 HBC) dan Biofeed (D 2112574 HBC).
Tim peneliti Unmul kini mengembangkan riset analgesic dan anaesthetics untuk ikan dan udang dari ekstrak tanaman lokal di Kaltim. Penelitian tersebut didanai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi dengan nomor kontrak 495/UN17.L1/HK/2023.
Riset ini telah menghasilkan prototipe produk anastesi dari ekstrak tanaman lokal. Bahan baku alami tersebut adalah lempuyang (Zingiber zerumbet), kemangi (Ocimum basilicum), Lippia alba, kayu manis (Cinnamomum sp.) dan kayu kuning (Nauclea officinalis). Adapun dua jenis kayu di atas, diambil dari Kabupaten Penajam Paser Utara dan Paser di Kaltim.
Hasil ekstrak dari lima jenis tanaman tersebut ternyata memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen pada ikan dan udang. Mulai bakteri Aeromonas hydrophila, Pseudomonas fluorescens, Vibrio harveyi, Vibrio alginolyticus, dan Vibrio parahaemolyticus.
Sebagai informasi, bakteri Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas fluorescens adalah penyebab dari 80 persen kematian ikan budi daya di keramba jaring apung di Sungai Mahakam. Sementara itu, tiga jenis bakteri vibrio menginfeksi udang windu dan udang vaname dari stadia awal budi daya hingga pemanenan dengan tingkat kematian 90 persen.
Kombinasi lima ekstrak tanaman tadi diuji dalam transportasi benih ikan nila. Hasilnya membahagiakan. Tingkat toksisitas ekstrak dari larva artemia dan benih ikan nila menunjukkan keamanan yang baik. Kelima kombinasi ekstrak tanaman tersebut berpeluang dikembangkan menjadi obat ikan alami lokal dari Kaltim.
Di samping itu, penggunaan anastesi berbahan lokal ini dapat meningkatkan keamanan transportasi benih ukuran 3-5 cm dan 5-7 cm hingga kepadatan 145 ekor per liter. Waktu transportasinya juga lebih panjang yaitu hingga 15 jam. Padahal, menurut SNI 2019, kepadatan transportasi benih hanya 45 ekor per liter.
Dengan kata lain, efektivitas transportasi menggunakan anastesi berbahan lokal ini bisa tiga kali lebih baik dari kondisi biasa. Dapat dibayangkan biaya transportasi yang mampu dihemat menggunakan anastesi alami ini.
Lebih dari itu, penggunaan ekstrak tanaman sangat dianjurkan dalam budi daya ikan. Ekstrak tanaman mengandung banyak senyawa metabolik sekunder seperti alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid, dan tannin. Senyawa-senyawa tersebut sangat bermanfaat. Efeknya tidak tunggal tapi bisa berganda. Tidak sekadar anastesi, ekstrak tanaman bersifat antibakteri pengganti antibiotik sekaligus imunostimulan untuk meningkatkan ketahanan tubuh ikan dan udang.
Penolakan produk perikanan Indonesia karena kontaminan patogen dan bahan kimia berbahaya akibat penggunaan obat-obatan keras harus diselesaikan. Salah satu caranya adalah menggunakan obat ikan alami yang aman. Riset mengenai obat ikan berbahan alami ini tidak hanya menjadikan perikanan Indonesia berkelanjutan. Inovasi anak bangsa, terutama dari Kaltim, niscaya lebih maju dalam mendukung kemandirian obat ikan untuk perikanan. (*)
Artikel ini ditulis oleh Prof Dr Esti Handayani Hardi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman.