kaltimkece.id Lomba memasak dan kompetisi tata rias sering kali dijumpai pada momen 22 Desember. Aneka festival yang bertaut dengan urusan dapur dan kasur itu, ironisnya, diselenggarakan sejumlah instansi pemerintah dan institusi akademik. Peringatan Hari Ibu yang ditetapkan Presiden Sukarno sejak 1953 pun tereduksi dengan perhelatan selebrasi yang off side alias melenceng dari substansinya.
Saban 22 Desember pula, ritual fotografi dan narasi kasih sayang kepada ibu kandung berikut peran domestik mereka dalam keluarga ramai dipopulerkan di media sosial. Kegiatannya memang positif. Akan tetapi, tetap saja bukan itu maksud Hari Ibu. Berbakti kepada orang tua dilakukan sepanjang masa tanpa batasan hari tertentu. Tak ada korelasinya dengan perayaan hari besar nasional.
Padahal yang sebenarnya, seremoni 22 Desember bukanlah hari perayaan ibu biologis. Presiden Sukarno lewat Dekrit RI Nomor 316 menetapkan Hari Ibu sebagai peringatan atas gerakan kesetaraan perempuan dalam multidimensi berbangsa dan bernegara. Tanggal 22 Desember dipilih karena merupakan hari pertama Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres ini digelar hampir dua bulan setelah Sumpah Pemuda.
Dari dekrit itulah tampak jelas bahwa 22 Desember adalah hari emansipasi perempuan Indonesia. Ia bukan Mother’s Day atau Hari Mama Kandung yang merupakan antonim dari Hari Ayah. Spirit 22 Desember 1928 adalah kesadaran perempuan Indonesia menjadi subjek dalam pergerakan nasional. Gerakan dan perjuangan kebangsaan itu tidak identik dengan teritorial maskulin atau ranahnya para lelaki saja.
Dalam konteks Indonesia, sejumlah daerah telah mempunyai perempuan-perempuan pahlawan. Jawa Barat punya Dewi Sartika. Jepara memiliki sosok Kartini. Minang punya Rohana Kuddus dan HR Rasuna Said. Jogjakarta punya Nyai Ahmad Dahlan. Bagaimana dengan Kalimantan Timur? Samarinda dan Kaltim punya figur bernama Aminah Syukur.
_____________________________________________________PARIWARA
Nenek Belanda yang Gemar Mengajar
Aminah Syukur adalah seorang guru. Ia keturunan Belanda yang lahir pada 20 Januari 1901. Nama sebenarnya adalah Atje Voorstad. Begitu mualaf, ia berganti nama menjadi Aminah sebagaimana narasi kehidupannya yang sebagian besar diliterasikan oleh Ellie Hasan, satu dari keturunan famili Aminah.
Aminah bersama suaminya, Mohammad Jacob, mendirikan Meisje School atau sekolah keputrian di Samarinda pada 1928. Samarinda waktu itu adalah kota pusat pemerintahan Asisten Residen Oost Borneo. Hati Aminah tergerak merintis pendidikan perempuan di Samarinda pada era kolonial karena melihat kaum perempuan di Kaltim yang terbelakang. Meisje School pun didirikan untuk mendidik murid-murid dari kalangan pribumi dengan prioritas kaum perempuan.
Meski begitu, anak laki-laki juga ada yang bersekolah di Meisje School. Keponakan Aminah dan Jacob yang bernama Abdoel Moeis Hassan termasuk satu dari antara muridnya. Abdoel Moeis Hassan—bukan Moeis yang dijadikan nama RSUD yang beranak-cucu politikus—kelak menjadi pemimpin pejuang Republiken di Kaltim era Revolusi Kemerdekaan 1945–1949.
Sebagai seorang guru, Aminah pernah mengajar di SD negeri di Sungai Pinang (kini di jalan Imam Bonjol), SD Permandian (kini SD negeri di dekat kantor pusat PDAM), dan Sekolah Kepandaian Puteri. Selain mengajar di sekolah, Aminah juga menjadi guru privat. Ia mendatangi murid-murid dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki. Ia pun mengajar di rumahnya di kawasan Wilhelmina Straat yang kini bernama Jalan Diponegoro di Samarinda.
Aminah mengajar murid-muridnya dengan kedisiplinan tinggi. Ia sosok yang populer di Samarinda. Masyarakat Kota Tepian tempo dulu mengenal Aminah sebagai “Nenek Belanda” yang rajin mengajar. Meskipun keturunan Belanda, Aminah dihormati masyarakat Samarinda. Apresiasi ini merupakan bukti bahwa masyarakat Samarinda sejak dulu terbuka terhadap pendatang. Pada zaman kolonial, bahkan seorang Belanda akan diterima dan dihormati sepanjang ia baik apalagi mengabdi untuk masyarakat. Kebaikan manusia tidak akan tersekat varian etnis dan geografis.
Manusia memang terlahir untuk belajar, menjalin relasi, dan bermain, demikian Rutger Bregman dalam bukunya, Humankind A Hopeful History. Sejarawan terkemuka Eropa itu mengajukan gagasan bahwa lebih realistis dan revolusioner apabila kita menganggap manusia pada dasarnya baik. Naluri manusia, ujar Bregman dalam buku terbitan 2019 tersebut, adalah bekerja sama dan bukannya bersaing.
Kembali ke Aminah, setelah aktif di dunia pergerakan dan pendidikan selama empat dekade, ia wafat pada 3 Maret 1968 di Jakarta dan dimakamkan di sana. Pada 1970, makam Aminah dipindah ke Samarinda. Tepat Peringatan Hari Kartini pada 21 April 1970, Pemerintah Kotamadya Samarinda memfasilitasi upacara pemakaman Aminah Syukur di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Pemerintah memberi penghormatan dengan menyematkan namanya untuk sebuah jalan di tengah Kota Samarinda. Nama Aminah juga dimonumenkan untuk toponimi sebuah lembaga pendidikan di Samarinda: SMP Aminah Syukur. Adapun foto dan profil ringkasnya dipajang dalam neon box di teras Museum Samarinda.
Nama Aminah Syukur tentu saja berpotensi diusulkan sebagai calon pahlawan nasional yang merepresentasikan kaum perempuan. Riwayat pengabdian Aminah Syukur bisa diteliti lebih saksama secara akademis dengan difasilitasi instansi pendidikan, kebudayaan, atau sosial di lingkungan Pemkot Samarinda. Tentunya, Pemkot mesti melibatkan peneliti atau penulis sejarah lokal yang berkompeten supaya hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun darah Belanda yang mengalir dalam diri Aminah, tentu bukan hambatan. Indonesia punya pahlawan nasional dari negeri asing seperti Tiongkok dan Arab. Bahkan, orang Belanda pun ada yang bergelar Pahlawan Nasional yaitu Douwes Dekker alias Danudirdja Setiabudi.
Zaman berkembang dinamis. Nilai-nilai kepahlawanan mesti relevan dengan dinamika masa kini dan masa depan. Aksi heroisme bukan hanya privilese panglima perang dan serdadu yang bertempur di medan laga. Pahlawan adalah sosok teladan yang mengabdi bagi masyarakat tanpa mengharap imbalan dan sanjungan. Pahlawan adalah figur yang berbuat kebajikan, melebihi tanggung jawab regulernya, apapun seks dan gendernya.
Bagi Kaltim, Hari Ibu 22 Desember 2021 bisa menjadi momentum awal pengusulan gelar Pahlawan Nasional Aminah Syukur. Bagi bangsa Indonesia, Hari Ibu semestinya dapat menyamakan persepsi bahwa begitu penting dan mendesaknya pengesahan regulasi negara tentang tindak pidana kekerasan seksual. Mari hentikan kegagalpahaman atas isu legalisasi zina di Republik Indonesia karena perkara hukum zina telah diatur dalam KUHP.
Selamat Hari Ibu. Selamat merayakan egaliternya perempuan dan laki-laki, bukannya kompetisi tata bedak dan kosmetik emak-emak. (*)
Risalah kaltimkece.id ini ditulis oleh Muhammad Sarip, penerima Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah dari Kemdikbud-Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), tinggal di Samarinda.