Ditulis oleh: Awang Satria
kaltimkece.id Pada 2020, Chai Siswandi menulis sebuah artikel berjudul Republik Samarinda, Republik Pertama di Nusantara yang didirikan Orang Bugis pada Abad Ke-17 di kaltimkece.id. Dalam tulisan tersebut, dituliskan bahwa ada pemerintahan republik yang didirikan orang Bugis di Samarinda. Benarkah demikian?
Pertama, mengenai nama Republik Samarinda. Solco Walle Tromp, sosok yang paling awal menulis mengenai penemuan "republik" di Samarinda, tidak menyebutnya sebagai Republik Samarinda melainkan Boegineezen Republiek yang berarti Republik Bugis. Kedua, sejak kapan Boegineezen Republiek di Samarinda bermula? Chai tidak menulis dengan jelas.
Berdasarkan makalah Salasila Bugis di Kutai karya Frieda Amran, tak lama setelah pusat pemerintahan Kutai dipindah ke Pemarangan, orang Bugis mulai berdatangan untuk berdagang di Samarinda. Ratu Pemarangan (maksudnya Raja Kutai) lalu memanggil tokoh dari orang-orang Bugis tersebut yang bernama Anakoda Latuji.
Jika perpindahan itu terjadi pada 1732, apakah orang-orang Bugis langsung mendirikan republik? Tentu tidak. Raja Kutai masih memanggil Anakoda Latuji dan menanyakan iktikad orang-orang Bugis di negeri Kutai. Anakoda Latuji yang bersumpah setia kemudian diangkat menjadi Pua Adu.
Robertus Robet dalam buku Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia menyebutkan salah satu ciri umum republikanisme. Menurutnya, ciri tersebut adalah pemerintahan-mandiri yang memiliki dua makna. Pertama adalah otonomi dalam terang pencerahan yakni bahwa pemerintahan harus dilepaskan dari keterikatan dan belenggu monarki, teokrasi, dan primordialisme. Kedua, politik sebagai common good yakni wahana bagi setiap orang tanpa memandang kelas, agama, suku, ras, dan gender.
Berdasar itu, Republik Bugis sudah batal karena masih dalam ranah monarki dan primordialisme.
Jika masih mau dipaksakan, kita bisa cari masa ketika Pua Adu "membebaskan diri" dari kekuasaan Kutai. Dalam tulisan Tromp, Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang berkuasa dari 1850-1899 mengangkat seorang sebandar untuk menarik pajak. Masalah perpajakan impor dan ekspor komoditas terjadi di tengah komunitas Bugis tersebut. Namun demikian, tidak terjadi penolakan terhadap sebandar tersebut yang berarti komunitas Bugis masih tunduk kepada kekuasaan Kutai.
Pada peristiwa lain, dalam makalah Frieda, Sultan Mohammad Soleiman sudah lama bertakhta. Hampir setiap hari terjadi perkara di Samarinda karena banyaknya tindakan kejahatan. Kriminalitas tersebut hampir tak mungkin dapat diadili karena dilakukan oleh anak-buah atau atas suruhan tokoh-tokoh setempat yang berpengaruh. Kalau ada yang ingin melakukan sesuatu atau menghukum pelakunya, para kepala manang akan menentangnya.
Dalam republikanisme, republik berasal dari kata res yang berarti hal, fakta, atau sesuatu; dan publica yang berarti publik. Sedangkan lawan dari res publica adalah res privata yang berarti kepentingan komunitas yang lebih kecil seperti keluarga. Terlihat dalam pemerintahan Pua Adu, terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan golongan tertentu. Hal ini jelas tidak mencerminkan semangat republik yang menjunjung kesetaraan dan kepentingan publik.
Dari semua hal di atas, terlihat bahwa tidak pernah ada yang namanya Republik Bugis di Samarinda. Penulis menduga, Tromp hanya mencari pendekatan istilah yang mudah untuk menjelaskan keadaan suatu komunitas di Kalimantan kepada pembacanya (orang Eropa) yang masih segar ingatan kepada Revolusi Prancis.
Baca juga: Republik Samarinda, Republik Pertama di Nusantara yang Didirikan Orang Bugis pada Abad Ke-17
Kita perlu berhati-hati menyematkan suatu konsep luar kepada suatu komunitas masyarakat di negeri ini. Jika republik hanya didefinisikan sebagai pemerintahan yang tidak monarki, semua suku atau entitas yang tidak membentuk kerajaan di Nusantara bisa disebut republik.
Selain itu, gagasan republik dan sama rendah yang diusung dalam tulisan Chai sangat bertolak belakang. Republik mengusung kesetaraan dengan peristiwa hukuman mati kepada Raja Prancis (French Revolution). Sedangkan sama rendah berarti merendahkan diri dan mengakui ada golongan yang lebih tinggi. Kalau memang republik, harusnya Republik Samatinggi saja sekalian. (*)
Risalah ini ditulis oleh Awang Satria, anggota Sindikat Lebah Berpikir
Foto artikel: Suasana jalan di Samarinda pada 1930. Sumber: Digunakan sesuai dengan ketentuan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Senarai Kepustakaan
Tromp, SW. 1887. Eenige Mededeelingen Omtrent De Boegineezen Van Koetei, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië: Belanda.
Amran, Frieda. 2016. Salasila Bugis di Kutai. Makalah dalam Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur (Selogika IV) di Universitas Hasanuddin, Makassar, 6 Oktober 2016.
Robet, Robertus. 2021. Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
French Revolution https://www.rmg.co.uk/stories/topics/french-revolution