Oleh: Sholihin Bone
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, aktif sebagai peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SaksiI). Saat ini mengambil program doktoral hukum di Universitas Diponegoro, Semarang.
RENTETAN skandal dan suap yang menimpa para hakim di Tanah Air, semakin menunjukkan bahwa kondisi penegakan hukum di Tanah Air kian suram. Persoalan suap terbaru dengan angka fantastis yang menjerat beberapa hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan PN Jakarta Utara, mengiris nurani kemanusiaan dan suasana kebatinan warga bangsa yang lelah, pilu, kecewa, sekaligus geram melihat hukum di Tanah Air kian "membusuk".
Wakil Tuhan
Lazim dipahami bahwa hakim memiliki predikat mulia dalam konteks kehidupan bernegara. Hakim diposisikan sebagai "wakil Tuhan" yang pada pundaknya terletak tanggung jawab untuk menghadirkan keadilan. Setiap membaca putusan, hakim akan mengucapkan, "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, nilai-nilai ketuhanan mesti mewujud dalam setiap putusan para hakim.
Justru sebaliknya, kita dipertontonkan pementasan orkestra peradilan oleh oknum yang semakin berani mempermainkan perkara dan menerima suap. Akhirnya nilai ketuhanan yang mentitahkan keadilan semakin tereduksi. Fenomena ini kembali menegaskan bahwa kemuliaan sebagai "wakil Tuhan" belum meresap dalam kehidupan para hakim.
Rentetan kebusukan lembaga peradilan adalah buah dari praktik dan budaya korupsi yang mengakar, mapan, dan sangat sulit dienyahkan. Bukannya integritas menguat, para hakim malah makin mengubur mimpi-mimpi penegakan hukum yang berkeadilan. Alhasil, kepercayaan publik makin tergerusnya dan penegakan hukum hanyalah ilusi belaka.
Fenomena suap yang kian marak, memberikan berbagai dampak yang sangat merugikan bagi bangsa ini. Pertama, punahnya integritas dan kredibilitas lembaga peradilan. Bisa dibayangkan, jika integritas dan kredibilitas lembaga peradilan diisi manusia-manusia serakah yang mudah dibeli, kemana lagi rakyat kecil akan mengadu?
Kedua, mafia peradilan dan makelar kasus semakin ugal-ugalan mempermainkan lembaga peradilan melalui praktik suap. Bagi oligarki, mereka bisa berbuat semaunya, toh, hakim di Indonesia mudah dibeli.
Ketiga, ada anggapan yang mengakar bahwa keadilan hanyalah barang dagangan. Ketika keadilan hanyalah transaksional, maka hanya mereka yang memiliki kuasa yang akan menang. Dengan begitu, keadilan bukanlah hak setiap warga negara, melainkan hak bagi mereka yang memliki kekuasaan dan materi yang bergelimang. Frasa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas sering kali terdengar.
Keempat, rusaknya tatanan negara hukum. Jamak dipahami bahwa salah satu ciri negara hukum adalah terselenggaranya peradilan yang mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan. Dalam konteks ini, lazim kita memahami bahwa lembaga peradilan merupakan pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan di suatu negara. Lembaga peradilan diharapkan menjadi benteng penegakan dan perlindungan hak-hak setiap warga negara.
Namun naas, jika tempat melabuhkan harapan keadilan dihuni oleh oknum-oknum tanpa integritas, tatanan negara hukum akan hancur, prinsip keadilan tercederai, supremasi hukum hanyalah bayang-bayang semu, yang akhirnya demokrasi menjadi tumpul. Walhasil negara tak bergerak maju, sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa.
Empat Langkah Penting
Di tengah runyamnya penegakan hukum dan duka yang menyelimuti lembaga peradilan Tanah Air, optimisme seharusnya terus dibangun. Pengadilan harus berbenah secara total dan terstruktur dari level paling atas hingga ke bawah. Dahaga penegakan hukum harus disembuhkan dengan serius.
Setidaknya, dalam pandangan sederhana ini, ada empat langkah penting yang harus dilakukan. Pertama, mesti dipikirkan sanksi yang menimbulkan efek jera bagi hakim yang terbukti menerima suap. Misal, dengan mencabut secara permanen profesi hakimnya.
Kedua, penguatan pengawasan. Baik pengawasan internal maupun eksternal harus bekerja secara konsisten dan total, bukan hanya gimmick semata. Terutama, Komisi Yudisial mesti bekerja lebih keras untuk memastikan etika dan perilaku hakim tetap terjaga.
Ketiga, seleksi hakim dan jenjang karir para hakim mesti dilakukan secara objektif dan transparan. Dan terakhir, pelibatan masyarakat sipil sebagai kekuatan utama dalam memantau berbagai praktik suap, mafia, makelar kasus yang kerap menggerogoti eksistensi peradilan.
Pada akhirnya, "wakil Tuhan" harus kembali kepada khitahnya, untuk menegakkan keadilan dengan nilai-nilai teologis. Bukan dengan nilai materi dan intervensi politik yang dapat merusak "mahkota" para hakim. (*)