kaltimkece.id Pada 1905, terdata nama 120 kampung berikut rincian jumlah penduduk dalam otoritas wilayah Kesultanan Kutai. Yang memublikasikan datanya adalah seorang pejabat Hindia Belanda di Borneo Timur. Dari antara 120 itu, sepuluh kampung masuk Kawasan Ibu Kota Nusantara, satu abad kemudian. Populasi kesepuluh kampung tersebut pada awal abad ke-20 berjumlah 1.170 jiwa.
Sepuluh kampung di Kutai yang dicatat dalam urutan nomor 111 sampai 120 adalah Poelau Lobang (Pulau Balang), Soengei Pamaloean (Sungai Pemaluan), Soengei Sagarit (Sungai Sigret), Soengei Samoewe (Sungai Semoi di Sepaku), Demang Kalioe, Soengei Saboeh, Soengei Rekah, Soengei Mingkoer, Tandjoeng Penadjam (Tanjung Penajam), dan Soengei Toenan (Sungai Tunan).
Konten ini adalah satu dari 15 salindia PPT yang penulis presentasikan di forum Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Kedeputian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LHSDA). Pada salindia lain, penulis mengungkapkan etnis asli di Kalimantan Timur dapat diidentifikasikan dalam lima suku utama yaitu Banjar, Kutai, Dayak, Paser, dan Berau.
Penulis hadir sebagai narasumber yang diundang oleh Deputi LHSDA OIKN Dr Myrna A Safitri untuk kegiatan Konsinyering Penyusunan Rancangan Peraturan Kepala OIKN tentang Pengakuan Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penulis diminta mempresentasikan topik “Sejarah Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Ibu Kota Nusantara” pada Jumat, 14 April 2023, di Le Meridien Hotel Jakarta.
Penulis mendapat jadwal presentasi di sesi terakhir. Bu Myrna yang juga dari unsur masyarakat Kaltim membuka dan memberi pengarahan konsinyering. Giliran pertama narasumber adalah Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian LHK Yuli Prasetyo Nugroho SSos MSi. Materinya tentang “Pengakuan Kearifan Lokal Menurut UU 32 Tahun 2009 dan Protokol Nagoya”.
Presentasi kedua oleh Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbudristek Dr Restu Gunawan M Hum. Temanya “Kearifan Lokal dalam UU Pemajuan Kebudayaan”. Urutan ketiga dari arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional Prof (Ris) Dr Harry Truman Simanjuntak. Topiknya mengenai “Temuan-Temuan Penting dalam Kajian Arkeologi di Wilayah IKN”.
Narasumber keempat adalah Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kaltim-Kaltara, Lestari SSi MP. Presentasinya tentang “Kebudayaan Material dan Benda Cagar Budaya di Wilayah IKN”. Materi kelima tentang “Karakteristik Masyarakat Adat dan Wilayah Adat” disampaikan akademikus FISIP Universitas Mulawarman Drs Martinus Nanang MA.
Dari event ini, untuk kali pertama, saya bertemu dengan Pak Lenggono. Beliau penulis buku Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang, terbitan 2015. Naskah bukunya dipetik dari hasil penelitian doktoral di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Objek penelitiannya adalah masyarakat di Delta Mahakam, Kutai Kartanegara.
“Keyapa kada bisa bahasa Banjar. Matan halus, aku tuhuk bediam di Gang Masjid Lambung.” Begitu ujaran Plt Direktur Ketahanan Pangan OIKN Dr Setia P Lenggono. Ternyata beliau adalah orang Samarinda juga. Beliau hadir sebagai satu dari tiga moderator.
Dengan Bu Myrna dan Pak Lenggono di struktur OIKN, gebrakan OIKN ini bukan makhluk asing bagi Kaltim. IKN jadi serasa dekat secara kultural dengan komunitas lokal Kaltim. Setidaknya, SDM Kaltim bukan sekadar penonton tetapi menjadi bagian dari subjek penting yang terlibat dalam pembangunan IKN yang Indonesia-sentris.
Dasar pemikiran konsinyering adalah IKN dibangun berdasarkan asas keselarasan dengan alam dan kebhinekatunggalikaan. Kearifan lokal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah IKN.
Maksud dan tujuan konsinyering ini sebagai wadah diskusi interaktif untuk memperkaya materi serta memberikan gambaran holistik mengenai wilayah-wilayah yang memiliki kearifan lokal tertentu yang patut diperhatikan di IKN. Keluarannya adalah draf awal rancangan Peraturan Kepala OIKN mengenai kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (*)
Muhammad Sarip selaku penulis adalah sejarawan publik, tinggal di Samarinda.