Oleh: Dr Rahmad Azazi Rhomantoro
KALIMANTAN Timur, sebagai provinsi yang kaya keanekaragaman budaya dan etnis, tengah mengalami polarisasi baru dalam dunia politik. Fenomena ini menjadi pusat perhatian terutama di kalangan generasi muda yang makin aktif terlibat dalam diskusi politik. Di tengah perkembangan ini, muncul pertanyaan provokatif. Apakah apatisme lebih baik? Pertanyaan ini jelas tidak masuk akal mengingat pentingnya partisipasi masyarakat Kaltim dalam dunia politik.
Politik di Kaltim sebenarnya bukanlah hal baru. Namun, akhir-akhir ini, topik politik menjadi makin populer di kalangan generasi muda. Sayangnya, politik sering dianggap sebagai sesuatu yang tabu, tidak penting, atau bahkan sia-sia oleh banyak pemuda. Padahal, dunia politik adalah dunia yang dinamis, penuh kebahagiaan, dan merupakan ajang kontestasi serta perdagangan visi dan misi untuk masa depan yang lebih baik. Perspektif seperti ini harus terus digalakkan agar tidak menjadi penyebab bobroknya demokrasi.
Apatisme dalam politik sering kali disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya pendidikan politik. Banyak pemuda tidak mendapatkan pendidikan politik yang memadai sehingga mereka tidak memahami pentingnya peran serta dalam politik. Jika melihat pandangan Jean-Paul Sartre dan eksistensialisme, Sartre menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas pilihan mereka. Apatisme politik adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab ini. Setiap individu memiliki peran dalam membentuk masyarakat dan dunia di sekitarnya. Bukan tidak mungkin akan tumbuh dan berkembangnya perilaku buruk jika hal ini terus dibiarkan.
Kedua, kekecewaan terhadap praktik politik. Korupsi, nepotisme, dan berbagai praktik tidak etis dalam politik sering kali membuat pemuda kehilangan kepercayaan dan menjadi apatis. John Dewey, seorang filsuf pragmatis, percaya bahwa demokrasi adalah lebih dari sekadar sistem pemerintahan; itu adalah cara hidup. Partisipasi aktif dalam politik adalah esensial untuk demokrasi yang sehat, dan apatisme mengancam dasar-dasar demokrasi itu sendiri. Seharusnya, dalam praktik demokrasi yang baik, tidak ada lagi kepentingan individual seperti nepotisme dan perilaku korupsi sehingga tidak kehilangan kepercayaan oleh masyarakat.
Ketiga, kurangnya representasi. Ketika pemuda merasa bahwa aspirasi dan kebutuhan mereka tidak terwakili dalam politik, mereka cenderung menarik diri dan menjadi apatis. Hal ini juga tidak dibenarkan, mengingat Aristoteles memandang politik sebagai seni tertinggi, yang bertujuan mencapai kebaikan bersama. Partisipasi aktif dalam politik adalah cara mencapai eudaimonia atau kehidupan yang baik bagi semua orang. Apatisme, sebaliknya, menghalangi masyarakat mencapai tujuan ini. Hal seperti ini harus dihindari. Perilaku memberikan kepercayaan dan mendengarkan aspirasi harus terus dijaga hingga akhir masa jabatan.
Mengapa Pemuda Tidak Boleh Apatis?
Pemuda adalah tulang punggung bangsa dan masa depan Kaltim. Mereka tidak boleh apatis. Mengapa demikian?
Pertama, pemuda adalah agen perubahan. Dengan berpartisipasi aktif dalam politik, pemuda bisa menjadi agen perubahan yang membawa inovasi dan solusi untuk berbagai masalah. Kedua, pengaruh terhadap kebijakan. Partisipasi pemuda dalam politik memastikan bahwa kebijakan yang dibuat akan lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan generasi muda.
Terakhir, masa depan yang lebih baik. Berpartisipasi dalam politik, pemuda dapat berkontribusi membangun masa depan Kaltim yang lebih baik dan lebih berkeadilan. Jika banyak pemuda yang apatis, tidak dapat dipungkiri akan terjadinya degradasi dalam menciptakan inovasi dan kebijakan yang menyebabkan keterpurukan.
Tindakan apatisme dalam politik memiliki dampak yang signifikan seperti ketidakpedulian sosial. Apatisme menciptakan masyarakat yang tidak peduli terhadap isu-isu sosial dan politik yang penting.
Dampak selanjutnya adalah kesenjangan generasi. Apatisme politik bisa memperparah kesenjangan antara generasi tua dan muda apabila generasi muda tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Kemudian, kualitas kepemimpinan yang menurun. Kurangnya partisipasi pemuda dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten dan tidak mewakili kepentingan masyarakat luas.
Apatisme politik bukan hanya ancaman bagi saat ini tetapi juga bagi generasi mendatang. Jika dibiarkan, apatisme akan menciptakan generasi yang tidak peduli, kurang informasi, dan tidak berdaya dalam menghadapi tantangan masa depan. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat Kaltim, khususnya generasi muda, untuk peduli dan aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Hanya dengan demikian, Kaltim dapat menjadi pusat kemajuan peradaban yang sesungguhnya, dengan masyarakat yang sadar politik dan terlibat aktif dalam proses demokrasi. (*)
Penulis adalah aktivis seni dan budaya, tinggal di Samarinda.