• Berita Hari Ini
  • Warta
  • Historia
  • Rupa
  • Arena
  • Pariwara
  • Citra
Kaltim Kece
  • RUPA
  • RISALAH
  • Menyoal “Pelantikan” dan Peralihan Kekuasaan

RUPA

Menyoal “Pelantikan” dan Peralihan Kekuasaan

Mencerna diksi "pelantikan" dan pengukuhan suatu jabatan kepala daerah. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, cukup kah dengan melihat konteksnya antara peralihan kekuasaan atau hanya fungsional semata?
Oleh Kiriman Pembaca
19 Oktober 2024 16:00
·
0 menit baca.
ILUSTRASI: CHE HARSENO-KALTIMKECE.ID
ILUSTRASI: CHE HARSENO-KALTIMKECE.ID

Oleh Dr. Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M

MASA jabatan seorang kepala daerah mulai dihitung sejak saat "pelantikan". Hal ini disebutkan secara eksplisit setidaknya dalam 2 norma hukum. Pertama, ketentuan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU Pilkada.

Disebutkan dalam UU Pilkada, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Kedua, ketentuan Pasal 60 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa masa jabatan kepala daerah adalah selama lima tahun terhitung sejak pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Oleh karena itu, sebelum kepala daerah memangku jabatannya, terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpah/janji.

Namun demikian, persoalan kembali muncul dalam ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum 8/2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, seerta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, bahwa perhitungan periode masa jabatan dimulai sejak saat pelantikan. Dalam ketentuan Pasal 19 huruf e PKPU 8/2024, menyebutkan secara eksplisit bahwa, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.

Bagaimana sesungguhnya tafsir norma tersebut? Apakah frase "pelantikan" itu bermakna hitungan masa jabatan hanya berlaku terhadap jabatan-jabatan yang melalui proses pelantikan? Dan apakah jabatan-jabatan yang hanya melalui proses "pengukuhan", tidak termasuk dalam periodesasi atau perhitungan masa jabatan?

Memahami Makna "Pelantikan"

Ada dua pertanyaan yang mesti dijawab untuk melekatkan konteks terhadap pelantikan kepala daerah, yaitu, soal makna pelantikan bagi kepala daerah dan akibat hukum dari pelantikan tersebut. Untuk itu, kita bahas mengenai makna pelantikan terlebih dahulu agar kita semua punya kesamaan pandangan terhadapnya.

Secara etimologi, pelantikan dipahami sebagai proses, cara, perbuatan melantik. Melantik didefinisikan sebagai perbuatan untuk mengangkat, meresmikan. Dalam Black Law Dictionary, pelantikan dimaknai sebagai upacara formal melantik seseorang untuk menjabat, upacara formal memperkenalkan sesuatu untuk kepentingan umum, permulaan formal suatu periode waktu atau tindakan (Bryan A. Gadner, 2004).

Sementara dalam Cambridge Dictionary, pelantikan diartikan sebagai tindakan resmi menempatkan seseorang pada posisi penting, atau upacara di mana hal ini dilakukan; tindakan sesuatu yang resmi mulai digunakan, yang menandai awal periode.

Dalam beragam referensi, pelantikan selalu berkaitan dengan dua hal, yakni, pelantikan sebagai penanda terjadinya proses peralihan kekuasaan dari pejabat lama kepada pejabat baru, dan pelantikan sebagai petanda peralihan kekuasaan bermakna pejabat yang baru telah memulai menjalankan kekuasaannya. Legitimasi diperoleh berdasarkan peristiwa hukum yang disebut sebagai "pelantikan".

Pada dasarnya, dalam sistem pemerintahan kita, hanya kepala daerah definitif, wakil kepala daerah definitif, dan penjabat kepala daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ketentuan. Pertama, dalam Perpres 16/2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Kedua, Permendagri 35/2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

Kedua regulasi ini hanya mengatur pelantikan kepala daerah dan wakil kepala definitif, serta penjabat (Pj) kepala daerah, tapi tidak mengatur pelantikan bagi pelaksana tugas (Plt), pelaksana harian (Plh), dan penjabat sementara (Pjs). Hal ini dikarenakan tidak adanya penyerahan kekuasaan yang ditandai peralihan dari pejabat yang lama kepada pejabat yang baru.

Baik Plt, Plh, maupun Pjs, hanya menggantikan pejabat definitif untuk sementara waktu, terutama saat pejabat definitif berhalangan sementara untuk menjalankan tugas rutinnya sehari-hari. Oleh karena itu, terhadap Plt, Plh, dan Pjs hanya dilaksanakan pengukuhan sebelum menjalankan fungsi dan kewenangannya.

Dengan demikian, pelantikan dan pengukuhan jelas merupakan dua terminologi yang berbeda. Terutama berkaitan dari mana dan bagaimana kekuasaan itu diperoleh. Keduanya bisa diidentifikasi berdasarkan peristiwa hukumnya masing-masing. Pelantikan itu basisnya "peralihan kekuasaan", sedangkan pengukuhan basisnya "fungsional" dengan konteks kekuasaan yang dijalankan hanya untuk sementara waktu, terutama di saat pejabat definitif berhalangan sementara.

Hal ini memberikan kejelasan jika hitungan masa jabatan atau periodisasi jabatan kepala daerah, semestinya dimulai sejak saat peralihan kekuasaan berlangsung. Dalam hal ini ditandai dengan proses pelantikan melalui pengambilan sumpah jabatan sebelum kekuasaannya dijalankan, lalu dilanjutkan dengan serah terima jabatan.

Pelantikan sebagai awal hitungan masa jabatan sendiri, bukanlah hal yang baru. Dalam PKPU sebelumnya, yakni PKPU 9/2020 tentang Perubahan Keempat atas PKPU 3/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pelantikan sudah dijadikan patokan dalam menghitung masa jabatan.

Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 1 PKPU 9/2020, disebutkan bahwa, penghitungan dua kali masa jabatan dihitung berdasarkan jumlah pelantikan dalam jabatan yang sama, yaitu masa jabatan pertama selama lima tahun penuh, dan masa jabatan kedua paling singkat selama 2½ (dua setengah) tahun, dan sebaliknya.

Hal ini kemudian diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 4 PKPU 9/2020, yang menyatakan eksplisit bahwa, perhitungan lima tahun masa jabatan atau dua setengah tahun masa jabatan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dihitung sejak tanggal pelantikan sampai dengan akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang bersangkutan.

Perhitungan masa jabatan sejak saat pelantikan, juga disebutkan eksplisit dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang menyebutkan bahwa yang bersangkutan belum pernah menjabat dua kali masa jabatan di daerah yang sama atau daerah lain dan perhitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan.

Hal ini ditegaskan dalam ratio decidendi, atau alasan hakim dalam menjatuhkan putusan, dalam putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang menegaskan bahwa, penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan seseorang secara penuh atau masih separuh penuh dalam suatu periode jabatan.

Hal ini diperkuat kembali dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020, bahwa penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Berdasarkan kedua beleid ini, tafsir MK berkaitan dengan dimulainya masa jabatan kepala daerah, dihitung sejak saat pelantikan.

Kedudukan PKPU

PKPU memang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Namun demikian, PKPU dikualifikasikan sebagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, yang menyebutkan bahwa, jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

lebih lanjut, ada Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Frase badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang dalam ketentuan a quo, memberikan legitimasi dan kekuatan hukum terhadap PKPU sebagai salah satu jenis produk perundang-undangan. Untuk mendapatkan daya ikat, maka peraturan perundang-undangan harus berdasarkan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibuat berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.

Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang menyatakan bahwa, peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pertanyaannya adalah, dari mana datangnya kekuataan hukum yang mengikat PKPU? Tidak mungkin turun begitu saja dari langit. PKPU dibentuk berdasarkan keduanya sekaligus, baik berdasarkan perintah peraturan yang lebih tinggi maupun berdasarkan kewenangannya.

Pertama, jika ditinjau dari segi kewenangannya, KPU merupakan lembaga yang diberikan tanggung jawab penuh dalam bentuk tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan, baik pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dan salah satu kewenangan tersebut berwujud dalam bentuk pembuatan PKPU dalam rangka memperlancar proses penyelenggaraan pemilihan.

Dalam konteks penyelenggaraan pilkada, kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada, yang menyebutkan bahwa, tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilihan, salah satunya untuk menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.

Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut melalui PKPU yang berkaitan dengan aspek tertentu dalam penyelenggaraan pilkada.

Namun jangan lupa, KPU juga berkewajiban menyesuaikan akibat-akibat hukum yang lahir dari putusan pengadilan, terutama yang lahir dari pengujian peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun di Mahkamah Agung (MA). Hal ini lebih khusus putusan MK yang menguji norma dalam UU Pilkada sebagai aturan payung dari PKPU. Putusan MK wajib untuk diintegrasikan ke dalam PKPU. Bukan hanya karena putusan MK bersifat mengikat, tapi juga karena PKPU sendiri merupakan peraturan pelaksana dari UU Pilkada sehingga wajib memberikan "kepastian hukum" dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Dalam hukum administrasi negara, sifat dan tujuan PKPU adalah mengoperasionalkan pelaksanaan pemilu dan pilkada. Jadi konteks negara dalam keadaan bergerak, diinternalisasi oleh peraturan KPU. Secara teoritik, jika Hukum Tata Negara mengkaji negara dalam keadaan diam atau staat in rust, maka Hukum Administrasi Negara mengkaji negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging.

Dengan demikian, kapasitas PKPU, adalah merespon putusan MK agar pemilu dan pilkada dapat diselenggarakan sebagaimana yang diperintahkan peraturan perundang-undangan. PKPU menerjemahkan bagaimana tata kelola pemilu dan pilkada bisa terus dijalankan. (*)

Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Editor : Cony Harseno
Iklan Above-Footer

Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi kaltimkece.id

Gabung Channel WhatsApp
  • Alamat
    :
    Jalan KH Wahid Hasyim II Nomor 16, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara.
  • Email
    :
    [email protected]
  • Phone
    :
    08115550888

Warta

  • Ragam
  • Pendidikan
  • Lingkungan
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Humaniora
  • Nusantara
  • Samarinda
  • Kutai Kartanegara
  • Balikpapan
  • Bontang
  • Paser
  • Penajam Paser Utara
  • Mahakam Ulu
  • Kutai Timur

Pariwara

  • Pariwara
  • Pariwara Pemkab Kukar
  • Pariwara Pemkot Bontang
  • Pariwara DPRD Bontang
  • Pariwara DPRD Kukar
  • Pariwara Kutai Timur
  • Pariwara Mahakam Ulu
  • Pariwara Pemkab Berau
  • Pariwara DPMD Kutai Kartanegara

Rupa

  • Gaya Hidup
  • Kesehatan
  • Musik
  • Risalah
  • Sosok

Historia

  • Peristiwa
  • Wawancara
  • Tokoh
  • Mereka

Informasi

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
© 2018 - 2025 Copyright by Kaltim Kece. All rights reserved.